,

Tobegu dan Sepatu Baru, Sebuah Kisah Rayuan Tambang

“Bapak pasti orang penting! Hanya orang-orang penting saja yang menemui Tobegu,” kata  Supir Bentor, Buli, 2010. 

“Ada! sepatunya ada! Tunggu, saya ambil!” Segera dia berbalik badan cepat sekali, mengambil sepatu ke ruang belakang. Saya bersidegap, bertanya‐tanya dengan sikap Tobegu. Saya memperlihatkan sikap antusias, minat, dan ketertarikan tetapi bukan karena ingin membandingkan sebagus apa sepatu yang dibeli. Namun, mengenai apa yang bagus bagi, menurut dan dalam pandang dia. Dia tampak senang dengan antusiasme saya.

Sepatu itu dia beli di Jakarta. Dia dihadiahi tiket jalan-jalan oleh pembeli tanah, lengkap dengan uang jajan selama perjalanan.Saya tak habis pikir, Tobegu (nama samaran) adalah kepala suku dari satu komunitas yang belum begitu mengenal jual-beli atau ekonomi uang. Sampai kini, Tobegu dan komunitas masih mengandalkan hidup dari meramu dan berburu. Apa guna jalan-jalan ke kota besar buat Tobegu? Apa guna uang buat keluarga mereka?  Apalagi uang didapat dari melepas tanah, suatu hal yang biasa tidak mudah bagi suku-suku pedalaman. Makin tak habis pikir saya melihat Tobegu begitu bahagia dengan sepatu baru. Sebagus apa sih sepatu itu?”

Tiba-tiba Tobegu sudah menyibak kelambu, memasuki ruang tengah dengan cepat. Sepasang sepatu langsung dia tatakan di atas meja. Sekujur permukaan sepatu menempel lumpur yang sudah mengering. Sebagian lumpur meluruh di meja.

Cepat-cepat saya raih sepatu itu, membalik beberapa kali, mengikuti jahitan melingkar di sekeliling sepatu yang sangat biasa itu. Saya angguk-anggukkan kepala, sambil menguatkan hati, dan berkata dengan penuh tekanan, “Bagus!”.

Tobegu, tertawa lepas. Suara memenuhi ruang tengah. Beberapa anak kecil segera berebutan mengintip dari jendela sampai berjejer di pintu depan. Tawa Tobegu memanjang. Terkekeh‐kekeh.

Sihir benda pabrikan sedang tampil di hadapan saya; seorang kepala suku dengan sepatu baru, kini tampak seperti anak kecil diberi mainan. Harapan saya punah, sihir dari benda-benda pusaka milik Tobegu tak muncul sama sekali. Saya bergumam, bukankah selayaknya kebanggaan seperti itu muncul ketika Tobegu memperlihatkan tombak pusaka leluhur, atau salawaku yang sedang terpampang di dinding rumah? Atau kerangka pandang saya yang memang tidak siap?”

Sementara saya lega, dan tidak sanggup lagi membuat dugaan.

Tobegu, kepala suku dari salah satu komunitas orang Tobelo Dalam. Komunitas yang tersebar di sepanjang Pulau Halmahera. Mereka hidup berkelompok saling terpisah di kedalaman hutan. Tobegu dan komunitas  berjumlah sekitar 30 orang, keluar meninggalkan hutan di wilayah Wasile sejak tahun 1986. Mereka membangun kampung baru bernama Gau, menjauh ke garis pantai di selatan. Sejak di Gau, walau mulai menetap dan tidak berpindah lagi, sumber penghidupan masih mengandalkan cara-cara meramu dan berburu.

Hutan di sepanjang wilayah Gau, kurang lebih dua kilometer dari garis pantai dan memanjang sekitar 18 kilometer lebih, berada dalam kekuasaan Tobegu. Wilayah inilah yang menjadi area perburuan dan meramu, sekaligus, mulai “dilepas” untuk membeli sepatu baru.

Perpindahan mereka dari hutan-hutan di Wasile, akibat marak perusahaan penebangan yang membabat habis hutan mereka, sudah berlangsung sejak awal tahun 1970-an (di bawah Undang-undang Kehutanan No. 5/1967). Sumber penghidupan di hutan berangsur mati sejak itu. Meramu makin sulit. Pohon-pohon sudah dirobohkan. Hewan buruan, babi dan rusa menghilang dari rimba, berganti polisi hutan yang berbalik memburui manusia.

Tobegu berucap; “Tanah disana su (sudah) sempit lagi, sudah tara enak! Disini banyak tanah, tanah dimana-mana!”

Gau, terletak di pertengahan antara kota dan Bandara Buli, Halmahera Timur. Wilayah minim penghuni ini, sesungguhnya kerap diincar banyak pihak, sebagian karena alasan perluasan usaha dan penghidupan. Sebagian lagi berhubungan dengan rencana perluasan tambang nikel.

