, ,

Inilah Kisah Said Tolao, Sang Tondo Ngata, Penjaga Hutan Adat Toro

Setelah menunaikan ibadah sholat subuh, lelaki tua itu meninggalkan rumah. Sepanjang jalan tempat ia berjalan pepohonan tinggi seperti membentuk benteng. Said Tolao (65) mulai menjalankan tugas rutinnya yang ia lakukan setiap hari sejak bertahun-tahun lalu. Dia melakukan patroli untuk mengawasi hutan, agar jangan sampai ada yang lakukan perambahan di hutan adat Toro.

Said adalah seorang Tondo atau polisi adat. Tugasnya menjaga hutan adat milik masyarakat Ngata Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ngata artinya desa, sedangkan Toro adalah nama desanya. Di tempat ini, sudah dibuat peraturan untuk mengganti penyebutan desa menjadi Ngata.

Said Tolao melangkahkan kakinya melewati sungai itu. Di seberangnya, berdiri sebuah pondok yang dijadikannya pos tempat ia istirahat dan makan. Di kiri-kanan ia tanami tanaman tahunan seperti kakao dan durian. Setelah itu patroli kemudian dilanjutkan. Tangan kanannya memegang parang. Tubuhnya sesekali membungkuk dan miring menghindari ranting pohon.

“Saya sejak dulu menjadi Tondo Ngata. Kewajiban saya menjaga hutan adat. Ini pengabdian saya kepada masa depan orang-orang Toro,” ujar Said, bapak dari lima orang anak dan kakek delapan orang cucu. Meski usia sudah setengah abad lebih, namun matanya masih awas. Telinganya sangat peka. Jalannya cepat, menyelinap dibalik pepohonan.

Dalam sehari, Said menempuh jarak rata-rata 8 kilometer jalan kaki ke dalam hutan. Jika dihitung baliknya lagi, total setiap hari ia berjalan 16 kilometer. Tidak heran, di usia senja Said masih kuat berpatroli dalam hutan.

“Kalau tidak masuk hutan, saya bisa stres. Ya minimal 2-3 jam saya harus ada di hutan. Hutan seperti dalam surga. Saya selalu sehat dan segar kalau ada di sini,” katanya.

Hutan adat di Ngata Toro ini seluas 18.360 hektar. Karena peran dari para Tondo Ngata, hutan adat yang dahulunya diklaim milik negara melalui Balai Besar TN Lore Lindu, itu bisa terjaga baik. Sejatinya, ada 12 orang Tondo Ngata di Toro. Namun yang tertua adalah Said Tolao.

Menurut Said, saat ini tidak ada lagi orang Toro yang merambah hutan, karena sudah menjadi aturan yang ditetapkan oleh lembaga adat. Namun kerap pula dia menemukan orang luar Toro yang masuk tanpa izin dan melakukan perambahan. Jika sudah begitu, ia akan kejar-kejaran dengan si pelaku  dalam hutan. Ada yang tertangkap, ada pula yang lolos. Yang tertangkap ia serahkan ke lembaga adat, dilakukan sidang, dan diberikan givu atau denda adat.

Mungkin karena kegigihannya itu pula, di tahun 2002, pihak Balai Besar TN Lore Lindu, ketika itu dikepalai oleh Banjar Yulianto Laban, beritikad baik dengan menggandeng Said Tolao sebagai mitra dan diberikan honor Rp 175 ribu pertiga bulan. Sekarang, honor yang ia dapat dari balai Rp 800 ribu per satu setengah bulan.

Namun jumlah uang itu tidak ia pikirkan. Sebab, memang sudah menjadi kewajibannya menjaga hutan, khususnya hutan adat Toro. Karena prinsip yang tertanam dalam dirinya adalah mewariskan hutan yang lestari kepada anak-anak dan cucu orang Toro.

Hutan adat Ngata Toro. Di sini, tanaman tahunan seperti kako dan durian juga ikut di tanam.
Hutan adat Ngata Toro. Di sini, tanaman tahunan seperti kako dan durian juga ikut di tanam. Foto: Chris Paino

“Kalau hutan di Ngata Toro hancur, bukan Kota Palu (ibu kota Sulawesi Tengah) yang rusak, tapi orang-orang Toro sendiri,” katanya.

