,

Foto: Keren, Inilah Desa-Desa Berbingkai Pohon Buah Asli Kalimantan

Paulus Gadis baru saja pulang dari hutan dahas miliknya. Di sana, selain bercocok tanam dan merawat pohon buah, dia juga beternak babi dan ayam. Hampir setiap hari pria 52 tahun ini menghabiskan waktunya di dahas. Jelang petang, dia pun kembali ke kampung di Desa Petebang Jaya, dan bergabung bersama keluarganya.

Kala itu, keranjang rotan masih setia menempel di belakangnya. Terlihat tumpukan buah cempedak. Buah ini masih memasuki musim ranum. “Ayo, nikmati cempedaknya. Rasanya lain kalau matang di pohon,” katanya mengajak bersantap buah bersama.

Cempedak, siapa yang tak kenal dengan buah ini? Bentuknya menyerupai nangka dan banyak dijumpai di pasar-pasar atau pinggiran jalan di kota Pontianak setiap tahunnya. Buah dengan nama latin Arthocarpus champeden ini cukup terkenal lantaran aromanya yang menyengat dan berasa manis.

Tapi tak semua orang tahu, Kalimantan ternyata menyimpan kekayaan buah yang begitu beragam. Ini terungkap dalam sebuah perjalanan ke dahas, salah satu hutan kemasyarakatan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, awal September 2014 lalu.

Sebangkui (Baccaurea macrocarpa)
Sebangkui (Baccaurea macrocarpa)
Hakam (Eleiodoxa comferta). Foto: Andi Fachrizal
Hakam (Eleiodoxa comferta). Foto: Andi Fachrizal

Nun jauh di Kecamatan Tumbang Titi dan Jelai Hulu, sejumlah desa di arah Timur Kota Ketapang ini menyuguhkan sebuah lansekap yang unik. Dari Desa Tanjung Beulang dan Petebang Jaya di Tumbang Titi, hingga Desa Pasir Mayang dan Rangga Intan di Jelai Hulu, perkampungan itu selaksa surga dengan ragam buah-buahan di dalamnya.

Masyarakat setempat sudah sejak lama membingkai perkampungan mereka dengan pohon-pohon buah hutan khas Kalimantan. Ada kekalik (nama lokal), atau belimbing darah (Baccaurea angulata). Buah berwarna merah menyala ini tumbuh subur di Desa Petebang Jaya. Jika sudah ranum, buahnya berasa asam manis. Kekalik adalah buah endemik di Pulau Kalimantan.

Selain itu, ada pula patikala (Etlingera elatior). Berdasarkan literatur, nama lain dari buah ini adalah kecombrang. Ia sejenis tumbuhan rempah. Batangnya lunak karena tidak membentuk kayu. Ia adalah tumbuhan semusim, dwimusim, ataupun tumbuhan tahunan. Baik bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan warga sebagai bahan sayuran.

Bagaimana dengan kembayau? Nah, ini lebih khas lagi. Unik, lantaran buahnya yang sudah ranum harus direbus dulu sebelum dimakan. Buah dengan nama latin Dacryodes rostrata ini banyak dijumpai di sekitar rumah warga Petebang Jaya. Pohon buah kembayau masih dalam keluarga Burseraceae. Bentuk buahnya lonjong atau bulat telur dengan warna biru kegelapan.

Patikala (Etlingera elatior). Foto: Andi Fachrizal
Patikala (Etlingera elatior). Foto: Andi Fachrizal
Buah topah susu. Foto: Andi Fachrizal
Buah topah susu. Foto: Andi Fachrizal

Lain kembayau, lain pula sebangkui. Buah ini masih berkerabat dengan menteng dan rambai, namun ukurannya lebih besar dan kulit lebih tebal. Jika sudah ranum, buah dengan nama latin Baccaurea macrocarpa ini berasa manis asam.

Sedangkan hakam atau asam paya, dengan mudah dapat dijumpai di hutan dahas milik warga di empat desa itu. Bentuk buah dengan nama Latin Eleiodoxa comferta ini menyerupai salak. Kulitnya bersisik dengan warna cokelat kemerahaan. Isinya terbagi dua, dan berasa asam. Biasanya, warga memanfaatkan buah ini untuk dijadikan manisan. Pohon tersebut tumbuh subur serta hidup berkoloni di hutan dahas milik warga.