Perkembangan Kota Buli lebih banyak dibentuk dari pengaruh tambang. Sepanjang tahun, pendatang terus berdatangan, berharap rejeki dari remah pertambangan. Dengan debu tambang yang kerap menutupi langit kota saban hari, bukit-bukit terkelupas di sepanjang sisi, jalanan rusak akibat trailer, sungai mulai memerah akibat lumpur bekas pengerukan nikel dan preman-preman pengkapling tanah bercokol di tiap sudut. Toh, kota ini begitu dibanggakan oleh orang Halmahera Timur. Buli sering dijadikan sebagai cermin dari pusat kemajuan. Semua orang di Halmahera Timur, selalu menyebut Buli sebagai contoh masa depan. Di kota masa depan ini, untuk tahun 2007, laporan dari satu Puskesmas mencatat lebih dari 1.000 orang terkena gangguan pernafasan (Ispa) akibat debu pertambangan.

Goretan tulisan di dinding rumah Tobegu. Kemungkinan ini tulisan anak Tobegu, yang kini kata Tobegu menghilang. Foto: Surya Saluang
Goretan tulisan di dinding rumah Tobegu. Kemungkinan ini tulisan anak Tobegu, yang kini kata Tobegu menghilang. Foto: Surya Saluang

Selain kehancuran ekologi, jauh lebih parah lagi kehancuran ruang sosial akibat pertambangan, ketika tanah menjadi komoditas. Orang-orang berebut tanah demi uang. Padahal, semua tanah adalah sama-sama tanah leluhur, atau kampung bersama. Uang begitu menggoda. Perangai karyawan tambang, yang suka memborong kios dan mart di sepanjang Jalan Raya Buli setiap akhir minggu, menjadi rujukan paling awal tentang kemajuan dan kemudahan hidup. Itulah dunia modern! Sebuah dunia yang sepenuhnya mengandalkan uang. Kegiatan membeli pun, menjadi kebanggaan. Siapa yang membeli, dialah orang yang maju, pemilik masa depan.

Dengan adanya pertambangan, uang bisa dengan mudah didapat. Cukup dengan mengkapling tanah, dan melaporkan ke perusahaan tambang manapun. Tanah berganti uang. Bisnis preman untuk pengamanan kapling tanah merebak luas. Bahkan melibatkan aliansi marga dan mengandalkan ketokohan. Orang-orang Buli, terpecah-belah karena terlalu tergila-gila dengan uang hasil kaplingan. Padahal, itu tanah leluhur sendiri!

Semua ini marak berlangsung sejak lahir Kabupaten Halmahera Timur pada 2003,  masa pasca konflik menyeluruh di Kepulauan Maluku. Desentralisasi telah menjadi “terobosan” pasca konflik, bagaimana ruang hidup bersama menjadi komoditas  yang diperebutkan. Kampung halaman menjadi dagangan oleh anak-anak sendiri. Atas nama pembangunan, orang mewajarkan saling menyikut dan bertarung dalam cara yang makin rumit. Soal “mencari uang” menjadi soal gampangan. Walau menjual kampung halaman sekalipun! Masa depan seperti apa yang diharap, dari kampung halaman yang sudah terjual itu?

Ketika memilih Gau sebagai tempat tinggal baru, Tobegu tentu tidak mengira suatu saat nanti akan berhadapan dengan sebuah “pusat kemajuan”, wakil dari “masa depan”. Buli dengan pertambangan, mulai beriak setidaknya sejak 1997. Sejak itu pula Tobegu dan komunitas mulai berhubungan lebih terbuka dengan masyarakat lain. Mulai bersentuhan dengan situasi hidup yang jauh berbeda. Belajar mengenal benda-benda pabrikan, barang elektronik. Mulai ada sedikit “jual‐beli” untuk bahan dan benda tertentu. Pisang dan ubi mulai bisa ditukar dengan sejumlah kopi dan rokok di pasar Buli. Gaharu dan mengolah kopra, juga bisa mendatangkan uang.

Di Gau, yang berjarak sekitar 20 km dari Buli, belum ada kegiatan yang sepenuhnya bisa dipahami sebagai “mencari uang”. Warga Gau mengantarkan sendiri hasil kebun dan hutan ke pasar-pasar terdekat untuk dibarter dengan beras, kopi, gula, rokok, batere senter, minyak tanah dan lain-lain. Barang-barang ditaruh begitu saja di depan toko, menunggu pemilik keluar dan menghitung. Setelah itu, pemilik toko kembali ke dalam mengambil kopi dan rokok atau lain-lain sebagai ganti. Jumlah tak menentu. Mereka terima saja berapa pun yang akan diganti oleh pemilik toko. Sesekali mereka dibayar dengan uang sekenanya saja. Mereka tidak pernah menghitung. Uang itu sepenuhnya ditukar kembali dengan kopi dan rokok di tempat lain. Mereka tidak bisa menghitung uang, tidak mengenal harga dan negosiasi. Nanun tetap saja, uang kini menjadi sesuatu yang menarik karena mudah ditukarkan dengan barang apapun.

