,

Masyarakat Semende yang Bangga Akan Kopi

Jika melintasi jalan di daerah Semende, Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, yang berada di ketinggian 1000-1.600 meter dari permukaan laut, jangan terkejut bertemu dengan hamparan biji kopi di jalan. Jangan ragu melewatinya. Para pemiliknya justru mengharapkan hamparan biji kopi tersebut dilindas roda kendaraan yang lewat. Sebab, roda kendaraan itu akan mengelupaskan kulit biji kopi.

Menjemur biji kopi di atas aspal jalan dinilai lebih cepat mengeringkan, dibandingkan menjemurnya di atas tanah. Tidak heran, saat musim panen kopi, jalan di Semende akan dipenuhi hamparan biji kopi yang baru dipetik dari pohon. Biji kopi yang dijemur di atas tanah akan memakan waktu tiga pekan, yang dijemur di atas aspal jalan waktunya cukup dua pekan.

Biji kopi yang sudah kering dan terkelupas kulitnya, kemudian dicuci dan dijemur selama dua hingga tiga hari atau lebih lama tergantung cuaca. Sebelum dijadikan bubuk, biji kopi itu diongseng di atas kuali hingga berwarna hitam.

Nah, kopi ini cukup dikenal di Sumatera Selatan, beberapa kota di Indonesia, termasuk di Eropa. Sesuai asalnya kopi ini dinamakan “Kopi Semende”.  Kopi Semende memiliki khas dibandingkan kopi robusta lainnya. Aroma yang kuat, kental, tapi tidak terlalu pahit.

“Dulu dari berkebun kopi, warga Semende dikenal sebagai masyarakat yang makmur. Tapi sekarang kehidupan kami miskin. Penghasilan dari berkebun kopi sama sekali tidak seimbang dengan pengeluaran kami,” kata Fahtudin, warga Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumsel, pertengahan September 2014 lalu.

Di masa jayanya, kata Fahtudin, warga Semende mampu menyekolahkan anaknya hingga ke Pulau Jawa, termasuk beberapa kali menunaikan ibadah haji. “Kini kemakmuran itu tinggal cerita.”

Penyebab menurunnya kesejahteraan petani kopi di Semende, selain produksi yang terus menurun karena lahan yang digunakan tidak lagi subur, juga tidak seimbangnya antara pendapatan dari berkebun kopi dengan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Dijelaskan Fahtudin dari luasan kebun kopi di Semende sekitar 10 ribu hektar, umumnya ditanam kopi robusta, yang berada di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, dan Semende Darat Tengah, yang hasilnya sekitar 12 ribu ton biji kopi kering per tahun.

Jika dijual dengan harga rata-rata Rp20 ribu per kilogram, warga Semende mendapatkan penghasilan berkisar Rp240 miliar. Angka yang cukup besar. Namun, jika dibagi rata dengan warga Semende yang berjumlah 39.147 jiwa, maka setiap warga Semende mendapatkan pemasukan sekitar Rp500 ribu per bulan.

Umumnya warga Semende tidak ada pendapatan lain, kecuali berkebun kopi. Yang dapat dilakukan warga Semende untuk menambah pendapatan dengan menanam sayuran, mencari ikan, serta bekerja di sawah milik orang lain untuk mendapatkan upah berupa beras. Kondisi inilah yang menempatkan warga Semende sebagai masyarakat miskin di Kabupaten Muara Enim.

“Kondisi inilah yang menyebabkan banyak warga Semende melakukan perambahan hutan untuk membuka perkebunan kopi yang baru,” kata Fahtudin.

Mengeringkan kopi secara tradisional. Dikeringkan di jalan. Foto: Rahmadi Rahmad

Sarmanuddin (43), Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa Muara Danau, menyatakan bahwa masyarakat Semende memang menggantungkan hidupnya dari kebun kopi. “Meski kondisi sekarang sulit, kami tetap menanam kopi.”

Sarmanuddin sendiri, di atas tanah satu hektar, dalam setahunnya memanen kopi robusta sebanyak satu ton. Uang yang diperolehnya sekitar 20 juta rupiah. “Tapi, itu di atas kertas. Kenyataannya harga sering turun, kalau sudah begitu saya harus putar otak,” tuturnya.

**

Meskipun kopi Semende sudah cukup dikenal, tapi sampai saat ini belum ditemukan outlet kopi Semende di Palembang, Muara Enim, termasuk pula di Kecamatan Semende.

“Itu salah satu contoh lemahnya pemasaran kopi Semende. Tidak heran orang sulit mendapatkan secara khusus kopi Semende. Yang untung ya para pemasar kopi bubuk yang dikemas, yang menggunakan nama Semende atau lainnya,” kata Fahtudin.“Jelasnya warga Semende ini hanya berfungsi sebagai pemasok bahan baku kopi.”

Apa yang harus dilakukan agar pendapatan warga Semende dari kopi meningkat? Selain persoalan pemasaran, juga harus dilakukan berupa pelatihan terhadap para petani.

Pemasaran ini dimulai dari tersedianya pabrik pengemasan kopi bubuk Semende yang dikelola masyarakat, kemudian dibuatkan outlet kopi Semende di sejumlah kota di Indonesia maupun international, serta promosi yang gencar.

“Sedangkan pelatihan terhadap petani ini misalnya soal pembibitan, penanaman, pemupukan, serta perawatan, sehingga volume produksi kopi lebih besar dari sebelumnya, sehingga lahan bukan menjadi persoalan,” ujarnya.

Saat ini, jelas Fahtudin, para petani kopi berkebun dengan cara tradisional. Bibit yang ditanam tanpa dipilih, bibit yang ditanam usianya terkadang baru beberapa bulan, tanpa melakukan pemupukan kandang, perawatan yang lemah, serta penataan kebun yang kurang baik sehingga sering mengalami kekeringan akibat kekurangan pasokan air. Padahal lahan yang digunakan tidak lagi subur, termasuk cuaca atau iklim yang sudah tidak stabil.

“Saya percaya jika para petani kopi di Semende mendapatkan banyak pendidikan soal mengelola perkebunan kopi, produksi kopi di sini akan meningkat,” ujarnya.

Dengan pola berkebun yang berlangsung selama ini, satu hektar kebun menghasilkan biji kopi sekitar 800 kilogram per tahun. Masa puncak, saat pohon kopi berusia tiga hingga empat tahun, biji kopi yang dihasilkan berkisar satu hingga satu setengah ton.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,