,

Informasi Tidak Transparan, Industri Ekstraktif Disinyalir Rawan Korupsi

Syamsul Rusdi, pria kelahiran 20 Desember 1985, merupakan aktivis di Link-AR Borneo. Hampir setahun perjuangannya untuk mendapatkan informasi dan data terkait riset yang dilakukannya. 26 November 2013, Syamsul mengajukan Permohonan informasi publik kepada Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ketapang, untuk melakukan analisis kebijakan Pemerintah Kabupaten Ketapang dalam pengelolaan sektor pertambangan. Isu sensitif bagi daerah tersebut.

14 Mei 2014, Peneliti Swandiri Institute, Arif Munandar mengungkapkan, konsesi pertambangan kini mencapai luas lima juta hektar yang diberikan kepada 721 perusahaan swasta. Konsesi pertambangan ini tersebar di semua kabupaten di Kalimantan Barat. Ketapang adalah kabupaten dengan luas konsesi paling besar yakni 1,3 juta hektar yang diberikan pada 156 perusahaan. Disusul Kabupaten Landak (86 perusahaan) dan Kapuas Hulu (73 perusahaan).

Selang beberapa hari, terkait informasi tersebut, KPK turun ke Kalimantan Barat, guna melakukan pencegahan korupsi dan penyelamatan keuangan Negara. Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu, saat itu melansir menemukan 312 izin usaha pertambangan ( IUP) yang bermasalah atau non CNC – non Clean and Clear. Permasalah terbanyak terjadi di Ketapang (68 IUP), Melawi (50 IUP) dan Landak (37 IUP). Dari 612 IUP yang ada di provinsi ini, mayoritas IUP bermasalah adalah kurang bayar. Akibatnya, negara dirugikan lebih dari Rp272 miliar kurun waktu 2011-2013.

Bukan tanpa alasan Syamsul menganalis kebijakan pemerintah daerah itu. Syamsul mengajukan permohonan informasi melalui surat  tertanggal 26 November 2013 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Ketapang. Suratnya diterima di hari yang sama, dengan bukti penerimaan.

Tidak ada tanggapan, 13 Desember 2013, Syamsul kembali bersurat kepada Dinas Pertambangan. Kali ini, isinya menanyakan permohonan informasi yang telah diajukan pada surat pertama.

Tak ada respon, Syamsul mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik ke Komisi Informasi Pusat, 25 Januari 2014. “Ketertutupan informasi industri ekstraktif selama ini menjadi sumber kongkalikong. Industri ekstraktif merupakan bentuk kegiatan yang mengambil sumber daya alam langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak, dan gas,” ujar Liu Purnomo, dari Perkumpulan Sahabat Masyarakt Pantai.

Organisasi ini mendampingi Syamsul sejak awal dalam permohonan penyelesaian konflik informasi ke Komisi Informasi Pusat. Tanggal 30 Januari 2014, permohonan diterima oleh KIP dan terdaftar dalam registrasi sengketa Nomor 027I/KIP-PS/2014.

Syamsul berpijak pada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dan Peraturan Presiden No 26 tahun 2010. “Kini publik berhak tahu berapa besar penerimaan negara dari industri ekstraktif. Industri ekstraktif adalah segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi, dan gas bumi,” ujar Deman Huri, Direktur Lembaga Pengkajian Studi Arus Informasi Regional. Dengan regulasi ini, kata Deman, masyarakat bisa menguraikan aliran pendapatan Negara dari sektor industry ekstraktif, yang selama ini kerap tidak transparan.

Baru pada 20 Mei 2014,  dengan agenda pemeriksaan awal, diadakan mediasi sebagaimana Berita Acara Mediasi Nomor 027/I/KIP-PS/2014 tertanggal 21 Mei 2014. Dalam mediasi tersebut Dinas Pertambangan Ketapang tidak bersedia memberikan peta atau denah lokasi kegiatan dan atau usaha dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang dokumen AMDAL nya dimohonkan Syamsul. Syamsul pun menarik diri dari proses perundingan dan meminta proses penyelesaian sengketa informasi publik dilanjutkan melalui proses judikasi non-litigasi.

Sengketa informasi publik antara Pemohon Informasi, Syamsul, dengan Termohon, Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Ketapang tersebut diperiksa, ditangani dan diputus oleh Komisi  Informasi Pusat dalam putusan Nomor 027/I/KIP-PS-A-M-A/2-14 tertanggal 21 Mei 2014.

Intinya, lampiran peta dalam Dokumen AMDAL perusahaan tambang adalah bukan dokumen publik, dan tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai, sebab berpotensi terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dan melanggar HAKI. Keberatan dengan Putusan KIP tersebut, Syamsul menggugat ke PTUN Pontianak, 4 Juni 2014.

Dikabulkan

Perjalanan panjang Syamsul berbuah manis, Kamis, 16 Oktober 2014. Tepat pukul 09.00 WIB, PTUN mengabulkan gugatannya setelah lima kali persidangan. Dalam sengeka ini, Syamsul dibantu Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan (GBHRK) sebuah lembaga yang didedikasikan untuk membantu kasus-kasus berdimensi publik.

Aktivitas pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Ivan Valentina Ageung, Direktur GBHRK menyatakan, konstitusi memberi jaminan warga untuk mendapatkan hak memperoleh informasi yang diatur Pasal 28 F UUD 1945. “Aturan dasar hak sosial ini dituang lebih rijid dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).”

Hermansyah, pakar hukum Universitar Tanjungpura menambahkan, hakim memahami substansi dari gugatan pengguat. “Ini menunjukan, hak atas informasi dapat dipenuhi di ruang persidangan. Secara legal, masyarakat yang terkena dampak berhak tahu atas dampak yang akan dan telah ditimbulakan oleh sebuah operasi usaha.”

Kabupaten Ketapang sendiri memiliki potensi sumber daya alam berupa emas, bauksit, bijih besi, timah, zircon, galena, granit dan sumber daya hutan. Pontensi ini menjadikannya primadona investor. Namun, Data BPS 2011 menyebutkan, penduduk miskinnya lebih dari 37.000 jiwa. Jumlah ini terbesar di Kalbar, menyusul Sambas dan Landak, yang juga memiliki perkebunan dan pertambangan.

Berdasarkan temuan Link-AR Borneo, di Ketapang, terdapat enam perizinan HPH dengan luasan 411.580 hektar dan HTI 547.455,74 hektar. Izin usaha perkebunan sebanyak 67 perizianan dengan luasan 871.550 Ha dan izin usaha pertambangan yang sudah ditetapkan Gubernur Kalimantan Barat sebanyak 27 perijinan (eksplorasi) dengan luas 967.563 hektar dan (operasi produksi-KP) 186.367 hektar (Data kompilasi Dishut, Disbun dan Distamben Kab. Ketapang, 2012).

“Dampak terhadap masyarakat berupa pembangunan infrastuktur yang belum terpecahkan secara maksimal. Masih banyaknya sekolah di daerah yang belum layak pakai, begitu juga dengan fasilitas kesehatan, listrik, akses jalan dan infrastruktur lainnya,” kata Nikasius Meki, Manager Riset dan Advokasi Link-AR Borneom dalam laman Linkarborneo.com.

Aktivis Lembaga Gemawan Muhammad Zuni Irawan mengatakan, ada indikasi korupsi dalam proses pengajuan izin pertambangan di Kalbar. Banyak perusahaan tidak mengajukan izin sesuai prosedur yang ada. “Disinyalir memberikan suap karena banyak tahapan yang lompat,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,