Ada banyak mitos dan rumor mengenai asal-usul orang Tobelo Dalam. Mereka tersebar, terutama di wilayah utara dan timur pulau. Sebagian dikenal bengis dan tidak menerima kehadiran orang lain dari luar komunitas mereka. Beberapa pihak menduga, orang Tobelo Dalam berasal dari warga pesisir juga, yang lari ke hutan semasa perang Permesta dan terus bertahan hidup di sana.

Dalam catatan penelitian oleh Martodirdjo (dalam, Masinambouw, 1984) disebut, orang Tobelo Dalam berasal dari Talaga Lina, di bagian utara Halmahera. Penyebarannya ke berbagai wilayah Halmahera berlangsung sudah sejak akhir abad 16, ketika Kesultanan Ternate yang berkongsi dengan perusahaan dagang VOC, melakukan serangan militer ke Talaga Lina. Serangan itu bertujuan mengkoloni wilayah-wilayah kaya rempah beserta penghuninya. Setelah dikoloni, orang-orang Tobelo Dalam dijadikan sebagai pekerja paksa untuk membangun jalan darat pengangkutan rempah, menembus wilayah pedalaman sampai pesisir. Pembangunan ini justru dengan memanfaatkan pengetahuan mereka tentang jalur-jalur terbaik untuk pengangkutan darat. Sepertinya, inilah cikal bakal dari semua sistem kerja paksa yang diterapkan oleh penjajahan VOC di Jawa pada masa-masa selanjutnya.

Tekanan terus bertambah ketika kongsi VOC dan Kesultanan Ternate memberlakukan “pajak kepala” awal abad 19. Sistem ini mewajibkan setiap orang dewasa membayar pajak, dalam bentuk rempah, atau jika tidak, mengganti dengan sejumlah uang. Bagi yang tidak membayar, bisa dikenai hukuman mati. Menurut Martodirdjo, sejak penyerangan Talaga Lina itulah sampai penerapan pajak kepala, orang-orang Tobelo Dalam terlibat dalam pelarian yang panjang. Mereka menyingkir makin jauh dari daerah asal. Tekanan dan berbagai bentuk penyingkiran yang makin beragam berlangsung dalam ratusan tahun masa kolonialisme rempah. Latar inilah yang membuat sebagian mereka menjadi anti dengan kehadiran orang lain, dan terus berlari mencari tempat yang aman.

Penyingkiran, atau pelarian memakan abad itu, sejauh ini belum terungkap dari Tobegu. Dia hanya ingat, setidaknya cerita-cerita kecil dari masa kakek atau buyutnya. Suatu ketika tentara Jepang mendarat di pesisir Wasile. Jepang membangun satu pangkalan militer cukup besar di ujung timur pulau. Pangkalan ini cukup penting dalam menghadapi perang Pasifik, ditempatkan di belakang kampung Lolobata. Saat itu, orang-orang Tobelo Dalam ditangkapi dari hutan dan dijadikan sebagai pekerja paksa. Mereka dijatah pekerjaan mengalihkan aliran sungai Toboino, agar berbelok mengaliri pangkalan. Selama praktik kerja paksa ini, orang Tobelo Dalam tidak diberi makan. Pemukiman ditempatkan sepanjang pinggir sungai yang sedang dikerjakan. Dalam waktu tertentu, mereka dibiarkan mengurusi urusan makan sendiri dengan memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar sungai. Semua ini bisa dilakukan dalam pengawasan. Beruntung saat itu, sagu, katak dan ikan air tawar, masih sangat melimpah di sekitar sungai.

Di masa itulah, Tobegu mengingatnya sebagai saat-saat pertama kali leluhur mulai keluar dari hutan. Setelah Jepang pergi, sebagian mereka kembali ke hutan menyisir arah hulu Sungai Toboino. Sebagian lain tetap bertahan di sekitar pesisir dan mulai berbaur.

Era Soeharto, hutan-hutan adat mereka terampas menjadi kuasa perusahaan. Mereka yang menolak berhadapan dengan moncong senjata militer. Teriakan untuk  mendapatkan keadilan era itu seakan tiada guna
Era Soeharto, hutan-hutan adat mereka terampas menjadi kuasa perusahaan. Mereka yang menolak berhadapan dengan moncong senjata militer. Teriakan untuk mendapatkan keadilan era itu seakan tiada guna. Penguasa sudah bersahabat dengan pengusaha.

Sepanjang tahun 1970 sampai 1980-an, sepanjang lajur Sungai Toboino jadi areal penebangan hutan oleh perusahaan Nusa Padma. Di masa inilah pangkal dari kehancuran hutan di wilayah Wasile. Orang-orang Tobelo Dalam menolak keras operasi perusahaan ini. Namun penolakan itu hanya berujung pengawalan militer bersenjata lengkap untuk keamanan pekerja perusahaan. Konon, kata orang-orang di pesisir, perusahaan ini milik “Tete Ato”, sebutan bagi Soeharto. Beredar kabar, kalau Tete Ato itu kejam, tega membunuh dan menangkapi orang-orang desa. Beberapa warga memang pernah ditangkapi oleh Babinsa atas alasan penebangan liar. Orang-orang Tobelo Dalam tak berkutik lagi. Mereka terpencar kembali, menyingkir mencari keselamatan.

