WWF : Konsumsi Global Manusia Sudah Lebihi 1,5 Kapasitas Bumi

WWF mengeluarkan laporan dua tahunan Living Planet Report(LPR)2014 yang berisi tentang kondisi keanekaragaman hayati dan ekosistem bumi secara global. Dalam laporan itu disebutkan populasi mamalia, burung reptil dan ikan telah menurun 52 persen sejak tahun 1970.

Direktur Jenderal WWF Internasional, Marco Lambertini dalam kata pengantar laporan menyebutkan bahwa penurunan populasi tersebut menjadi baromenter kondisi bumi dan dampak dari aktivitas manusia terhadap planet ini.

“Kita menggunakan karunia alam ini seolah-olah kita memiliki lebih dari satu bumi untuk digunakan semena-mena. Dengan mengambil lebih dari ekosistem dan proses alam dibandingkan yang bisa dipulihkan lagi oleh alam. Kita membahayakan masa depan kita sendiri,” kata Marco.

Hutan Hujan di Ujung Kulon, Jawa Barat

Laporan LPR 2014 menunjukkan dampak dari pembangunan global dengan penggunaan sumber daya alam, dengan berbagai parameter, seperti jejak ekologis.

Jejak ekologis merupakan sistem yang mengukur seberapa banyak ruang, baik di darat maupun di air yang diperlukan manusia untuk menghasilkan sumber daya yang mereka habiskan dan menyerap limbah yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi dan praktik pengelolaan sumber daya. Termasuk di dalamnya area produktif secara biologis (atau biokapasitas) yang dibutuhkan untuk tanaman pangan, ladang penggembalaan, wilayah pembangunan, lahan perikanan, hasil hutan, serta area hutan yang dibutuhkan untuk menyerap emisi karbondioksida tambahan yang tidak bisa diserap oleh laut.

Jejak ekologis yang tidak berkelanjutan dapat mengancam sistem alam dan kesejahteraan manusia, namun sebaliknya dapat juga mengarahkan manusia pada tindakan yang memutarbalik tren saat ini. Contohnya kawasan urban di seluruh dunia bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen pemanfaatan energi yang menyebabkan emisi karbon, tetapi di sisi lain juga berpotensi sebagai pusat produksi energi terbarukan dan efisiensi energi.

LPR 2014 menyebutkan bahwa jejak ekologis terkait erat dengan tingkat ekonomi dan pembangunan suatu negara. Negara berpendapatan tinggi memiliki jejak ekologis per kapita rata-rata lima kali lebih besar dibandingkan negara berpendapatan rendah.

Sepuluh negara yang mempunyai jejak ekologis per orang tertinggi yaitu Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Denmark, Belgia, Trinidad dan Tobago, Singapura, Amerika Serikat, Bahrain dan Swedia.

Sedangkan negara-negara berpendapatan rendah memiliki jejak ekologis yang terkecil, tetapi mengalami kehilangan ekosistem terbesar. Sebagian besar negara berpendapatan rendah telah menjaga jejak ekologsi lebih baik daripada jumlah biokapasitas yang tersedia di bumi selama 50 tahun. Sementara jejak ekologis per kapita manusia di negara berpendapatan menengah dan rendah yang relatif kecil terlihat sedikit meningkat.

“Indonesia merupakan 10 negara teratas yang menyumbang lebih dari 60 persen dari total biokapasitas bumi di tahun 2010. Sementara itu, jejak ekologsi Indonesia masih berada dibawah rata-rata biokapasitas dunia sebesar 1,7 gh per orang” kata CEO WWF-Indonesia, Efransjah dalam acara paparan LPR 2014 di Jakarta, pada akhir minggu kemarin.

“Namun , jika kita tidak mengubah pola produksi dan konsumsi kita, peningkatan jejak ekologis Indonesia diatas biokapasitas nasional tidak dapat dihindari di lima tahun ke depan. Kita sebagai masyarakat, mempunyai kekuatan memilih bagaimana menjalankan gaya hidup kita, agar tidak menambah tekanan pada bumi,” katanya.

Untuk kawasan ASEAN, dia mengatakan Indonesia tetap menjadi pengemisi karbon terbesar, bersama dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. “Emisi karbon Indonesia bahakn lebih kotor dibandingkan India, China dan Brazil,” katanya. Tetapi Indonesia memiliki trend penggunaan energi terbarukan.

Negara yang hendak mencapai pembangunan berkelanjutan secara global harus mempunyai jejak ekologis per kapita yang lebih kecil daripada biokapasitas yang tersedia di bumi, namun di satu sisi harus tetap mempertahankan standar kehidupan yang layak.

Tantangan global saat ini adalah bagaimana mengurangi jejak ekologis dan pembangunan. Dari LPR 2014 disebutkan ada peluang untuk meningkatkan standar hidup dan pada saat bersamaan membatasi penggunaan sumber daya alam.

“Pembangunan ekonomi tidak akan berfunsgi, harus ada pertumbuhan yang lebih seimbang. WWF akan mendukung dalam bagian bagi pemerintahan baru untuk menuju ke arah itu dan menjaga pertumbuhan dengan kontrol pembangunan rendah emisi,” kata Efransjah.

Hal ini, lanjutnya, merupakan permasalahan tidak hanya pemerintah global, tetapi seluruh manusia sebagai warga dunia.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pelaksana REDD+, Heru Prasetyo mengatakan pihaknya melihat semua faktor dalam LPR 2014 termasuk keanekaragaman hayati merupakan hal yang penting. “Kita perlu mengubah paradigma pembangunan kita untuk mengurgani karbon. Tetapi tidak hanya mengubah soal pengurangan emisi dan memakmurkan masyarakat, tetapi juga karena merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati ketiga terbesar di dunia,” katanya.

Hal itu semua merupakan agenda pembangunan nasional. Oleh karena itu, lanjut Heru, perlu kerja sama semua pihak, termasuuk kerjama regional dan internasional untuk mewujudkan hal tersebut.

Pada acara tersebut, Deputi Tim Transisi Joko Widodo – Jusuf Kalla, Anies Baswedan mengatakan pihaknya mempunyai pemikiran yang sama tentang permasalahan lingkungan hidup. “Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengedukasi semua orang dengan semangat perubahan. Pemerintah baru ingin membawa semangat perubahan untuk mengatasi permasalahan di Indonesia, tidak hanya permaslah lingkungan, tetapi juga lainnya, seperti pendidikan,” katanya.

Marco Lambertini  dalam acara tersebut mengatakan semua pihak warga dunia harus bekerja sama untuk mengatasi permasalahan yang terkesan sangat sulit, yaitu memakmurkan masyarakat sekaligus penyelamatan lingkungan.

Ini merupakan pekerjaan utama dari pemerintah baru untuk mengubah arah pembangunan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. “Konservasi perlu diubah dengan menyelamatkan pertumbuhan yang dinamis. Kita bisa melakukan dan sekarang waktunya bertindak. Ini waktu yang krusial,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,