, ,

Merawat Adat, Menjaga Komunitas Tana Lotong

“Itu konyol. Di sini kami ada sebelum negara ada. Bahkan tanpa negarapun kami masih ada,” kata Robert Eli Sipayo, tak dapat menyembunyikan kegeraman. Pria 72 tahun ini baru mendengar informasi mengenai pernyataan Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh, bahwa tak ada wilayah adat di provinsi itu.

Eli sejak 2008 dilantik menjadi pemimpin adat tertinggi di Komunitas Tana Lotong Kalumpang dengan gelaran Tobara. Ini bagian dari revitalisasi komunitas adat Tana Lotong.

Menurut dia, pernyataan Gubernur Sulbar kemungkinan terkait penolakan warga atas rencana pembangunan dam di daerah itu dua tahun lalu.

“Dulu ada rencana menenggelamkan sebagian daerah menjadi bendungan. Ini ditolak warga. Saya termasuk berbicara keras. Kami tak pernah diajak bicara tiba-tiba ada pembangunan. Itu kami sayangkan,” katanya ditemui Mongabay pertengahan September 2014, di Desa Kalumpang, Kecamatan Kalumpang, Mamuju, Sulbar.

Penolakan warga terhadap dam cukup beralasan. Dam seluas 12.000 hektar, mencakup  enam desa di Kecamatan Kalumpang, sembilan desa di Bonehau, dan dua desa di Mamasa. Terdapat sekitar 15.000 jiwa menetap di kawasan ini.

Dam bagian rencana Pemerintah Sulbar untuk membangun PLTA Karama menggandeng badan usaha milik China, China Gezhouba Group Corporation (CGGC), dengan investasi Rp13 triliun. Tahap pertama akan menghasilkan listrik 450 MW.

“Jika proyek ini benar-benar berjalan, akan berdampak pada eksistensi masyarakat adat Tana Lotong, termasuk situs-situs bersejarah di tempat ini,” katanya.

Eli menolak jika pembangunan dam dan PLTA disebut untuk kesejahteraan warga. “Kami cukup sejahtera dengan yang kami miliki selama ini.”

Senada diungkapkan Mardi Tamandalan, tokoh adat Tana Lotong, tinggal di Bonehau. “Kalau ada mengatakan tak ada adat di Sulbar, pasti tak memahami sejarah. Tana Lotong ada jauh sebelum Sulbar bahkan Indonesia terbentuk. Banyak yang bisa membuktikan.”

Di Sulbar, justru banyak komunitas adat. Hampir setiap daerah memiliki adat berbeda. Salah satu terbesar dan tertua, Tana Lotong. Komunitas ini sudah mendiami daerah itu sejak zaman prasejarah.

“Di sini banyak situs prasejarah. Banyak arkeolog sering datang. Berarti keberadaan kami ada sejak dulu. Sangat keliru jika ada menyatakan tak ada masyarakat adat.”

Salah satu temuan arkeologi terbesar di kawasan ini adalah situs penutur bahasa Austronesia tertua di nusantara, yaitu situs Minanga Sipakko dan Kamassi. Kedua situs Kalumpang ini diperkirakan peninggalan zaman neolitik sekitar 3.800 tahun silam. Juga ada 12 situs purbakala. Austronesia merupakan bangsa besar dengan penutur bahasa sampai 300 juta orang.

Tana Lotong, kata Eli berarti tanah hitam, bisa diterjemahkan sebagai tanah subur. Wilayah mencakup kawasan Kalumpang sebagai pusat, Karataung, Karama, Bonehau hingga Sandena.

Secara geografis wilayah adat ini berbatasan dengan Toraja dan Luwu Utara, di sebelah timur, Mamasa di sebelah selatan, Kecamatan Kalukku sebelah Barat dan Budong-budong, sebelah utara.

DI setiap desa Komunitas Tana Lotong memiliki pemimpin-pemimpin lokal disebut Tobara, dan memiliki struktur adat terpisah.

“Tobara itu ibarat pemimpin eksekutif dan yudikatif, mengatur pemerintahan sekaligus hukum-hukum adat. Di sini tak ada seperti legislatif.”

Tobara tertinggi, kini dijabat Eli, disebut Tobara Pondan, wakil Tobara Timba, dijabat Yustinus Tobombang di Bonehau.

Wakil Tobara Pondan yang lain disebut Topakkalu, selalu dijabat perempuan. Hal ini, katanya, menjelaskan betapa istimewa peran perempuan dalam komunitas adat ini.

“Topakkalu inilah yang menentukan kapan dan siapa saja yang bisa menanam. Peran sangat besar bahkan kadang bisa mengatur Tobara Pondan.”

Sebagai penanggungjawab ritual adat keagamaan dijabat Tobara Parau. Dia menjaga kampung dari segala malapetaka dan tolak bala. Konon, dulu untuk ritual menggunakan kepala manusia dari musuh, yang diambil ketika masih hidup.

“Mungkin sama dengan Suku Astec di Amerika. Inilah yang terkadang memicu konflik antar suku, ketika mereka saling culik untuk kepentingan ritual.”

