Sangkar itu terbuat dari besi dengan jeruji kawat baja. Tangkringan atau tenggerannya melintang dari sisi kiri ke kanan. Hanya berukuran sekitar 1 x 1 meter, siapa sangka wadah berbentuk segi empat itu adalah “rumah” bagi si rangkong badak.
Alih-alih terbang bebas di angkasa. Untuk mengepakkan sayapnya pun tak cukup bagi burung sebesar rangkong. Mau membebaskan diri, rasanya tak mungkin dengan sangkar yang begitu kokoh. Burung raksasa ini hanya bisa pasrah. Mungkin, ia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam ruang yang sempit, bau, dan kotor.
Begitulah pemandangan yang terjadi di salah satu komplek permukiman warga di kawasan Kota Baru, Kecamatan Pontianak Kota, Minggu (28/9/2014) siang. Tidak sulit untuk menyaksikan langsung burung besar ini. Sangkarnya diletakkan di pojok kiri depan sebuah rumah mewah, tak jauh dari perguruan tinggi swasta kota itu.
Ketika mengunjungi kawasan itu, suasana tampak lengang. Matahari perlahan-lahan beranjak ke ubun-ubun. Teriknya terasa menyengat. Rangkong badak itu tiba-tiba bersuara dengan nyaring. Dia seperti mengirim sebuah pesan. Tak berselang lama, seorang perempuan paruh baya tampak menghampirinya. Dia adalah pemilik burung itu.
Sebuah pisang nipah segar yang sengaja diletakkan di sekitar sangkar satwa peliharaannya itu dia kupas. Sejurus kemudian, pintu sangkar dibuka. Rangkong badak pun membuka paruhnya yang besar dengan cula yang khas sambil menunggu asupan sang majikan. Hanya sekejap, pisang sudah meluncur ke dalam perut burung itu.
Komunikasi non-verbal antara si rangkong badak dengan pemiliknya seperti sudah terjalin erat. Ini terlihat dari bahasa isyarat sang burung, yang langsung ditanggapi pemiliknya. Usai memberi makanan, rangkong badak itu dimandikan dengan cara memercikkan air ke seluruh bagian tubuhnya. Pemilik pun kembali masuk ke dalam rumah.
Warga sekitar menganggap pemandangan tak lazim itu sebagai hal biasa. Bahkan, sudah satu tahun lebih, rangkong badak ini dipelihara di dalam sangkar yang sempit. Sebelum rangkong itu dipelihara, satwa lain seperti elang juga sudah lebih dulu mengisi sangkar tersebut.
Coordinator Communication Program Kalbar WWF-Indonesia, Jimmy Syahirsyah membenarkan satwa yang biasa dijumpai di hutan-hutan Kalimantan Barat seperti Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, dan Sanggau ini adalah rangkong badak.
“Dari analisa visual, burung ini adalah rangkong badak. Usianya diperkirakan baru menginjak remaja. Satwa ini biasa dijumpai di hutan-hutan Kalbar dengan kondisi yang masih terjaga kelestariannya,” katanya di konfirmasi di Pontianak, Kamis (2/10/2014).
Asep Ayat, pegiat di Burung Indonesia, mengamini bahwa rangkong yang terpenjara di jeruji tersebut adalah rangkong badak. Hal menarik dari rangkong badak (Buceros rhinoceros) ini adalah ia merupakan tipikal burung yang setia (monogami). Bersama pasangannya, rangkong ini akan hidup bersama, termasuk membesarkan anak bersama. Bahkan, bila salah satu pasangannya mati maka rangkong badak ini akan terus menjalani hidupnya tanpa mencari pendamping lagi. “Alias, tetap sendiri,” ujarnya.
Rangkong badak merupakan burung berukuran besar mencapai 110 cm. Ciri utamanya adalah memiliki paruh besar dan tanduk melengkung ke atas di atas paruh berwarna merah-kuning. Selain itu, ekornya berwarna putih dengan garis hitam.