Tak lama setelah itu, giliran program transmigrasi membuat mereka makin kehilangan ruang hidup sendiri. Program ini mendatangkan 200 lebih keluarga transmigran tahun 1982. Hal ini terus berlanjut sepanjang tahun sampai 1984 hingga berjumlah 2.000 keluarga lebih. Pertumbuhan penduduk berlangsung jauh makin cepat sejak itu. Apalagi sejak wilayah transmigran berhasil mencapai hasil panen melimpah mendekati tahun 1986. Tiap keluarga mulai mengajak saudara ikut bertani ke Wasile. Alih fungsi lahan untuk pemukiman dan pertanian komoditas terus meluas. Puncaknya ketika transmigran mengubah dusun sagu terbesar di pulau ini, di Lembah Subaim, lebih kurang seluas 40 ribu hektar lebih, menjadi persawahan dan pemukiman. Hutan-hutan untuk wilayah berburu dan meramu makin mengecil. Hewan-hewan buruan menjauh dari kebisingan mesin senso penebang hutan. Tidak jelas, kemana hewan-hewan itu menghilang.

Orang Tobelo Dalam mulai tidak tahan dengan kenyataan ini, mereka meluapkan amarah. Di sebuah desa trans bernama Tutuling Jaya, di pertengahan 1994, sekelompok orang Tobelo Dalam menyerang pemukiman transmigran. Satu orang transmigran meninggal, dan tentara kembali merangsek masuk kampung. Sebagian menyisir wilayah lebih ke hutan. Pertempuran terus berlangsung selama tiga hari. Orang-orang Tobelo Dalam diburu, sebagian berhasil ditangkap dan dikumpulkan di sebuah barak lapangan. Di hadapan penjagaan tentara bersenjata lengkap, mereka diceramahi, dipaksa menjauh dari pemukiman penduduk. Seorang pimpinan mereka ditangkap, dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan.

Dalam keterangan salah seorang dari mereka, alasan serangan itu bentuk kesetiaan pada amanat menjaga wilayah yang mereka sebut “Dusun Sagu Raja”. Orang Tobelo Dalam telah ditugaskan oleh Kesultanan Tidore sejak sekitar 150 tahun lalu, untuk menjaga Dusun Sagu Raja terus-menerus sampai berketurunan. Dalam amanat itu dipahami, dusun ini sampai kapanpun tidak boleh dirubah, dan tidak boleh dimiliki pribadi. Hanya boleh dimanfaatkan, sebagai sumber bahan makanan bersama bagi siapapun yang memerlukan.

Tobegu tidak ikut serta dalam serangan itu. Dia dan komunitas sudah duluan pindah ke Gau. Mereka duluan merasa tidak nyaman dengan keadaan di Wasile, memilih pergi begitu saja, dan tidak melawan untuk mempertahankan diri atau mempertahankan komunitas.

Saya terpikir kembali, sejauh ini tidak ada bentuk resistensi yang bisa saya tandai dalam cerita Tobegu. Antara 10 sampai 20 tahun keberadaan perusahaan penebangan hutan, diiringi program transmigrasi; perubahan bentang alam telah sepenuhnya berlangsung di Wasile. Momentum paling buruk dari sejarah panjang pengerukan Halmahera, ketika masuk pertambangan di Buli dan sekitar. Wilayah yang kini dtempati Tobegu. Ekonomi keruk ini adalah seburuk-buruk mata pencarian manusia, ketika basis bersandar kepada permintaan pasar, bukan menimbang masa depan anak-anak Halmahera. Dari eksploitasi awal saja (1980-an s/d 1997), pertambangan telah mematikan Pulau Gei. Pulau yang sebelumnya menjadi areal cadangan pangan bagi orang Buli.

Di Teluk Buli, sebelum ada pertambangan merupakan perairan begitu sibuk dan menyala di malam hari, oleh lampu-lampu bagan pencari ikan. Sejak ada pertembangan, pemandangan itu lenyap. Dusun-dusun sagu telah ditebang untuk pertambangan, begitu juga hutan pala dan cengkih. Sungai Ake Sangaji, salah satu sungai terbesar di pulau ini, kini sudah mengalirkan lumpur pertambangan dari pembongkaran di wilayah hulu. Pembongkaran tanah pun sudah mendekat garis pantai, bukit-bukit telanjang, mematikan banyak mata air untuk sumber air minum kampung-kampung di bawahnya. Mata pencarian justru makin memburuk, diiringi kriminalitas dan prostitusi liar berkembang untuk melayani karyawan tambang. Persaudaraan makin hancur terbelah-belah (tidak semata antar agama, tapi kini juga antarmarga, antarkeluarga, antarsaudara kandung, antarayah dan anak, dan seterusnya) akibat berebut tanah, dan uang perusahaan tambang. Ungkapan katong basudara, makin memualkan jika diucapkan di wilayah-wilayah tambang ini.

