,

Kekeringan Landa Maros

Mansyur(60), menatap hamparan sawah dengan perasaan gundah. Meski memasuki musim tanam tetapi air irigasi belum tiba. Berbeda dari biasa, Oktober air irigasi sudah mengalir. Kini, awal Oktober tak ada tanda-tanda air datang.

Warga Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, ini tampak frustasi. Sawah kering kerontang. Hujan tak turun sejak tiga bulan lalu.

“Ini kemarau panjang. Tahun lalu tidak seperti ini. Sudah waktu menanam tapi belum ada air. Katanya minggu depan baru ada,” katanya ketika ditemui Mongabay, Kamis (2/10/14).

Seharusnya, tahun ini bisa panen tiga kali seperti sebelumnya, namun keterlambatan pembagian air membuat keinginan itu sulit terwujud. Lokasi sawah di ketinggian membuat sulit mendapatkan air dari Bendungan Bontosunggu.

Tahun lalu, Mansyur, kadang menggunakan pompa air untuk menyedot air tanah. Dia sudah berkali-kali mengusahakan hal sama tetapi nihil. “Apa yang mau disedot kalau air tidak ada. Air sudah benar-benar kering.”

Padahal, persiapan menanam sudah mantap, seperti pengadaan bibit memadai. Sejak sebulan lalu siap menggarap sawah.  “Biar bibit banyak kalau air tak ada, tidak ada guna.”

Senada dengan Hawiah(40), warga Desa Minasa Baji. Dia frustasi karena kemarau panjang. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu hujan ataupun giliran air irigasi. Lokasi sawah di ketinggian menjadi kendala tersendiri.

“Sumber air jauh di bawah. Kita paling dapat sisa-sisa. Hujan tak ada sama sekali beberapa bulan ini, beda dengan tahun sebelumnya sesekali ada ji hujan.”

Sejumlah desa di Maros, menghadapi kemarau panjang dan parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya Maros, daerah lain Makassar, Takalar, Jeneponto, Gowa dan lain-lain di pesisir Barat Sulsel.

Hasil pengamatan di sejumlah daerah seperti Gowa, Barru, Pangkep dan Pinrang terlihat banyak persawahan kering, dengan tanah retak-retak.

Menurut kasubag Pelayanan BBMKG Wilayah IV Makassar, Sujarwo, kemarau tahun ini jauh lebih panjang dibanding sebelumnya. Puncaknya Agustus-September, di sejumlah daerah suhu mencapai 36 derajat Celcius dan tak ada hujan sama sekali.

“Beberapa daerah cukup parah berada di Sulsel bagian pesisir barat. Dalam tiga bulan tak ada hujan sama sekali. Itu kita rasakan puncaknya Agustus-September.”

Menurut dia, kemarau jelas berdampak bagi petani  karena air makin berkurang. “Sawah menjadi kering kerontang.”

Sujarwo memperkirakan, musim tahun ini terlambat 20 hari dari seharusnya tetapi masih dalam batas normal. Musim hujan diperkirakan muncul awal November dan makin intens pada akhir November.

Lahan sawah Hawiah  yang sudah kering sejak tiga bulan lalu. Letak sawah  lebih tinggi dari saluran air utama membuat susah akses air dan harus menunggu giliran lebih lama. Foto: Wahyu Chandra
Lahan sawah Hawiah yang sudah kering sejak tiga bulan lalu. Letak sawah lebih tinggi dari saluran air utama membuat susah akses air dan harus menunggu giliran lebih lama. Foto: Wahyu Chandra

Kekeringan parah di Maros, tak hanya karena kemarau, juga debit air berkurang dampak aktivitas PT Semen Bosowa dan PDAM. Selama ini, warga di Maros menggantungkan suplai air dari Bendungan Bontosunggu, Bantimurung. Kini, jatah air dari bendungan makin berkurang karena berbagi dengan dua perusahaan itu.

“Ini sudah lama sekali saya sampaikan. Mungkin sejak 10 tahun lalu, tapi tak ada tanggapan berarti. Kalau dulu hanya Bosowa yang mengambil air dari tanah dalam skala besar, kini PDAM,” kata Abdul Azis, kepala Desa Ala Tengae, Bantimurung. Dia juga menjabat ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Maros.

Azis mencoba menghitung-hitung debit air yang dipakai Bosowa berdasarkan kapasitas pompa digunakan, yaitu 25 liter perdetik. “Dengan kapasitas pompa 25 liter perdetik dalam sehari diperoleh hingga 2.900 kubik, setara 400 mobil tangki. Ini bisa mengairi ratusan hektar sawah petani.”

Azis mengklaim, sekitar 2.000 hektar lahan petani terkena dampak aktivitas perusahaan ini. “Kalau dirata-ratakan setiap petani memiliki 50 are sawah, bisa sekitar seribuan petani terkena dampak dari pengambilan air itu.”

Begitu PDAM yang memerlukan pasokan air banyak guna melayani tambahan konsumen. Dampaknya, warga yang berada di sekitar air malah kekurangan pasokan air.

Dampak paling dirasakan, kata Azis, keterlambatan masa tanam warga di sejumlah daerah, karena penggunaan air irigasi bergilir.

“Kini ada sejumlah desa terlambat menanam. Ini bisa dilihat di di Kecamatan Turikale dan Lau. Seharusnya sudah menanam sejak 25 September, tapi sampai kini belum dapat jatah air.”

Lebih parah lagi, di Desa Jene Taisa, meski berada dekat bendungan namun tidak mendapatkan jatah air memadai bahkan ada sawah kering kerontang.

Dia bersama ratusan petani tergabung dalam forum bersama, terdiri dari Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) dan Apdesi Maros, mengadukan ini ke DPRD Maros pada Jumat, (26/9/14).

Tuntutan utama mereka, mengeluhkan debit air berkurang akibat pemakaian bersama Bosowa dan PDAM, dan menuntut tidak lagi memberi izin pengambilan air perusahaan dari bendungan setempat.

DPRD mempertemukan ketiga pihak tekait, yaitu perwakilan warga, Bosowa dan PDAM.

Bosowa diwakili kepala Water Treatment, Sulardi, dalam pertemuan ini mengatakan, meski kapasitas pompa air yang digunakan semen Bosowa berkapaistas 25 liter perdetik, namun digunakan hanya 15 liter per detik.

Bosowa, katanya, tidak hanya menggantungkan air dari Bontosunggu juga dari danau buatan Bosowa. Tahun 2015, Bosowa akan menggunakan sumber lain, dan tidak lagi dari Bantimurung. “Masih dalam tahap perencanaan dan pematangan,” katanya dikutip dari Fajar.

Abdul Badar, direktur utama PDAM Maros, dalam pertemuan membantah PDAM menganggu distribusi air di daerah itu. Dia menilai debit air di Bontosunggu tidak berubah signifikan.

Pertemuan itu belum tuntas menyelesaikan masalah. Bosowa dan PDAM berjanji mengkaji ulang penggunaan air di kawasan itu sebelum diadakan mediasi ulang oleh DPRD. “Senin nanti kami bertemu kembali di DPRD,” kata Azis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,