Dari hutan Kalimantan Timur, berawal sumber bahan bakar pertumbuhan perekonomian di negara-negara Asia yang sedang berkembang: Batubara.
Penambang menggali lubang terbuka, membersihkan hutan dan lahan pertanian untuk mengambil batubara, lapisan hitam tebal dari dalam tanah, yang kemudian dihancurkan dan dimuat ke truk dan tongkang untuk dikirimkan ke Tiongkok, India, Jepang dan tujuan lainnya di Asia.
Indonesia sendiri merupakan produser batubara terkemuka dunia, menghasilkan 421 juta metrik ton tahun lalu, -menurut angka resmi pemerintah, dengan sekitar 350 juta metrik ton diantaranya diekspor untuk memenuhi permintaan energi dunia. India dan Cina adalah dua pembeli terbesar.
Dalam satu dekade terakhir, produksi batubara Indonesia telah meningkat tiga kali lipat yang membuat Indonesia menjadi negara eksportir teratas batubara yang digunakan untuk pembangkit listrik, yang menghasilkan miliaran dolar dalam royalti pemerintah. Pajak batubara merupakan sumber penting pendapatan, membantu menutupi defisit anggaran berjalan sekitar 3 persen dari PDB.
Tetapi dibalik keberhasilan ini telah datang banyak permasalahan, termasuk deforestasi besar-besaran, polusi air, konflik konsesi dengan masyarakat lokal dan adat dan biaya kesehatan dari debu batubara yang muncul.
Dalam daftar di atas perlu ditambahkan masalah korupsi, penggelapan pajak, penambangan liar dan ekspor ilegal, yang besarnya hingga mencapai jutaan dolar. Industri ekstraktif batubara yang tak tekendali telah menjadi ancaman bagi dirinya sendiri, ekonomi dan lingkungan nasional dan global.
***
Sekitar setengah batubara berasal dari provinsi yang kaya dengan sumber daya alam yaitu Kalimantan Timur. Untuk membayangkan skala industri ini, anda cukup hanya berdiri di jembatan utama di pinggir sungai Mahakam, Samarinda dan melihat banyaknya tongkang yang lewat di sungai setiap beberapa menit.
Tongkang seukuran kolam renang olimpiade akan melewati aliran sungai yang berwarna kecoklatan. Tongkang ditarik oleh kapal tunda untuk dikirim ke kapal curah yang menunggu di sepanjang pantai selat Makassar. Setiap tongkang membawa sekitar 8.000 metrik ton batubara, yang diisikan dari terminal batubara yang menjulur ke pinggir sungai. Kota Samarinda sendiri dikellilingi oleh konsesi tambang batubara dan lokasi penimbunan batubara yang terus-menerus memberi makan tongkang melalui sabuk conveyer.
Ketahanan Energi
Ekstraksi sumber daya telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia. Saat cadangan minyak Indonesia terus menurun, ekstraksi batubara tumbuh dan bermunculan.
“Idenya yaitu kita harus mempertimbangkan keamanan energi. Kami menganggap batubara adalah [alternatif] calon energi kami dalam waktu dekat,” kata Bambang Tjahjono Setiabudi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara di Kementerian ESDM.
Sekitar 60-an juta penduduk Indonesia tidak terhubung terhadap sumber kelistrikan dan pemerintah mendorong investasi yang cepat dalam membangun pembangkit listrik tenaga batubara untuk memperbaiki kekurangan listrik guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Seperti booming sumber daya minyak dan gas yang lalu, penebangan hutan dan pembangunan kelapa sawit, batubara dianggap sebagai sebuah solusi, dengan berbagai masalah lingkungan yang dihasilkannya sering masih dianggap sebagai masalah sekunder.
“Indonesia berada di level yang berbeda jika bicara masalah dampak lingkungan dibandingkan dengan negara lain,” jelas Sacha Winzenried, penasihat senior bidang energi, utilitas dan pertambangan PwC, sebuah perusahaan jasa bisnis global.
Sebaliknya bagi kalangan LSM, sektor ekstraktif ini perlu dikekang. Mereka menunjuk ancaman dari pembakaran batubara dalam mendorong perubahan iklim. Mereka mengatakan Indonesia perlu lebih fokus pada investasi energi terbarukan dan membatasi konflik antara tambang dan masyarakat lokal, yang tanahnya semakin terancam.
Untuk membuat kejelasan terhadap sektor ini, pemerintah meminta KPK (Komisi Pemberantasan Komisi), untuk memimpin evaluasi terhadap berbagai izin pertambangan.
“Fokus kerja KPK adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menghindari kebocoran pendapatan,” tutur Tjahjono. Diapun berharap hal ini akhirnya akan mendorong penegakan yang lebih baik dari peraturan lingkungan.
Dalam inisiatif lainnya, menurutnya aturan perdagangan baru yang mulai berlaku 1 Oktober ini akan menargetkan sanksi yang tegas terhadap ekspor batubara ilegal. Tjahjono berharap kedua inisiatif ini akan menyebabkan semakin ketatnya pengelolaan sektor pertambangan.