Dari semua gelagat perubahan yang menuju pada pemburukan makin dalam itu, saya begitu yakin, Tobegu akan kembali tersingkir. Ironi memang, ketika menyaksikan tingkah Tobegu dengan sepasang sepatu itu. Mungkinkah Tobegu sedang menyatakan takdir kaumnya sebagai pelari sejati. Dia seperti belajar menyenangi untuk terus menyingkir, seakan menyediakan diri untuk itu, tanpa perlawanan sama sekali. Sepatu bagus seperti penanda; bahwa mereka masih akan tersingkir justru dengan cara yang makin mudah dalam raksasa ekonomi pertambangan. Gau seperti akan menjadi satu estafet saja, meneruskan pelarian yang panjang sudah sejak berabad lalu. Tanpa perlawanan, seperti sebelumnya juga. Dia sudah lebih dulu memisahkan diri dari beberapa saudara, yang di kemudian hari berhadapan dengan tentara.

Halmahera memang salah satu daerah tambang. Seperti di Halmahera Utara, Maluku Utara ini, tambang-tambang emas merampas wilayah adat, masyarakat hidup susah kehilangan ruang hidup. Bahkan, ada yang terpaksa sembunyi-sembunyi berbagi tambang di lahan yang sudah diklaim menjadi milik perusahaan. Foto: AMAN Maluku Utara

Dan dia benar-benar bangga dengan sepatu baru itu.

Sa (saya) beli itu 800 ribu, ee… di Jakarta! Eh, iya! Waktu sa jalan di Ternate, di bandara, samua orang lihat sepatu saya. Samua orang! Dong (dia/mereka) bilang, sepatu bagus! Tarada (tidak ada) dong jual sepatu ini di Ternate, di seluruh Ternate tarada yang jual. Sa jalan di Bandara, samua orang lihat sepatu saya!”.

Saya masih bingung cara menanggapi, hanya terlontar, “Bapak beli di Jakarta ya?!”

“Iya. Waktu itu, sa jalan‐jalan. Sandiri saja! Di depan toko itu eee.. sa lihat sepatu ini, sa masuk, tunjuk itu! Dong bilang 800 ribu. Haa, sa lihat uang (sambil menunjuk pinggang), ada! sa minta! Sa kalau di Jakarta hanya jalan‐jalan, sandiri saja!”

Tobegu kembali tersenyum. Nampak dia bangga sangat. Saya masih terheran, bagaimana angan Tobegu tentang benda-benda dan dunia di luar sana. Sedangkan sepatu masih berselimut lumpur, dan dia tampak nyaman saja dengan itu. Atau mungkin dia malah kebingungan jika dijelaskan, apa itu membersihkan lumpur?”

Dong mau tanah kami. Sa boleh saja, ini tanah adat, saya kepala, kapitan! Sa mau Jakarta. Dong mau, dong bawa saya eee.. Jakarta. Eee.. Dong itu suka tanah kami. Di sana (menunjuk ke arah jalan besar), di sana (menunjuk ke arah bandara), dong mau. Saya di Jakarta dibawa eee itu, jalan basar‐basar (besar), mobil samua. Dua hari. Jalan basar-basar, banyak mobil samua. Ugh.. mobil banyak!”

Adik ipar Tobegu beserta anak isteri duduk di lantai, terkagum‐kagum mendengar. Mereka selalu serentak tersenyum setiap Tobegu memperlihatkan muka puas. Yang paling disenangi Tobegu di Jakarta adalah mengarungi jalan tol. Berhari-hari Tobegu memuaskan hasrat melewati jalan tol, hanya untuk melihat jalan yang lebar dan mobil-mobil berlintasan. Sesekali berkeliling pasar, menusuk gang kaki lima dan pertokoan, mengamati benda-benda “aneh.” Paling lama seminggu di Jakarta, dia dipulangkan lagi. Begitu jalan‐jalan selesai, tanah sudah boleh dipakai oleh pemesan. Umumnya orang-orang kaya dari Buli, para pedagang yang sedang meluaskan usaha. Saya jadi paham, maksud supir bentor yang mengantar saya ke Gau, siapa saja “orang-orang penting” itu, adalah orang-orang yang berminat pada tanah. Seperti ada tren, pedagang-pedagang itu mulai suka menguasai tanah, membeli dengan cara-cara apapun. Saya sendiri ikut menjadi “tertuduh” oleh si supir.

Berhadapan, saya dan Tobegu duduk di kursi plastik saling melempar ucapan dan gerak-gerik tubuh, terkesan sama‐sama ingin menyesuaikan. Kadang tatapan menajam, menusuk, seperti sedang memastikan kalau saya benar takluk pada ucapannya. Sesekali pula, dia hanya tersenyum berusaha ramah dan tampak kehabisan kosa kata.

Kadang Tobegu seperti mendeteksi juga kejanggalan dalam tingkah saya. Saat begini, dia akan mengulang cerita yang barusan disebutnya, setidaknya untuk memancing saya memberi tanggapan lebih gamblang. Kelihatan juga kalau Tobegu sudah sering berhadapan dengan orang‐orang dari luar.

