,

Mengapa Kebakaran Lahan Gambut di Sumsel Tak Kunjung Usai? Inilah Ulasannya

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan (Sumsel) nyaris terjadi setiap tahun. Kabut asap pun menyerang sejumlah wilayah, termasuk Palembang. Wilayah yang paling banyak mengalami kebakaran adalah lahan rawa gambut. Mengapa?

Pada 1997-1998, terjadi kebakaran luar biasa di wilayah rawa gambut Sumatera Selatan. Kebakaran ini menimbulkan bencana nasional berupa kabut asap. Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, termasuk dari Riau dan Jambi, turut menyelimuti Singapura dan Malaysia.

Kebakaran di lahan gambut cukup luas kembali terjadi pada 2006, 2007, dan 2008. Akibatnya sekitar satu juta dari 1,2 juta hektar luas gambut di Sumatera Selatan, yang tersebar Kabupaten OKI, Banyuasin, dan Musi Banyuasin rusak. Dan saat ini lahan gambut yang masih “perawan” sekitar 170 ribu hektar. Angka ini pun kemungkinan berkurang akibat kebakaran lahan gambut yang terjadi pada 2014.

“Kebakaran lahan gambut yang paling hebat terjadi pada 1997-1998. Saat itu kebakaran selain didorong oleh El Nino juga akibat aktivitas perambahan hutan dan perladangan. Perambahan hutan di tahun 1970-an dan 1980-an sangat terkenal di wilayah gambut di Sumsel, khususnya di pantai timurnya. Perambahan ini mengiringi aktivitas penebangan kayu oleh perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan),” kata Najib Asmani, pakar lahan gambut yang kini menjadi staf ahli lingkungan hidup Gubernur Sumsel, Rabu (08/10/2014).

Digambarkan Najib, setelah kebakaran tersebut, lahan gambut di pantai timur, seperti di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seperti padang rumput yang sangat luas, sekitar 700-an ribu hektar rusak. “Pemerintah maupun para akademisi sibuk mencari solusi untuk mengembalikan kondisi lahan gambut, yang sebenarnya tidak dapat dikembalikan seperti semula. Solusi yang dicari yakni mempertahankan yang ada dan mencoba menghijaukan kembali,” katanya.

Pada saat bersamaan, lahan gambut ini kian bertambah rusak akibat adanya penambakan udang tradisional. “Sudah gersang dipenuhi pula dengan lubang-lubang pertambakan,” ujarnya.

Lalu, hadirlah perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan sawit. Kehadiran perusahaan ini sempat mengkhawatirkan. Keberadaan mereka disinyalir akan menambah kerusakan lahan gambut.

“Ternyata HTI memberikan dampak positif terhadap eks lahan gambut yang terbakar tersebut. Lahan yang sebelumnya gersang berubah menjadi hutan tutupan,” kata Najib.

Perusahaan HTI yang berada di lahan gambut eks kebakaran tersebut, tersebar di Musirawas, Banyuasin, dan Musi Banyuasin: PT. Sumber Hijau Permai (SHP), PT. Tripupa Jaya (TPJ), PT. Rimba Hutani Mas (RHM), PT. Bumi Persada Permai (BPP) I dan PT. BPP II. Kemudian di Kabupaten OKI: PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industri, PT.Bumi Andalas Permai (BAP), PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), dan PT. Ciptamas Bumi Subur (CBS). Semua perusahaan tersebut saat ini merupakan rekanan atau pemasok bahan baku pabrik kertas APP (Asia Pulp & Paper Group), dan di masa mendatang menjadi pemasok pabrik kertas terbesar di Asia, PT. OKI Pulp & Paper Mills.

“Perusahaan HTI sangat takut dengan kebakaran hutan dan lahan. Mereka akan mengalami kerugian yang besar jika hal tersebut terjadi. Mereka pun mengeluarkan banyak biaya dan tenaga untuk melakukan pencegahan dan pemadaman jika terjadi kebakaran,” kata Najib.

