, ,

Punduk Sahur, Ritual Jaga Hutan Masyarakat Tumbang Bahanei

Awal September  2014, tampak beberapa orang mendatangi rumah mantir adat Tumbang Bahanei, Dunal S. Rintung. Mereka membawa seekor babi putih. Satu per satu warga berdatangan. Mereka tampak antusias. Ternyata, mereka tengah mempersiapkan ritual adat Punduk Sahur. Ini ritual buat menjaga hutan.

Dunal, keluar rumah. Ember penuh air tersedia. Dia membacakan puja-puji bagi roh leluhur. Babi diikat pada kayu panjang dipegang dua orang. Dunal bersiap memandikan babi itu.

Byuur…

Babi disiram. Dunal berkali-kali membacakan mantra memanggil roh. Memberi tahu, sesaji mereka siap tersedia. Tak lama, dia mengambil sebilah parang dan menyembelih babi. Mereka juga menyembelih tiga ayam berwarna berbeda: merah, putih dan campuran.

“Hutan kami terancam. Karena itu kami mengadakan upacara ini. Berharap roh leluhur ikut bersama-sama menjaga hutan kami,” kata Dunal.

Persoalan belakangan ini, sangat genting. Pemetaan wilayah adat partisipatif sudah selesai. Bahkan lokakarya dilakukan hingga ke provinsi. Namun ancaman kelestarian hutan adat tak berhenti. Pengakuan pemerintah belum keluar. Ditambah ancaman perusahaan HPH dan konflik dengan warga desa tetangga.

Sebagian orang bahu membahu memotong babi. Daging babi dibersihkan itu diolah menjadi masakan siap disantap bersama. Sebelum santap bersama, masakan dipersembahkan bagi roh leluhur.

Ada yang sibuk menyiapkan sesaji. Rokok, pinang, daun sereh dan lain-lain dirangkai sedemikian rupa. Ketupat campur darah ayam dan babi, beras dan lain-lain tersedia di ruang tengah. Dunal membacakan mantra. Orang-orang berkumpul melingkar. Kemenyan dari kayu gaharu mengepul. Menghadirkan suasana begitu khidmat.

Ancaman lain bagi hutan Tumbang Bahanei yakni tambang emas oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Sebelum upacara Punduk Sahur, mereka mengadakan rituan Ngundik. Itu untuk menentukan waktu pelaksanaan ritual dan sesaji yang diminta roh leluhur dalam Punduk Sahur.

Malam hari sebelum Punduk Sahur, masyarakat  berkumpul. Membacakan puja-puji. Mereka menyebut basarah dan mempersiapkan sesaji.

“Ritual ini untuk memberi tahu roh jin dan leluhur bahwa besok kita ada prosesi sesajen. Jadi seperti mengundang mereka untuk datang. Agar acara  lancar.”

Gelaran upacara Punduk Sahur tidak bisa sembarangan. Masyarakat adat Tumbang Bahanei melakukan di waktu-waktu tertentu. Jika keadaan genting dan mengancam, mereka adakan upacara ini.

“Kami berharap roh-roh leluhur bisa ikut menjaga hutan kami.”

“Harapannya masyarakat  Bahanei maupun pengurus-pengurusnya AMAN se Kalteng dan Indonesia diperhatikan. Hutan tetap terjaga jangan sampai hilang. Karena harta tak ternilai,” katanya.

Setelah semua makanan siap, Dunal keluar rumah. Dia menuju Balai Bantanan tepat di depan rumah. Balai Bantanan setinggi leher orang dewasa. Ini tempat menyimpan sesaji yang dibungkus kain, ada payung di atasnya.

“Harus di depan rumah orang yang menyelenggarakan acara itu. Dekat dengan bendera. Agar roh-roh datang melihat makanan siap, sudah makan dikasih untuk hidup kita. Kasih rezeki dan keselamatan.”

Hutan keramat Tumbang Bahanei yang tak boleh diganggu gugat. Foto: Indra Nugraha

Mantra dibaca. Nampan berisi arang  mengepul bersama kemenyan gaharu. Dunal memasukkan sesaji ke Balai Bantanan. Setelah ritual selesai, acara ditutup makan bersama. Tua-muda, laki laki-perempuan berkumpul di rumah itu menikmati hidangan.

Alfianus Genesius Rinting, deputi AMAN Kalteng mengatakan, inisiatif komunitas Tumbang Bahanei mengadakan ritual adat Punduk Sahur patut diapresiasi. Ritual itu penting di tengah makin marak perampasan hak masyarakat adat. Juga kondisi adat yang makin tenggelam.

“Ini bukti masyarakat adat Bahanei ada. Bukan sekedar karangan. Mereka masih ritual dalam kehidupan sehari-hari.”

Punduk Sahur, katanya, juga tanda bahwa masyarakat adat percaya diri.  “Banyak masyarakat adat tidak percaya diri,  minder dan rendah diri dengan adat dan identitas. Masyarakat Bahanei bangga dengan adat istiadat mereka.”

REDD+ dan hak adat

Beberapa bulan lalu ada kesepakatan menjadikan REDD+ salah satu cara pengakuan hak-hak masyarakat adat di Istana Wakil Presiden, Boediono di Jakarta. Masyarakat Bahanei mempersiapkan diri menjadi bagian REDD+.

“Kami persiapkan langkah-langkah menuju REDD+. REDD+ bisa jadi alat pengakuan hak masyarakat adat. Kami persiapkan dulu,” kata mantir adat, Suley Medan.

Suley mengatakan,  lebih baik setuju REDD+ daripada perusahaan sawit atau pertambangan. Mereka perusahaan-perusahaan itu, tidak ada niat menjaga hutan demi masa depan.

Rinting mengatakan, sebetulnya REDD+ bahasa baru saja. Menjaga dan melindungi hutan sudah dilakukan masyarakat adat sebelum ada REDD+. Selama ini, katanya,  mekanisme REDD+ banyak diatur orang luar. Masyarakat adat, hanya menerima jadi. Banyak perusahaan datang menawarkan konsep jadi. Seharusnya masyarakat adat dilibatkan sejak awal.

“Kami tak mau seperti itu. REDD+ harus muncul dari bawah ke atas. Ada partisipasi masyarakat adat. Semua proses terlibat.”

AMAN Kalteng sudah workshop bersama masyarakat Tumbang Bahanei untuk menyusun safeguard. Guna menggali kerangka pengaman versi masyarakat adat, bukan hanya terapan dari saja.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,