Ada hutan rimbun nan indah. Pohon-pohon hijau berdiri kokoh. Namun di bagian bawah, tampak hutan rusak dan hancur. Ada sawah-sawah menguning dengan latar belakang pepohonan. Di bagian lain, sawah hancur berganti tambang. Begitu juga kekayaan laut yang cantik dengan ikaan-ikan dan biota lain, berganti hitam dan penuh polusi karena menjadi tambang atau eksploitasi migas.
Kisah alam ini tergambar apik dalam salah satu seri lukisan Andreas Iswinarto dalam pameran bertema Save The Earth, Save the Children di Galeri Walhi Nasional Jalan Tegal Parang, Jakarta.
Pada lukisan itu, dia ingin menyampaikan dua versi pandangan. Tampilan alam yang biasa ada dalam pikiran anak-anak dan fakta di lapangan kini. “Anak-anak biasa menggambar pemandangan alam pohon-pohon di hutan yang indah dan hijau. Kenyataan, kini hutan-hutan di negeri ini rusak parah. Begitu juga sawah-sawah yang menguning indah dalam pikiran anak-anak, kini banyak beralih fungsi menjadi tambang maupun perkebunan milik pengusaha besar,” katanya di Jakarta, Selasa (6/10/14).
Di bagian lain, tampak seri lukisan yang memperlihatkan pepohonan dan hutan-hutan tandus, kering kerontang. Hanya tertinggal satu dua daun hijau menyempil di antara ranting. “Hutan sudah rusak. Daun-daun hijau itu menunjukkan masih ada harapan memperbaiki hutan buat generasi ke depan. Buat kehidupan anak-anak ke depan.”
Dalam pameran bertema lingkungan ini, Iswinarto menampilkan sekitar 20 lukisan. Semua lukisan itu menggambarkan situasi alam dan lingkungan terkini. Ada lukisan karst di Rembang yang terancam perusahaan semen. Ada juga hutan-hutan adat yang terampas perusahaan.
Kotak Hitam, Melawan Lupa
Iswinarto tengah mengadakan pameran tunggal sejak 26 September hingga 17 Oktober 2014. Ada dua tema dia angkat, pertama, KOTAK HITAM-Melawan Lupa, Nyalakan Api! dan Save the Earth, Save the Children. Tema kedua, masuk dalam rangkaian ulangtahun Walhi.
Iswinarto, lahir di Yogyakarta pada 1965. Dia pernah mengenyam kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun, dia memutuskan berhenti setelah berkenalan dengan gerakan lingkungan, era 90 an. Kali pertama dia aktif berkampanye menolak pembangungan pembangkit listrik tenaga nulkir. Lalu dia bergabung di Walhi, dari 1998 sampai 2007. Kini dia di Sarekat Hijau Indonesia.
Melukis dan menggambar mulai getol dilakoni pada pertengahan 2010. Dia menggunakan media beragam, baol kertas, dengan cat minyak, akrilik, cat tembok, polycrayon, sampai tinta cina alias arang. Setahun belakangan ini, dia mulai menggunakan kanvas.
Dia mempunyai galeri online bertitel Lentera Pembebasan yang pada 4 Oktober lalu berusia empat tahun. Pameran yang pernah diusung antara lain Tribute to Wiji Thukul-Padepokan Lembah Ibarat, Malang pada 2011, Caping Emas untuk Kaum Tani, Bandung pada 2011. Pada 2012, dia mempersembahkan pameran Tribute to Munir, dan Melawan Lupa-14 Tahun Reformasi di Galeri Kontras Jakarta.
Untuk pameran Kotak Hitam, Iswinarto menampilkan 62 lukisan bertema hak asasi manusia. Judul Kotak Hitam, dia mengambil ide dari kotak hitam pesawat. Yang berarti, merekam percakapan dan fakta-fakta. Dari sana, dilakukan investigasi guna menentukan apa penyebab kecelakaan.
“Nah, kalau dianalogikan dengan HAM, kotak hitam sudah mulai muncul setelah reformasi. Ada kesaksian, testimoni baik dari pelaku maupun korban. Lalu ada film. Kasus 65 mulai berani cari kubur massal. Bukti-bukti sudah banyak, tinggal memastikan bahan yang ada itu ke penegakan hukum lebih lanjut.”
Dalam lukisan itu, Iswinarto menggambarkan beberapa fakta, dari pelanggaran HAM politik, lingkungan, sumber daya petani, perempuan, sampai miskin kota. “Banyak pembungkaman politik awal mula penguasaan terhadap aset. Misal, Freeport, di belakang peristiwa 65 juga ada kepentingan ekonomi. Di balik pelanggaran HAM ada persoalan lebih luas dan struktural yakni perampasan hak-hak ekonomi,” ucap dia.
Pamerah Kotak Hitam dibuat tiga bagian. Pertama, coba mengungkap aktor pelaku pelanggaran HAM dan apa dampaknya. “Itu saya temukan dalam puisi Wiji Thukul dalam judul Momok Hiyong. Di sana dia mengatakan rezim yang mempermainkan demokrasi, menafsirkan HAM semau dia, haus darah, haus darah, haus kursi, haus hutan, yang gambarkan persoalan yang kita hadapi.”
Kondisi ini juga mencakup dua hal tentang watak otoritarian negara dan tirani modal. Maksudnya di zaman orde baru, Soeharto, yang kuat watak otoritarian. “Setelah reformasi otoritarian negara berhasil diruntuhkan, tirani modal berkuasa. Saat ini tampak mulai mau dikembalikan ke otoritarian.”
Kedua, Bunga dan Tembok. Lewat lukisan, Iswinarto memperlihatkan bagaimana berupaya warga melakukan perlawanan, testimoni, antara lain, lain ada Kamisan, Wiji Thukul, Marsinah. Baru bagian terakhir, visualisasi karya Wiji Thukul. Mengapa Wiji Thukul? Karena dia menarasikan persoalan rakyat kebanyakan dari berbagai sisi, baik soal penghidupan ekonomi, petani dan soal perampasan hak sosial dan politik.
Dalam pameran ini dia juga mengundang, beberapa pelukis dan perupa otodidak menampilkan karya-karya mereka. Ada tiga buruh, Ata Bu, Awank Prasetyo dan Tyo. Lalu, perupa dengan latar belakang teater dan memperdalam ilmu di Bali, Gallis AS dan perupa Leo Lintang Timur.