Rhinoceros Hornbill ini tersebar di Asia Tenggara, semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Kebiasaan utamanya di kawasan hutan adalah menempati tajuk pohon tertinggi. Kala terbang mengepakkan sayap, biasanya mengeluarkan suara menderu bagai pusaran angin.
“Penampilannnya yang unik, membuat rangkong dipandang istimewa oleh masyarakat tertentu di Indonesia. Misalnya, masyarakat di pedalaman Kalimantan telah lama memilih jenis-jenis rangkong untuk digunakan sebagai upacara ritual,” tutur Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad), kala di hubungi di Bandung, Jum’at (3/10/2014).
Terkait rangkong badak, menurut Johan, ada kebiasaan unik kala sang betina mengerami telurnya di lubang pohon yang ditutupi lumpur. Lubang pohon tersebut hanya disisakan terbuka seukuran paruh saja yang dari lubang itulah sang jantan akan memberi makan. Lumpur akan dipecahkan oleh sang betina ketika telur menetas. “Namun, lubang itu akan ditutup kembali dan baru dibuka kala si anak benar-benar siap untuk terbang,” ujar Johan.
Mendekati terancam
Burung Indonesia, lembaga konservasi pelestarian burung liar dan habitatnya mencatat, keberadaan rangkong di Indonesia tersebar di sejumlah tempat. Sembilan jenis ada di Sumatera yaitu enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam, julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong gading, dan rangkong papan.
Empat jenis lagi berada di Sumba (julang sumba), Sulawesi (julang dan kangkareng sulawesi), serta Papua (julang papua). Kalimantan sendiri memiliki jenis rangkong yang sama seperti Sumatera, kecuali rangkong papan.
Rangkong memiliki ciri cula di atas paruh yang besar dan sangat jelas. Julang ditandai dengan cula di atas paruh yang pendek dan berkerenyut. Enggang bisa dilihat dari cula di atas paruh yang tidak terlalu jelas dan berkerenyut. Sementara kangkareng bercirikan cula berukuran sedang yang terlihat jelas namun tidak berkerenyut.
Rangkong sendiri merupakan hidupan liar yang sangat berjasa pada regenerasi hutan. Burung ini memiliki kegemaran memakan buah-buahan hutan. Menurut para ahli, seekor rangkong dapat terbang dalam radius 100 km persegi. Artinya, burung yang termasuk dalam keluarga Bucerotidae ini dapat menebar biji buah-buhan hingga mencapai 100 km persegi.
Masih dari literatur Burung Indonesia, disebutkan bahwa Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O’Brien, peneliti rangkong dan hutan tropis, menjuluki rangkong sebagai petani hutan yang tangguh karena kehebatannya menebar biji. Menurut penelitian tersebut, terdapat korelasi erat antara keberadaan rangkong dengan hutan yang sehat. Rangkong memerlukan pohon yang besar sebagai tempat untuk berteduh, mencari pakan, hingga bersarang yang sesuai ukuran tubuhnya. Artinya, bila ada rangkong tentunya akan ada pohon besar di hutan tersebut.
Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), ada 3 jenis yang statusnya kini masuk pada kategori Rentan (Vulnerable/VU) yaitu julang sumba (Rhyticeros everetti), julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), dan kangkareng sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus).
IUCN sendiri menempatkan rangkong badak pada posisi Near Threatened (NT). Artinya, status rangkong ini mendekati terancam punah. Rangkong badak juga masuk dalam CITES Appendiks II. Sementara, pemerintah melindunginya melalui UU No 5 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menurut Johan, meski upaya perlindungan telah dilakukan namun belum menjamin kehidupan rangkong di alam. “Praktiknya, rangkong masih ada yang dipelihara penduduk, diperdagangkan di pasar burung, bahkan habitat alaminya juga mulai rusak akibat alih fungsi hutan.”