Apalagi kapul, tak semua orang pernah mendengar sebutan itu. Tapi umumnya warga Ketapang, kapul bukan hal asing lagi. Buah dengan nama latin Baccaurea bracteata ini bentuknya mirip buah sebangkui. Kapul juga masuk dalam kelompok rambai. Buahnya berjuntaian padat di batang dan tangkai. Rasanya manis asam.

 

 

Surga buah

Wajah Hendry Cornelius berbinar. Sorot matanya tertumbuk pada satu pohon yang sedang berbuah. Perlahan dia merogoh tasnya. Sebuah kamera saku dia keluarkan. Mata lensa diarahan ke buah yang sudah ranum. Dan, klik, dia berhasil mengabadikan buah itu berkali-kali. “Difoto saja nyaman, apalagi dimakan,” gurau Hendry yang sehari-hari bekerja sebagai jurnalis Tribun Pontianak ini.

Meskipun putera daerah asal pedalaman, tidak semua buah dia kenali. Beberapa di antaranya seperti cempedak, kembayau, kekalik, pekawai, patikala, dan mentawak masih dia kenal. Itu pun lantaran buah yang sama juga tumbuh di kampung halamannya.

Cempedak  (Arthocarpus champeden). Foto: Andi Fachrizal
Cempedak (Arthocarpus champeden). Foto: Andi Fachrizal
Kekalik atau belimbing darah (Baccaurea angulata). Foto: Andi Fachrizal
Kekalik atau belimbing darah (Baccaurea angulata). Foto: Andi Fachrizal

“Kalau kembayau sangat saya kenal. Buah ini masih ada di kampung. Sebelum dimakan, musti direbus dulu,” kata warga Desa Idas, Kecamatan Noyan, Kabupaten Sanggau ini. Kendati demikian, Hendry sudah kesulitan untuk mengenali beberapa jenis buah lainnya seperti kapul, sebangkui, acung, dan lucung. “Sepertinya, di kampung masih ada. Tapi saya sudah tak lagi mengenali nama buah-buahan itu,” katanya.

Paulus Gadis menceritakan bagaimana cara orang kampung menghargai buah-buahan. Wujud penghargaan diejawantahkan dalam sebuah ritual yang mereka sebut Memulangan Buah. Ritual ini biasanya dilakukan menjelang musim buah berlalu atau di ujung musim buah. “Ya, semacam penghormatan kepada buah. Juga rasa syukur kepada Tuhan telah memberikan anugerah buah yang berlimpah,” katanya menjelaskan.

Berbagai kebutuhan biasanya dilakukan jika hendak menggelar ritual Memulangan Buah. Sebagian buah-buahan dan hasil hutan yang sudah dipanen akan dikumpulkan dalam satu wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Orang Dayak Jelai menyebutnya ajak.

Sesajen Memulangan Buah. Foto: Andi Fachrizal
Sesajen Memulangan Buah. Foto: Andi Fachrizal

Jika seluruh persyaratan ritual sudah lengkap, maka warga akan berkumpul di satu tempat untuk menggelar ritual bersama. Biasanya ditandai dengan gendang dan tarian yang dilakukan oleh empat dukun dan empat warga biasa. Empat adalah simbol musim, arah mata angin, dan elemen dasar kehidupan seperti tanah, angin, api, dan air.

Usai pesta Memulangan Buah, maka keranjang dari anyaman bambu berisi sesajen diantar ke julangan atau ujung kampung. Pada titik tersebut, sesajian diletakkan di pinggir jalan di ujung kampung untuk dipersembahkan kepada roh jahat. “Kami sudah berikan makanan. Setelah itu silakan pulang,” kata Paulus Gadis menceritakan ikhwal sesajen itu.

Pesan dari ritual tersebut mengisyaratkan bahwa Memulangan Buah adalah manifestasi dari cara warga kampung untuk menolak bala. Atau, bisa pula diartikan sebagai cara untuk menolak gangguan lainnya seperti hama, yang berakibat menurunnya hasil panen buah.

Seluruh rangkaian ritual itu diakhiri dengan sebuah pesan dari tetua adat. Misalnya, warga tidak boleh bekerja di hutan selama satu hari. Jika ada yang melanggar, maka sanksi adat sudah menanti sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukannya.

Begitulah cara orang kampung menempatkan buah pada nilai tertinggi dalam kearifan lokal yang mereka anut. Semua bermuara pada skema pengelolaan hutan secara lestari. Dari buah-buahan yang dijaga, hingga hukum-hukum adat yang mewadahinya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,