Tugasnya sebagai Tondo Ngata tidaklah mudah. Dalam struktur lembaga adat, Tondo Ngata juga mengawasi keamanan kampung dan seluruh wilayah adat Toro.

Said bercerita, sebagai seorang Tondo Ngata, banyak kejadian yang selalu menimpa dirinya. Namun ada satu kejadian yang tidak pernah ia lupa. Ketika itu di tahun 2007, sekitar jam 11 siang. Ia melakukan patroli seorang diri. Said mendengar suara gergaji mesin atau chainsaw di wilayah hutan. Tiga jam ia mencari arah suara yang membuatnya resah. Tanpa ia sadari, posisinya sudah berada pada tebing dengan kemiringan 40 derajat. Dan, “Prakk”. Said terjatuh. Ketinggiannya sekitar 5-6 meter. Tubuhnya menggelinding. Beruntung ia memakai tas ransel. Lalu tas itu tersangkut di pohon, menolong tubuh rentanya sehingga membuatnya tidak terjatuh di dasar.

“Tapi kaki saya bengkak, gigi patah, sebagian tubuh saya berdarah.”

Ternyata, tidak jauh dari tempat Said terjatuh itu, arah si perambah makin dekat. Dengan jalan yang tergopoh-gopoh, ia menghampiri orang tersebut dengan parang yang sudah terhunus di tangan kanannya. Sementara si perambah, kaget bukan kepalang melihat sesosok tua di hadapannya dengan tubuh berdarah dan pedang yang seperti siap menerkam.

“Tentu saya tidak sungguh-sungguh menyerang orang itu. Hanya menakut-nakuti saja. Si perambah itu tidak melakukan perlawanan. Saya ceramahi dia soal hutan adat Toro. Eh, orangnya lari. Chainsaw-nya ditinggalkan begitu saja,” kata Said tertawa.

Padi ditanami di halaman rumah warga di Ngata Toro. Di belakangnya, hutan adat Toro.
Lansekap di Ngata toro, padi, rumah warga dan hutan sebagai latar belakangnya. Foto: Chris Paino

Karena sikapnya sebagai Tondo Ngata yang tanpa tedeng aling-aling dalam menjaga hutan adat, nama Said dikenal seantero Toro dan kampung tetangga lainnya. Kegigihannya itu pun mengantarkan Said pada sebuah penghargaan dari Kementerian Kehutanan RI. Tepatnya pada tahun 2006 silam, ia bersama kelompok Tondo Ngata mendapatkan CBFM (Community Based Forest Management) Award dari Kemenhut, penghargaan bergengsi kepada orang atau kelompok yang telah berjasa menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Namun demikian, meski hutan adat Ngata Toro sampai dengan saat ini masih terjaga dengan baik, Said merasa khawatir suatu saat nanti juga ancaman-ancaman kerusakannya juga sangat besar. Ancamannya bukan saja dari luar, namun juga datang dari dalam.

Ia bercerita, sejauh pengamatannya selama ini, masih ada beberapa warga, umumnya pendatang yang mengingkari kesepakatan yang sudah diatur dalam adat Toro. Orang luar itu mempengaruhi warga Toro untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil hutan, dan juga memburu satwa seperti anoa, atau sapi hutan kerdil. Karena pengaruh luar itu masyarakat tergiur. Akan tetapi, itu juga terbukti ternyata hanya menjerat warga dalam hutang. Beruntung, kata Said, masyarakat cepat sadar termasuk masyarakat pendatang.

“Itulah mengapa adat kami di Toro harus dijaga terus dan diperkuat. Sekarang masyarakat sadar dan tidak lagi mengambil kayu di hutan, kecuali atas izin lembaga adat.”

Bagi Said sendiri, yang menjadi motivasi dalam menjalani tugasnya sebagai Tondo Ngata sangat sederhana, yakni demi mewariskan alam yang terjaga bagi anak-anak dan cucu orang Toro; menyelamatkan masa depan Ngata Toro.

Ini menurutnya sesuai dengan filosofi orang-orang Toro, “Bolika ngana tomua to nabuhe ue na, rabolika ngana tomua to nabai”. Artinya, wariskanlah kepada anak-cucu sumur yang penuh dengan mata air, jangan wariskan kepada anak-cucu sumur yang kering.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,