“Saya di Jakarta, di Hotel .. eeee.. Asia! Nanti lagi, saya di Asia. Dong itu kasih kita lagi jalan-jalan.” Mereka yang di lantai kembali mengangguk-angguk mengagumi ucapan Tobegu.

“Tapi sa tara mau kasi dong itu pe tambang. Itu tambang tara bagus. Buat tanah tabongkar, dong buat tanah sakit. Tara baik lagi!”

Tobegu tidak mau melepas tanah untuk perusahaan tambang. Perusahaan tambang sudah lama sekali mendekati untuk ini. Tobegu tidak mengizinkan.  Menurut dia, tambang menyakiti tanah. Tambang membuat tanah terkelupas dan rusak, dan itu tidak baik.

Tiba‐tiba Tobegu mulai melirik seluler saya di atas meja untuk merekam obrolan. Gerak tubuhnya masih sangat mudah terbaca. Dia ambil seluler itu, dan mengamati detil. Sembari itu dia bertanya, apakah seluler saya ada kamera, apakah ada gambar, apakah bisa menelpon dan lain-lain. Tobegu juga memiliki telpon seluler. Bahkan dia pernah memiliki kamera beberapa kali. Hampir semua alat elektronik yang dimiliki, rusak dalam waktu singkat. Alat-alat itu dia dapatkan dari pemberian orang-orang yang meminta tanah.

Seorang anaknya yang perempuan, pernah bersekolah sampai SMP kelas satu. Satu-satunya anak Gau yang pernah bersekolah. Jika ada telpon, Tobegu akan meminta anaknyauntuk mengangkat, baru dia bicara. Biasa yang menelpon orang-orang yang berusaha mendekati untuk sebidang tanah. Kini Tobegu sering kesulitan dengan seluler, karena anak itu pergi meninggalkan rumah, sepertinya sudah cukup lama dan entah kemana. Tobegu tidak pernah tahu mengapa, dan seperti tidak mau tahu juga. Anak itu satu-satunya yang bisa menggunakan telpon di Gau. Juga satu-satunya yang bisa baca-tulis. Dari tadi saya perhatikan sebuah tulisan di dinding, mungkinkah anak itu yang menulisnya, berbunyi; “Aku pergi bukan untuk kejahatan. Tetapi aku pergi untuk mencapai cita-citaku yang slama ini aku inginkan.”

Saya tercenung menatap tulisan itu, Tobegu juga sudah asik sendiri. Tak lama, dia letakkan seluler dan tatapan menyorot benda lain di atas meja. Sebuah kamera pocket, masih milik saya. Sorot matanya terlalu jauh dari kesan untuk tidak menyentuh kamera itu. Begitulah, tangannya kini sigap saja mengambil kamera, membalik sebentar.

“Ini bisa ambil gambar kah?”.

“Bisa bapak.”

“Nanti bisa pasang saya pe gambar kah?”

“Bisa bapak.”

Wajah sumringah, dan langsung minta difoto. Tangan menunjuk saya, kemudian menunjuk kamera, lalu menunjuk diri sendiri. Saya paham. Saya iyakan. Spontan Tobegu berdiri cepat dan langsung membalik badan menuju ruang belakang, dan cepat pula sudah kembali menyibak kelambu pintu. Kelambu itu pun tersangkut setengah, sibakan Tobegu begitu kuat. Ternyata ia mengambil kaca mata hitam, dan sebuah tombak. Kaca mata dipasang mantap, pelan-pelan dia turunkan satu salawaku yang terpajang di dinding. Kini dia mengatur pose sendiri, berusaha tampak gagah. Tangan kanan memegang sebuah tombak pusaka dan di tangan kiri menggenggam salawaku bertatahkan kulit kerang. Saya ikuti aba‐aba Tobegu, dan memotret sampai dia puas.

Orang-orang berkumpul mendekati rumah. Sebagian memberanikan diri masuk menonton pemotretan. Sebagian melongok di jendela dan pintu. Semua memperhatikan dengan serius pemotretan Tobegu. Setelah puas, Tobegu menyuruh seorang “penonton” untuk memotret dirinya berpose berdua dengan saya. Ke si pemotret, saya jelaskan terlebih dulu, cara menggunakan kamera. Dua mengambil posisi. Tobegu mulai merangkul bahu saya dengan tangan kanan, jari-jarinya mengepit ujung bahu begitu kuat. Setelah ditunggu, pemotretan pertama gagal, yang disuruh hanya mengarahkan kamera, namun tidak melakukan apa-apa setelah itu. Saya jelaskan lagi. Dia mulai memotret dan berhasil. Orang-orang yang menonton adegan itu serentak melepas suara yang tadi tercekal dalam belitan dada. Suasana renyah kembali. Pemotretan berlanjut, pose dalam berbagai posisi, saya, Tobegu dan keluarga yang lain.

