Penyair Ini Kampanyekan Ikan Seluang Hingga ke Swedia

Dua potong bilah bagai teraju berimbang
timbul tenggelam menerpa sungai
ketika tangkul dikembangkan
musim seluang telah datang…

Panggilkan puguk atawa kajut
musim seluang telah datang
bergerombol mereka mudik
dari tanah berawa atau lumpur berpasir

Dua bait kutipan puisi yang diambil dari Seluang Poetica karya Muhammad Iqbal Jauhar Ganda Permana ini, merupakan ungkapan keprihatinan terhadap ikan seluang di Sumatera Selatan, terutama Sungai Musi, yang kian sulit didapat.

Melalui puisinya, Iqbal mengingatkan kembali kenangan yang kini telah hilang pada dekade 1990-an. Sebelum masa itu, populasi spesies ini sangat mudah ditemukan. Anak-anak pun dengan mudahnya menangkap ikan seluang menggunakan tangkul atau menjalanya di pinggiran sungai.

Hari ini, ikan seluang kian sulit ditemui. Seluang tak lagi berenang bergerombol di tepian sungai. Para penangkap ikan terpaksa menjalanya hingga ke tengah sungai. Tak heran, dipasaran, harga satu kilogramnya sekitar Rp30-40 ribu. Harga ini dua kali lipat dari harga ikan yang biasa dibudidayakan seperti patin, lele, nila, mujair, gurame, atau ikan mas.

Ikan seluang goreng garing dengan rasa yang gurih atau seluang panggang bungkus daun pisang kini hanya dapat dinikmati masyarakat menengah ke atas. Pada masa lalu, para bangsawan atau orang kaya di Palembang lebih suka makan ikan haruan, tengkelasa, dan tapa, seluang adalah makanan rakyat jelata.

“Semakin berkurangnya populasi seluang disebabkan limbah industri yang meracuni perairan Sungai Musi serta penangkapan ikan secara masif tanpa memperdulikan pertumbuhan populasi ikan,” kata Iqbal, yang menyelesaikan sarjana pertaniannya di Universitas Sriwijaya, saat ditemui di rumahnya di kawasan Jakabaring Palembang, Selasa (07/10/2014) malam.

Iqbal, dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan, Bengkulu, 17 Juni 1964. Tuturnya, puisi Seluang Poetica yang diterbitkan bersama puisi lainnya dengan judul yang sama, terinspirasi dari hobinya memancing, serta interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan di sepanjang tepian Sungai Musi.

Seluang (Rasbora spp), adalah jenis ikan air tawar yang hidup di sungai-sungai di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Di Sumsel, seluang hidup berkelompok di Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Dengan penampilan tirus bulat, ikan ini hidup dengan memakan cacing tanah, serangga, dan jentik.

“Memancing di sungai membuat saya menemukan ketenangan dan kedamaian di alam. Saya sangat menyukai hembusan angin, aroma rawa, serta irama aliran sungai. Sementara menulis juga merupakan hobi saya sejak duduk di bangku sekolah,” kata Iqbal yang sehari-harinya bekerja di dunia perbankan.

Kearifan lokal ala Swedia

Buku Seluang Poetica yang diterbitkan Tavern Artwork (2012) ternyata menarik perhatian Dr Stefan Danarek, akademisi dari Universitas Lund Swedia untuk kajian sastra Indonesia modern. Akhir tahun 2012, Stefan menerjemahkan buku puisi Seluang Poetica ke dalam Bahasa Swedia. Puisi-puisi dalam Seluang Poetica juga digarap melalui video dan dipentaskan di Palembang dan di Laholm, Swedia.

Muhammad Iqbal Jauhar Ganda Permana penulis buku Seluang Poetica yang karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Swedia. Foto: Marta Astra
Muhammad Iqbal Jauhar Ganda Permana penulis buku Seluang Poetica yang karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Swedia. Foto: Marta Astra

Iqbal bercerita ketika berkunjung ke Swedia dalam rangka pementasan karyanya, Stefan mengajak berwisata ke sebuah sungai yang airnya jernih dan banyak ikannya. Iqbal dan saudaranya Alik bertanya, “Boleh tidak kita memancing di sini?” Stefan menjawab, ”Boleh, kalau kalian mau ditangkap dan membayar denda yang besar.”

“Menurut Stefan, sebetulnya Eropa pun mengalami masalah yang sama. Populasi sejumlah hewan pun menjadi persolan yang serius. Namun persoalan tersebut mampu ditangani dengan cara yang tepat, misalnya dengan melakukan kebijakan pelarangan perburuan selama musim tertentu, restocking dengan menebar bibit dan menetapkan kawasan konservasi, serta memberikan hukuman dan denda yang berat bagi mereka yang melanggar,” cerita Iqbal.

Stefan juga mengajaknya mengunjungi “hutan” di sana. Di hutan pinus tersebut, masyarakat boleh memetik jamur, buah, berwisata, atau pun berkemah. Semua orang boleh memanfaatkannya sesuai kebutuhan tanpa merusak kawasan hutan pinus yang hijau dan sejuk tersebut.

Iqbal pun membandingkan dengan kearifan lokal yang mulai pudar di kampung halaman istrinya, Ella Herawaty, di Muara Enim, Sumsel. Kebun repangan nineng, merujuk istilah kebun di tanah lapang yang ditanami berbagai macam pohon seperti durian, rambutan, nangka, cempedak, dan lain-lain yang dipersiapkan oleh leluhur untuk diambil manfaatnya oleh anak cucunya, saat ini kian langka.

“Banyak yang telah berubah menjadi areal pertambangan batubara, perkebunan sawit atau perkebunan akasia. Karena tergiur dengan harga tanah yang tinggi, kebun repangan dijual. Masyarakat lupa dengan pelestarian alam. Rupanya leluhur kita memang visioner dalam memandang kehidupan,” tutup Iqbal.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,