,

Wisata ke Taman Nasional? Kenapa Tidak

Jumat, awal September 2014,  Balai Sidang Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, tampak ramai. Ada agenda menarik yang akan dihelat siang itu: Peluncuran Buku Berwisata Alam di Taman Nasional. Penulisnya adalah ilmuwan kondang nan rendah hati, Jatna Supriatna.

Peluncuran buku yang ditulis hampir sepuluh tahun itu merupakan acara puncaknya. Sebagai pemanasan, ada Seminar Taman Nasional dan Jasa Lingkungan. Pembicaranya adalah Wahjudi Wardojo (Senior Advisor for Conservation Policy, The Nature Conservancy), Bambang Supriyanto (Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung), serta Chris Margules (James Cook University, Australia). Para pembicara ini memang ditugaskan untuk memaparkan peran taman nasional dalam menyediakan jasa lingkungan. Dan yang paling penting adalah lesson-learned yang dapat diterapkan dalam pengelolaan jasa lingkungan itu.

Sayang, Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan, sekarang menjabat Ketua MPR, berhalangan hadir. Pun, dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, yang tidak kunjung tiba. Padahal, keduanya didaulat akan memberikan keynote speech. Alhasil, sambutan Menteri Kehutanan dibacakan Bambang Supriyanto yang mewakili sekaligus menandai seminar dimulai.

Dalam sambutannya, Menhut menuturkan bahwa potensi ekowisata telah berkembang menjadi industri pariwisata potensial. Ini terjadi karena adanya pergeseran paradigma dari pariwisata masal ke wisata khusus, atau ekowisata. Kekhususan ini terlihat dari nilai yang dikedepankan yaitu konservasi dan pendidikan lingkungan, kesejahteraan penduduk lokal, dan penghargaan terhadap budaya lokal.

Menurut Menhut, secara alami, kawasan konservasi menawarkan keindahan dan keunikan alam. Potensi ini pula dapat dikembangkan dengan mengedepankan budaya lokal dan pemberdayaan masyarakat setempat. Indonesia sendiri memiliki 535 unit kawasan konservasi yaitu: kawasan penyangga cagar alam (249 unit), taman wisata alam (124 unit), penyangga suaka margasatwa (77 unit), taman nasional (50 unit), taman hutan raya (21 unit), dan taman buru (14 unit). Dari keseluruhan potensi tersebut, 81 persen berada di daratan dan sisanya, 19 persen, ada di perairan.

Dalam roadmap pembangunan nasional 2010-2030, pemerintah telah menetapkan enam koridor ekonomi. Khusus koridor lima, membahas tentang pariwisata alam yaitu Jawa dan Nusa Tenggara sebagai prioritas dengan Bali sebagai gerbang utamanya. Prioritas ini dipilih karena keunikan alam dan pangsa pasar yang berlipat di wilayah tersebut. “Dari delapan juta wisatawan, sekitar 60 persen memilih Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sebagai destinasi wisata. Taman nasional atau kawasan hutan merupakan wilayah yang sering dikunjungi karena alamnya yang indah dan unik.”

Menhut menuturkan, diproyeksikan, tahun 2030, pendapatan negara dari pemanfaatan jasa lingkungan ini akan mencapai 19,34 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 5,9 juta jiwa. “Nilai tersebut diperoleh dari perdagangan karbon, pengembangan wisata alam di taman nasional dan taman wisata alam, serta pemanfaatan air, dan panas bumi.”

Taman nasional

Taman Nasional berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Luas kawasan taman nasional di Indonesia yang jumlahnya 50 unit ini diperkirakan sekitar 16.375.253,31 hektar.

Berdasarkan PP 28/2011 (Revisi PP 68/1998) tentang KPA/KSA maka pemanfaatan KSA dan KPA dapat dilakukan pada semua KSA (Kawasan Suaka Alam) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam) dengan tidak merusak bentang alam dan merubah fungsi yang ada. Pemanfaatan tersebut dapat berupa kondisi lingkungan serta jenis tumbuhan dan satwa liar.

Bambang Supriyanto mengemukakan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan yang dapat dilakukan di sini berupa wisata alam, air (massa dan energi), karbon, panas (matahari dan bumi), angin, serta tumbuhan dan satwa liar.

Pentingnya taman nasional ini seperti yang diungkapkan Chris Margules. Di taman nasional, keragaman hayati dan potensi alam terjaga. Pelayanan ekosistem alam juga terpelihara seperti air yang bersih, udara yang sehat, obat-obatan, dan potensi ecotourism. Menurut Chris, Indonesia mempunyai prospek yang baik dalam pengelolaan taman nasional karena memiliki alam yang indah dan kaya akan ragam hayati.