Semua makin akrab, obrolan kembali berlanjut sampai larut. Kehadiran saya seperti menjadi hiburan. Beberapa saat, saya sempat jalan-jalan sebentar bersama seorang pemuda, mengamati kegiatan menonton tv di sebuah rumah tetangga. Itulah satu-satunya tv di Gau. TV itu milik Tobegu, sengaja ditaruh di rumah yang lain sejak Tobegu mulai sering kedatangan tamu. Kalau banyak orang menonton tv, Tobegu kesulitan meladeni tamu. Selain banyak orang, suara tv bercampur dengan suara genset yang sangat bising.

Sekitar pukul 03.00 saya baru masuk ke kamar yang disiapkan. Bau kamar wangi sekali, tetapi saya duga bau ini bukan hasil pabrikan. Wangi berbeda, tidak pernah saya cium yang seperti ini. Sebuah tempat tidur berseprei putih bersih dan sebuah selimut kuyu juga cukup bersih. Sepertinya dari selimut itulah aroma ini. Dipan setengah rompong. Di bawah dipan, endapan debu seperti sudah menjadi gumpalan tanah. Jika tidur dengan banyak gerak, saya bisa terperosok kesitu. Seekor anjing menyusul masuk ke kamar, Tobegu cepat-cepat mencegah, dan sikap tubuh tampak seperti menyesali. Saya diperlakukan dengan baik sekali oleh Tobegu dan keluarga, dalam segala keadaan yang apa adanya. Di kamar itu, saya tidur nyenyak sekali, lelah luar dalam.

Esoknya, saya terbangun mendekati siang. Hawa udara terasa sudah panas. Bersama seorang adik ipar Tobegu, kami memulai obrolan di ruang belakang. Di meja terhidang sarapan pisang goreng tanpa kulit dan seduhan kopi yang saya bawa tadi malam. Menurut adik iparnya, sudah sering kali Tobegu jalan‐jalan ke Jakarta. Hampir setiap bulan.

“Dia Kapitan, orang besar. Dia bisa jalan‐jalan kapan saja. Apa dia mau dia bisa! Dia orang sakti, ini pagi dong disini, nanti sore so di Jakarta. Yaa! Dia orang sakti! Dong itu sakti!”.

Ya, di dalam hati saya iyakan. Tobegu memang sakti, tapi bukan karna tombak pusaka atau benda lain yang seperti itu. Tobegu tetap sakti dengan sepatu baru, sepatu yang membuat lebih bangga untuk bepergian makin jauh dan makin cepat lagi; semua kesaktian yang didapat dari menjual tanah. Kesaktian dari uang dan pembelian. Sedang si adik ipar begitu bersungguh-sungguh menceritakan semua ini.

Dari arah ruang depan, tampak Tobegu berjalan malas ke arah kami. Muka kusut seperti baru bangun. Dia duduk, membalik gelas yang tertelungkup, menuang kopi. Si adik ipar langsung diam, mimik wajah yang barusan berapi-api langsung senyap, seperti kehilangan cerita.

Gau, ibarat titik pemberhentian sementara, bagi Tobegu dan komunitas. Bagi orang-orang Tobelo Dalam di seluruh pulau ini agar pergi lebih jauh lagi dan dengan kecepatan makin tinggi. Ini seperti pemberhentian terakhir di antara dua arah yang sama saja artinya, menuju ke timur atau ke barat, dalam pelarian yang panjang meninggalkan tanah muasal.

Warga Desa Pumlanga dan Dusun Walaino, salah satu masyarakat adat di Tobelo Dalam, Halmahera Timur yang  terhimpit tambang dan taman nasional. Foto: AMAN Maluku Utara.
Warga Desa Pumlanga dan Dusun Walaino, salah satu masyarakat adat di Tobelo Dalam, Halmahera Timur yang terhimpit tambang dan taman nasional. Foto: AMAN Maluku Utara.

Dua tahun berlalu. Saya tidak mengira bisa datang lagi menengok Tobegu. Saat itu siang terik sekali, dia duduk di teras rumah tampak seperti sedang memencet seluler. Di kaki Tobegu, dua ekor anjing pemburu terkapar begitu malas bergerak. Tobegu tersentak, kaget dan senang sekali. Kedua anjing berdiri berat dan pekat, kemudian terpaku menatap saya, pendeta, dan dua orang teman. Tobegu menghardik anjing.

Ahh,  hahahaha, ini bapak yang pernah datang dulukah? Ya! Hahaha. Yang pernah sandiri datang ka sini to?” Tobegu menyambut kami senang sekali, sesekali sembari terus mengusir sepasang anjing itu.

Saya menyalami Tobegu, saya sendiri juga senang bisa datang lagi. Tetangga bergerumpul mendekat. Tadi sewaktu di jalan, pendeta sedikit bercerita. Tobegu sudah mau menjual tanahnya pada Antam. Bagi saya kabar ini mengejutkan. Segera saja saya buru keterangan Tobegu langsung.

Dong mo kasih kita 2.500. Tong tara bisa! Tong mau.. eee, 7.500. Tong samua so urus to, sama bapa to.