Sepanjang Sungai Karama, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulbar, menyimpan berbagai situs purbakala berusia ribuan tahun, yang kini terancam dengan rencana pembangunan dam dan PLTA di daerah itu. Foto: Wahyu Chandra
Sepanjang Sungai Karama, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulbar, menyimpan berbagai situs purbakala berusia ribuan tahun, yang kini terancam dengan rencana pembangunan dam dan PLTA di daerah itu. Foto: Wahyu Chandra

Ritual potong kepala mulai hilang seiring masuk agama samawi di daerah itu. Warga komunitas beragama Protestan.

Dalam struktur adat juga dikenal Tomenami, yaitu orang bertugas sebagai penutur sinrilik atau juru cerita. Ada Tomadduta, bidang keagamaan, dan Pande bertugas pandai besi, penghasil alat-alat perang masa lalu.

Hutan-hutan di Kalumpang terjaga baik, meski terkadang pengambilan kayu kerap terjadi. Meski demikian, medan sulit membuat pengambilan kayu menjadi tidak ekonomis.

“Di sini banyak kayu hitam. Dulu ada yang mau mengambil dalam skala banyak tapi tak bisa mengangkut, bahkan mereka menggunakan helikopter.”

Hutan di Tana Lotong terbagi dua, disebut hutan paumaan dan puasuan. Hutan paumaan adalah hutan produksi tempat warga biasa berladang. Sedang hutan puasuan sebagai tempat berburu. “Di hutan paumaan ada aturan tak boleh berkebun minimal lima bulan setelah panen.”

Dengan aturan ini, setiap tempat yang diambil hasil oleh warga akan tumbuh tanaman baru. Tujuannya, mencegah penggundulan hutan karena aktivitas warga.

Berbeda dengan daerah lain, pengelolaan hutan di Kalumpang tak pernah berbenturan dan berkonflik dengan pemerintah, atau Dinas Kehutanan.

“Kami di sini merdeka tak ada intimidasi pemerintah. Ini warisan leluhur tetap harus dimanfaatkan. Tak ada yang berhak melarang.”

Di hutan paumaan, warga biasa mengambil hasil hutan berupa rotan, langsat dan durian. Di hutan puasuan terdapat beragam satwa langka, yang menjadi pantangan warga untuk menyebut nama. “Di hutan ini pula ada sejumlah organ tubuh yang tidak boleh disebut namanya,” katanya.

Salah satu keunikan dalam hutan Kalumpang ini ada sejenis padi tumbuh di batu, oleh warga dinamai pare dewata atau pare manurung. Unik karena padi ini tumbuh setiap tahun dengan jenis berbeda. “Kadang dicabuti tetapi tetap tumbuh.”

Ancaman komunitas ini, selain ekspansi pemerintah dan swasta untuk dam dan PLTA mencakup sebagian besar wilayah adat, juga datang dari komunitas sendiri. Belum pernah ada upaya pendokumentasian sejarah, hukum, dan adat istiadat secara komprehensif. Inilah yang memotivasi Eli untuk menuliskan.

“Saya sedang menulis buku tentang Tana Lotong, lengkap. Termasuk membuat desain rumah adat Tana Lotong detail,” kata Eli.

Eli prihatin eksistensi Tana Lotong terancam ketika tak ada lagi yang bisa menjelaskan asal muasal dan aturan adat mereka. Setumpuk buku catatan tergeletak rapi di atas meja kerjanya. “Semua catatan ini saya tulis tangan sendiri. Ini menjadi warisan kelak.”

Menurut dia, rumah adat mereka habis dibakar masa pemberontakan DI/TII di era 1960-an. Konon, tempat itu sebagai basis DI/TII, hingga pasukan TNI masuk dan membakar seluruh kawasan, termasuk rumah adat. Setelah pembakaran, tak ada lagi upaya membangun rumah adat. Meski demikian, sebagai keturunan langsung Tobara terdahulu, Eli masih mengingat segala detil dari rumah adat itu.

Kendala lain dihadapi masyarakat adat ini, katanya, akses sulit. Mencapai daerah ini perlu sekitar 4-5 jam. Meski transportasi mulai ada namun masih terbatas dan mahal, karena medan sulit. Akses jalan saat baru beberapa tahun terakhir.

“Dulu akses ke daerah ini hanya bisa lewat jalur air. Baru beberapa tahun jalanan darat mulai bisa dilalui,” kata Eli.

Fasilitas listrik menggunakan pembangkit listrik mikrohidro dan genset, terbatas hanya pukul 19.00-22.00. Ketiadaan akses telekomunikasi membuat daerah ini sedikit terisolasi.

Eli mengeluhkan, perhatian pemerintah kurang, meski Kalumpang salah satu daerah tertua di Mamuju dan ada sejak pembentukan kabupaten.

Namun, meskipun medan berat, pemandangan perjalanan ke Kalumpang begitu menakjubkan. Jajaran gunung terselimuti awan, dengan pepohonan hijau, menjadi pemandangan tak bisa dilewatkan. Menarik lagi, mencapai daerah ini harus melewati puluhan anak-anak sungai yang melintang memotong jalan.

Robert Eli Sipayo (72), Tobara Pondan atau pemimpin adat tertinggi di komunitas adat kini berjuang mempertahankan eksistensi komunitasnya yang mulai terancam dengan  rencana pembangunan dam dan PLTA Karama. Foto: Wahyu Chandra
Robert Eli Sipayo (72), Tobara Pondan atau pemimpin adat tertinggi di komunitas adat kini berjuang mempertahankan eksistensi komunitasnya yang mulai terancam dengan rencana pembangunan dam dan PLTA Karama. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,