Terkait potensi hutan Indonesia, Wahjudi Wardojo melihat persoalan ini dari sudut berbeda. Menurutnya, penghargaan kita terhadap alam begitu menyedihkan, padahal alam menyediakan kebutuhan hidup kita. Harusnya, pembangunan yang dilakukan ada unsur keberlanjutan sehingga tercipta keadilan baik untuk saat ini maupun generasi akan datang.

Wahjudi menuturkan bahwa hutan alam tropika basah merupakan the richest natural capital on earth. UNEP (United Nations Environtment Programme, 2014) memperkirakan bahwa nilai ekonomi hutan alam tropika mencapai angka 6.120 dollar Amerika per hektar per tahun dari berbagai peran dan jasanya secara langsung maupun tidak.

“Yang harus diperhatikan terkait keragaman hayati di hutan alam tropika ini adalah habitatnya, sensitivitas terhadap perubahan lingkungan, dan pada tingkat “gangguan” tertentu tidak bisa dipulihkan (irreversible).”

Burung cikrak muda ((Seicercus grammiceps) ini tersebar di Sumatera, Jawa, dan Bali. Foto ini diambil di Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto: Asep Ayat
Burung cikrak muda ((Seicercus grammiceps) ini hanya ada di Sumatera, Jawa, dan Bali. Foto diambil di Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto: Asep Ayat

Wisata alam

Jatna Supriatna menuturkan, wisata merupakan industri terbesar di dunia saat ini karena nilai yang dihasilkan perharinya lebih dari 2,4 miliar dollar Amerika, atau sekitar 10 persen dari ekonomi global.

Bagaimana peluang pariwisata Indonesia? Cukup besar. Peluang produk domestik bruto (PDB) nya sekitar 400 triliun rupiah, karena berdasarkan belanja wisatawan mancanegara tahun 2012 saja sebesar 104 triliun rupiah. “Hanya, yang belum tergali dari sektor wisata alam serta wisata di taman nasional maupun kawasan konservasi.”

Menurut Jatna, faktor pendanaan taman nasional memang sangat mempengaruhi. Tahun 2006, kawasan konservasi di Indonesia mengalami kekurangan dana sekitar 80 juta dollar Amerika per tahun untuk biaya operasional. Pendanaan di Indonesia ini rata-rata hanya sekitar 6 dollar Amerika per hektar per tahun. Bila dibandingkan dengan negara maju yang sekitar 20 dollar Amerika maka kita kekurang dana sekitar 14 dollar Amerika per hektar per tahunnya.

“Padahal, potensi taman nasional ini cukup menjanjikan seperti kegiatan wisata (hiking, observasi flora dan fauna, wisata pantai, air terjun, situs budaya dan suku); olah raga (panjat tebing, penelusuran gua, arung jeram, naik ke puncak gunung); hingga untuk kegiatan penelitian (stasiun penelitian atau pusat rehabilitasi).”

Pengembangan

Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke taman nasional? Jatna Supriatna, yang dijuluki “Legenda Konservasi” ini, menuturkan pengembangan potensi taman nasional baik dari segi ekoturisme, jasa lingkungan (air, karbon), dan bioprospeksi (nilai komersil biodiversity) harus dilakukan.

Hal lainnya adalah pengembangan bisnis untuk mengelola potensi tanam nasional sehingga wujudnya nyata serta langkah strategis percepatan pencapaian taman nasional yang secara finansial benar-benar mandiri.

Bambang Supriyanto menyebutkan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini adalah inventarisasi dan penataan kawasan, penetapan koridor hidupan liar untuk mencegah terjadinya konflik dengan manusia, serta penutupan kawasan jika terdapat hal yang mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan satwa dan tumbuhan.

Wahjudi Wardojo coba melengkapi bahwa pendayagunaan peran taman nasional, seperti penerapan sistem zonasi yang terancang baik harus dilakukan. Interpretasi masyarakat terhadap keragaman hayati juga harus kuat sehingga dapat merubah pemahaman dan meningkatkan penghargaan atas alam. Selain itu, peningkatan eksplorasi peran sumber keragaman hayati untuk tujuan pemenuhan pangan, energi, dan obat-obatan, di masa kini maupun mendatang perlu diupayakan.

“Pulang wisata dari taman nasional kita harus menjadi manusia bijak. Kepedulian kita terhadap lingkungan harus meningkat,” ungkapnya.

Air Terjun Sindang Gila di Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto: Asep Ayat
Air Terjun Sindang Gila di Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto: Asep Ayat 
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,