,

Ironi Festival Teluk Palu Ditengah Gencarnya Reklamasi

Sorak kegembiraan warga nampak ketika pawai dokar hias melewati jalan utama Kota Palu. Dokar hias ini dilombakan saat pembukaan Festival Teluk Palu, 27 September 2014 lalu. Parade yang diikuti sejumlah instansi pemerintahan, perwakilan kelurahan, juga kecamatan ini telah dicanangkan sebagai kegiatan budaya dan pariwisata tahunan sejak 2003.

Rosdiana Lalusu, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palu, berharap festival ini dapat memperkenalkan budaya dan kearifan masyarakat Palu. Harapan besarnya adalah mampu meningkatkan kunjungan wisatawan ke Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah ini. “Semoga, dengan dihelatnya Festival Teluk Palu dapat meningkatkan kunjungan wisatawan,” katanya.

Namun menurut Agung, warga Palu, pelaksanaan festival ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Yang terlihat menonjol hanyalah keramaian dan seremonial. “Justru, yang sangat disayangkan adalah sebagian pantai Teluk Palu sudah direklamasi. Bagaimana wisatawan mau datang kalau keindahan teluk yang menjadi ikon sudah hilang?” jelasnya.

Hal senada dilontarkan Walhi Sulawesi Tengah. Sejak awal, ketika ide reklamasi digulirkan Pemerintah Kota Palu, Walhi paling getol menolak reklamasi Teluk Palu atau yang dikenal dengan nama Pantai Talise.

Direktur Walhi Sulteng, Ahmad Pelor mengatakan, festival Teluk Palu ini adalah sebuah ironi. Karena, disaat pemerintah kota dengan gencarnya melakukan publikasi keanekaragaman hayati, ekologis, kesenian dan budaya, serta ekonomi kreatif melalui festival Teluk Palu, namun disaat bersamaan pemerintah juga melakukan reklamasi.

“Ini kan aneh. Saya melihat, festival ini tidak berkontribusi jangka panjang terhadap masyarakat yang ada di pesisir Teluk Palu. Selama ini, setiap yang ditampilkan dalam festival hanyalah tari-tarian, pagelaran musik, dan bermacam lomba.”

Menurut Ahmad, Festival Teluk Palu hanya sebagai ajang “menjual” budaya Kota Palu yang artinya murni untuk kepentingan bisnis pariwisata. Sementara, hal yang lebih substansi, seperti model pengelolaan Teluk Palu oleh masyarakat lokal tidak terangkat kepermukaan.

Ahmad Pelor menambahkan, begitu banyak dampak yang akan ditimbulkan jika reklamasi terus dilakukan. Di antaranya pelambatan air sungai menuju ke laut saat musim hujan serta mengakibatkan potensi banjir rob. “Reklamasi akan memperparah kerusakan ekosistem laut dan berpengaruh terhadap rantai kehidupan biota laut termasuk ikan. Jika terus terjadi akan berdampak langsung terhadap produksi tangkapan ikan nelayan yang selama ini sudah menggantungkan hidupnya di Teluk Palu,” tegasnya.

Masyarakat yang ikut merasakan dampak reklamasi Teluk Palu adalah petani garam di Kelurahan Talise. Ente Lasido, 63 tahun, salah seorang petani garam mengatakan bahwa tambak-tambak garam mereka dipastikan tidak lagi berfungsi karena kebutuhan air laut yang masuk ke dalam areal tambak telah ditimbun.

“Total luasan seluruh tambak garam yang ada di sini sekitar 19 hektar. sebanyak 200 orang menggantungkan hidupnya di tambak garam ini. Sekarang saya sedang berpikir alih profesi yang sesuai dengan keahlian saya,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Walikota Palu, Mulhanan Tombolotutu, kepada Mongabay mengatakan bahwa reklamasi Teluk Palu yang panjangnya sekitar 38 hektar itu sudah dilakukan kajian berdasarkan tiga aspek, yaitu hukum, ekologi, dan sosial-ekonomi. Lagi pula katanya, reklamasi tersebut sudah diatur dalam rencana tata ruang wilayah yang dibagi berdasarkan zona kawasan konservasi, kawasan lindung, pertambangan, perkebunan, dan kawasan lainnya.

Namun menurut Mulhanan, yang juga masuk dalam bursa calon Walikota Palu 2015, jika ada hasil kajian yang menjelaskan bahwa reklamasi Teluk Palu berdampak buruk, ia akan segera menghentikan. Mulhanan berdalih, telah dilakukan kajian yang menjelaskan kalau reklamasi di Teluk Palu tidak memberikan pengaruh pada lingkungan.

“Yang direklamasi itu tidak besar. Hanya sekitar 38 hektar, tidak sampai 100 hektar. Ini berbeda dengan reklamasi Teluk Benoa di Bali yang banyak diprotes. Bahkan, dalam kawasan yang direklamasi ini tidak ada karangnya,” kata Mulhanan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,