Tatapan Tobegu menjauh. Tobegu mengusap-usap kepala anjing itu. Asap rokok terus mengepul. Dalam hati saya nyeletuk, “Takluk juga kau pada perusahaan tambang. Akhirnya!”. Dugaan ini tidak meleset, pada dua tahun lalu ketika dia begitu bangga menunjukkan sepatu.

Cerita pendeta, Antam sudah ukur tanah Tobegu, luas 13.800 hektar. Sementara itu, truk dan pick up hilir mudik saja di samping rumah. Berbagai kendaraan itu mengambil pasir di sepanjang Sungai Gau dalam wilayah kekuasaan Tobegu. Sudah setahun ini, melayani kebutuhan pembangunan Kota Buli yang makin cepat. Tiap truk ukuran besar (15 ton), membayar 50.000 pada Tobegu. Per hari, Tobegu rata-rata mengantongi paling sedikit 250.000 dari aktivitas pengerukan pasir.

Gereja menjadi juru bicara Tobegu dan komunitas, untuk negosiasi dengan Antam. Atas jerih payah, gereja mendapat bagian sepertiga dari seluruh hasil penjualan. Tidak begitu jelas, apakah gereja membangun kesepakatan dengan Tobegu, atau juga dengan Antam. Menurut pendeta pula, dalam mempersiapkan penerimaan uang, dia mulai merasa perlu mengajarkan Tobegu berhitung. Cara paling mudah dengan  memanfaatkan aktivitas Tobegu menunggui para pengangkut pasir. Ternyata, siang hari begini duduk sendiri di teras rumah, Tobegu sedang menunggui pungutan pasir. Dari kebiasaan ini, Tobegu baru bisa menghitung kelipatan Rp50.000-Rp250.000.

Saya tercenung, tak disangka sedemikian cepat perubahan ini. Bukankah dulu si bapak pendeta juga tidak ingin Tobegu terlempar dari tanah sendiri. Bukankah dulu bapak pendeta begitu benci pada Antam, yang telah mengadu-domba masyarakat dengan preman dan uang, demi mendapatkan tanah. Rasa hati kembali lagi seperti dua tahun yang lalu, berhadapan dengan Tobegu yang tak terpahami. Atau lebih telak lagi, berhadapan dengan dunia yang tak terpahami. Yang pasti hanyalah, uang dan sihir benda-benda mampu menembus bagian terdalam dari diri siapapun. Bahkan, sekalipun seseorang itu tidak memiliki kebutuhan mutlak pada uang seperti Tobegu? Sebuah lelucon sedang bergulir di Buli; dengan tanah yang seluas itu “Tobegu adalah orang pedalaman pertama yang akan menjadi komisaris Antam.”

“Eee.. Bapak pe nomor to?” Kini Tobegu sudah lancar menggunakan seluler. Dia meminta nomor telpon saya. Tetapi dia masih belum tahu cara mengisi pulsa. Hanya pegawai Antam yang selalu mengisikan setiap hari Rp100.000, seperti sudah menjadi bagian tugas.

“Kita mo bajalan lagi ini. Jakarta. Aaa… mungkin sakitar Juli, aa yah, atau nanti Juni saja. Ya, haa, mungkin sakitar 17 Juni saja”.

“Oya  bapak mau bajalan lagi?”

“Ya, ha.. nanti di patung gajah, di patung gajah saja tunggu saya! Haa, ya tunggu saya di patung gajah. Jakarta!”.

Sejak itu, Tobegu terus rutin menelpon hampir setiap minggu. Hanya untuk menanyakan pertanyaan sama, “Sudah sampai mana?” Selesai saya jawab, dia selalu membalas  dengan kalimat yang itu-itu juga, seperti kaset yang sedang di-rewind.  Dia seperti memeriksa perjalanan saya. Mungkin sedang menggali gagasan bagi pelarian selanjutnya yang lebih jauh. Saya jadi khawatir, kalau-kalau saya malah terlibat menyusun jalan pelarian bagi Tobegu. Dulu dia diakui sakti dengan sepatu baru. Saya tidak mau menjadi bagian dari kesaktian seperti itu.

Membayangkan Tobegu tersingkir dari tanah untuk selamanya, oleh tipu-tipu benda pabrikan. Saya tidak tertarik menjadi orang penting, seperti yang disangkakan supir bentor di awal. Sejak itu, saya tak berani lagi mengangkat telpon dari Tobegu, walau dia masih saja menghubungi cukup rutin saban waktu.

*Penulis esai ini adalah pegiat di Sajogyo Institute, Bogor. Sejak tahun 2012, bersama anak-anak Kepulauan Maluku menggelar kegiatan belajar bersama untuk penghentian krisis sosial dan krisis ekologi Kepulauan Maluku. Satu buku bersama, sedang dalam proses cetak oleh penerbit Tanah Air Beta (Yogyakarta), berjudul “Perampasan Ruang Hidup Orang Halmahera.” Penulis bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,