Pak Tangguk, Pegiat Madu Hutan Lestari dari Kampar

Pagi, saat mentari baru menampakkan wujudnya, Ramli Abdullah (62 th) yang akrab dipanggil “Pak Tangguk” bersama Japri, menantunya, melanjutkan perjalanan ke kampung Muara Lesan, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Sebelumnya, warga Desa Sungai Pagar, Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, ini bermalam di  Tanjung Redeb.

Perjalanan yang dilakukannya ini bertujuan berbagi ilmu tentang memanen madu ramah lingkungan kepada warga dari beberapa kampung di Kecamatan Kelay. Pak Tangguk memang khusus diundang dari Sumatera untuk mengisi Workhop Madu Hutan dan Pelatihan Panen Madu Lestari di Berau, awal September lalu.

Sejak muda hingga akhir 1990-an, bapak berputra empat ini berprofesi sebagai tukang ‘senso’ atau pemotong kayu di hutan. Sejak tahun 2000, dia beralih pekerjaan sebagai pencari madu hutan. Terakhir, dia membentuk Koperasi Madu Sialang (KOPMAS) di Kampar Kiri Hilir untuk menjaga kelestarian usaha madu hutan alami.

“Sama seperti masyarakat di sini, saya dahulu juga memanen madu di malam hari dan memakai asap serta api untuk mengusir lebah dari sarangnya,” katanya. Setelah empat tahun mengeluti usaha madu hutan, akhirnya dia menemukan cara memanen madu di siang hari tanpa menggunakan asap.

Pakaian lapis tiga

Duduk bersila di lantai kayu beranda rumah kepala kampung  Muara Lesan, Pak Tangguk yang mengenyam pendidikan sampai Sekolah Rakyat ini menjelaskan cara memanen madu hutan di siang hari kepada sejumlah warga yang telah hadir.

“Kami tidak memakai mantera atau sihir untuk menahan sengatan lebah. Tapi lebah yang menyengat kami tidak tembus kulit. Kenapa? Selama memanjat, kami mengenakan pakaian pengaman. Semua serba lapis tiga. Mulai dari celana, baju lengan panjang, kaus kaki, kaus tangan, hingga sebo (penutup kepala),” katanya.

“Lebah hutan memang ganas, jangankan kita, kerbau saja bisa mati kalau diserangnya. Tapi dengan baju pengaman berlapis dan tebal, sengatnya tidak akan sampai,” kata Pak Tangguk, menyakinkan sejumlah warga yang terlihat kurang percaya.

“Nanti bapak-bapak bisa membuktikannya di  lapangan. Japri, menantu saya akan mempraktikkan.”

Ramli Abdullah atau biasa disapa Pak Tangguk memiliki prinsip bahwa ilmu yang dimilikinya tentang cara memanen lebah alami hutan harus dibagikan kepada masyarakat. Tidak boleh disimpan. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Ramli Abdullah atau biasa disapa Pak Tangguk memiliki prinsip bahwa ilmu yang dimilikinya tentang cara memanen madu hutan alami harus dibagikan kepada masyarakat. Tidak boleh disimpan. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Urusan memanjat pohon sialang, sebutan bagi pohon tempat lebah madu bersarang, diserahkan kepada Japri. Dirinya lebih fokus mengurus organisasi. Di Berau, Kalimantan Timur, masyarakat mengenal madu hutan alami ini dengan sebutan Unyai yang biasa bersarang di pohon kempas, manggeris, dan tempura.

Menurut PaK Tangguk, kelangsungan hidup lebah madu hutan bergantung pada kualitas lingkungan. Jika kualitas hutan menurun karena eksploitasi maka keberadaan lebah madu hutan akan terancam. “Guna mensiasati hal tersebut kita harus mengembangkan sistem pemanenan dan hutan kepungan,” ujarnya.

Selain ancaman kerusakan hutan, gangguan terhadap panen madu hutan juga dari beruang dan elang. Untuk mengatasi hal itu, batang pohon sialang pada bagian tertentu dilapisi seng, sehingga sulit dipanjati beruang. Sementara, untuk mengusir elang, di dahan dekat sarang lebah, digantungkan cermin atau botol plastik berisi air sehingga memantulkan silau cahaya matahari.

“Kami juga menerapkan sistem panen sisa. Artinya, saat panen tidak memotong habis sarang lebah. Sarang disisakan sepanjang 10 centimeter dari pohon agar lebah bisa kembali membangun sarangnya.”

“Bahan makanan untuk lebah juga harus dicukupi. Untuk itu kami melakukan penanaman pohon buah-buahan atau yang berbunga di sekitar pohon sialang. Istilah kami adalah hutan kepungan. Pohon-pohon buah yang ditanam dimaksudkan untuk segera berbunga dan menjadi tempat lebah mengambil nektar bunga yang merupakan bahan baku madu,” lanjutnya.

Setahun 10 kali panen

Pak Tangguk bersama KOPMAS dapat panen madu setiap 33 hari atau sepuluh kali setahun, “Kalau dengan cara yang dilakukan sebelumnya hanya dua kali setahun.”

Tidak heran, jika para petani madu anggota KOPMAS di Kampar Kiri Hilir yang mencakup Sungai Pagar, Mentulik, Rantau Kasih, Gading Permai, Sungai Bungo dan lainnya, dapat memproduksi madu hutan sekitar 3,5 ton per tahun.

“Hasil produksi madu sialang kami, dipasarkan hingga ke Pekanbaru, Tanjung Pinang, Bandung, Bali bahkan Malaysia,” katanya.

Sore, saat sinar mentari meredup, warga dan Pak Tangguk menghentikan diskusi. Mereka mandi di Sungai Kelay yang airnya dingin meskipun terlihat surut. Selama berada di Muara Lesan, Pak Tangguk selalu mandi di sungai yang menurutnya jauh lebih bersih dari sungai yang ada di tempat tinggalnya.

“Ilmu itu barang berharga, jadi tidak boleh kita simpan sendiri. Sesuatu yang berharga kalau disimpan tidak akan berguna. Jika semakin banyak masyarakat menerapkan pemanenan madu hutan lestari, kita bukan hanya memperoleh penghasilan dan kesejahteraan, melainkan juga turut menjaga kelestarian hutan,” ujarnya.

Semoga, sosok Pak Tangguk dengan segala pengalamannya memberikan inspirasi bagi warga Kecamatan Kelay dan petani madu hutan di Indonesia.

Japri menunjukkan keahliannya memanjat pohon tempat lebah madu hutan bersarang. Panen madu dapat dilakukan siang hari dengan menggunakan pakaian lapis tiga. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Japri menunjukkan keahliannya memanjat pohon tempat lebah madu hutan bersarang. Panen madu dapat dilakukan siang hari dengan menggunakan pakaian lapis tiga. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,