Kebakaran lahan-gambut ini disebabkan oleh aktivitas petani yang membuka lahan untuk pertanian. Foto: Jib Mania-Sumsel.jpg
Kebakaran lahan-gambut ini disebabkan oleh aktivitas petani yang membuka lahan untuk pertanian. Foto: Jib Mania-Sumsel

Mengapa gambut masih terbakar?

Jika memang perusahaan HTI menjaga lahan gambut dari kebakaran, mengapa hingga saat ini masih terjadi kebakaran?

“Ya, titik api masih sering terjadi. Tapi jika tidak ada perusahaan HTI, saya percaya kerusakan gambut di Sumsel jauh lebih parah. Kebakaran gambut juga tidak sehebat sebelumnya,” kata Najib.

Dijelaskan Najib, ada dua faktor yang menyebabkan adanya kebakaran lahan gambut pada saat ini.

Pertama, musim kemarau dengan badai El Nino menyebabkan kekeringan yang sangat pada permukaan lahan gambut. Kedua, tata kelola air yang salah untuk perkebunan menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan gambut. “Termasuk pula adanya jenis tanaman tertentu yang banyak menghisap air, sehingga lahan gambut menjadi lebih kering,” ujarnya.

Dengan kondisi seperti itu, adanya aktivitas pembakaran sekecil apa pun akan mempercepat terjadi kebakaran lahan. “Yang mengerikan api bergerak bukan di permukaan tapi di bawah. Seseorang membakar pada satu titik, bukan tidak mungkin api merambat di bawah gambut sejauh kiloan meter dalam hitungan hari,” ujarnya.

Dengan fakta ini, kata Najib, guna mengatasi kebakaran lahan gambut harus melibatkan banyak pihak. Mulai dari perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Perusahaan bukan hanya memiliki alat dan tenaga ahli pemadaman, juga harus melakukan penataan air yang bagus.

Pemerintah selain mengontrol apa yang dilakukan perusahaan, juga harus mendorong tata kelola air yang baik untuk perusahaan maupun pertanian bagi masyarakat.

Kemudian, melibatkan masyarakat agar aktif menjaga lahan gambut dari bencana kebakaran. Menata masyarakat ini tidak sebatas dengan melarang. Juga harus ditata perekonomian masyarakat, termasuk fasilitas umum, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk melakukan pembakaran atau membiarkan adanya pembakaran lahan.

Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mengatakan  keberadaan HTI maupun perusahaan perkebunan sawit di lahan gambut yang rusak akibat kebakaran pada 1997-1998 dapat dibilang tidak berhasil. “Faktanya setiap tahun selalu ada hotspot di lahan gambut yang masuk wilayah konsensi perkebunan milik perusahaan. Ini berbeda dengan perkebunan milik masyarakat yang justru jarang terjadi kebakaran, seperti pada Desa Nusantara” kata Hadi, Rabu (08/10/2014).

Di sisi lain, perusahaan yang mendapatkan tanggung jawab oleh pemerintah dalam mengelola lahan gambut yang kritis tersebut, yang ternyata gagal menjaganya dengan fakta adanya kebakaran, harus diberikan sanksi hukum sebagai tanggung jawabnya.

“Tapi bagi kami (Walhi), pengelolaan lahan kritis sebaiknya diberikan kepada masyarakat dibandingkan kepada perusahaan. Ribuan perusahaan perkebunan di Indonesia terbukti gagal mengatasi kebakaran dan menata hutan dibandingkan dengan masyarakat,” ujar Hadi.

Api dapat menyebar di lahan gambut akibat kegiatan memasak di atas lahan gambut. Akibatnya, api menyebar di bawah permukaan tanah. Foto: Jib Mania-Sumsel
Api dapat menyebar di lahan gambut karena kegiatan memasak. Akibatnya, api menyebar di bawah permukaan tanah. Foto ini merupakan kegiatan illegal logging. Foto: Jib Mania-Sumsel

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,