Namun, bagi kalangan LSM, kebijakan pemerintah yang diambil bisa jadi penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana menghadang berbagai masalah lingkungan dan sosial yang terjadi akibatnya maraknya pemberian ijin dan pertambangan yang ada.
“Saya pikir akan ada lebih banyak masalah karena setengah izin pertambangan selesai dalam 10 atau 15 tahun ke depan. Prediksi saya pada tahun 2020, kita akan memiliki kerusakan lingkungan yang sangat serius. Itu baru satu masalah. Juga akan ditambah dengan berbagai isu lain, seperti masalah kesehatan dan konflik lahan,” papar Merah Johansyah, Koordinator Jatam Kaltim, LSM yang fokus terhadap masalah pertambangan.
Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 3.922 ijin eksplorasi,operasi dan produksi batubara di seluruh Indonesia. Sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera, yang memiliki sebagian besar cadangan batubara Indonesia. Namun, baik Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki sumber daya untuk secara aktif memantau dan menganalisis ijin ini.
Dari total ijin yan ada, 1.461 terdaftar sebagai lokasi tambang yang tidak clean and clear karena berbagai penyimpangan, seperti area tumpang tindih dengan konsesi pertambangan lain atau dengan konsesi pertanian.
Sebuah analisis independen terhadap ijin batubara menunjukkan jumlah perijinan batubara yang telah dikeluarkan di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 21 juta hektar pada tahun 2013, kira-kira seukuran hampir 1,9 kali luas pulau Jawa. Dari seluruh total area ini dapat disoroti bagaimana risiko konflik sosial dan kerusakan lingkungan di negara berpenduduk 250 juta orang, yang sebagian besar masyarakatnya masih bergantung pada lahan pertanian, hutan dan sungai untuk mata pencaharian mereka.
Tantangan Utama
Sebagian besar masalah berasal dari tingkat kabupaten. UU otonomi daerah pada tahun 2001 memberi kabupaten kekuatan jauh lebih besar, dan ini memicu ledakan bagi ijin pertambangan. Di Kalimantan Timur misalnya, bupati telah mengeluarkan sekitar 70 persen dari semua izin pertambangan. Pemasukan dari batubara, sebagian digunakan untuk peningkatan pendapatan daerah, namun sebagian digunakan untuk pembiayaan dana kampanye ulang bupati, dan -merujuk kasus korupsi baru-baru ini, masuk ke kantong pribadi bupati dan kroninya.
“Salah satu tantangan utama bagi industri adalah koordinasi antar departemen pemerintah dan antara pemerintah pusat dan daerah, karena ini adalah salah satu kunci untuk pembangunan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan investor,” kata Winzenried di kantornya di Jakarta.
“Bupati memiliki kepentingan yang berbeda dengan pemerintah pusat, atau apakah itu lingkungan, kesehatan dan keselamatan, tingkat koordinasi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” Winzenried menambahkan bahwa kantor pertambangan pemerintah daerah sering kekurangan sumber daya, anggaran atau kemauan untuk mereformasi diri.
Kurangnya pengawasan telah menyebabkan pemerintah pusat dan daerah tidak tahu persis jumlah tambang yang memproduksi batubara di Indonesia, yang dalam hitungan kasar berkisar angka 400.
Dan tidak ada yang tahu berapa banyak batubara ilegal yang diproduksi dan diekspor. Sementara 421 juta metrik ton adalah angka produksi resmi untuk 2013, sumber lain menyebutkan bahwa produksi batubara hampir 500 juta metrik ton, dengan kelebihan 50-60 juta adalah yang disebut dengan “ekspor hilang”. Pihak lain bahkan berani menyebutkan produksi ilegal yang lebih tinggi lagi.
Bekerjasama dengan BPK dan KPK, Kementerian ESDM saat ini bekerja untuk fokus pada 12 provinsi dengan angka tertinggi ijin pertambangan.
Tujuannya adalah untuk meninjau legalitas ijin, memeriksa apakah perusahaan tambang memiliki nomor identitas pajak yang valid, membayar pajak mereka secara penuh dan apakah terdapat ijin tambang tumpang tindih dengan perkebunan kelapa sawit dan konsesi pertambangan lainnya dan kawasan hutan lindung, sebuah masalah yang umum dijumpai di Indonesia.
Sampai saat ini, program ini telah menyebabkan penangguhan lebih dari 300 izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pejabat setempat.
Aturan perdagangan baru menyatakan bahwa hanya perusahaan tambang batubara yang memiliki ijin usaha dinilai sebagai bersih dan jelas dapat mengekspor batubara. Kementerian mengeluarkan masing-masing disetujui perusahaan sertifikat, yang Kementerian Perdagangan menggunakan untuk menyetujui lisensi ekspor. Ekspor juga akan harus melalui pelabuhan yang ditunjuk.
“Upaya ini untuk mengurangi praktik pertambangan yang buruk, yang tidak aman dan non-compliant dengan aturan lingkungan. Itu berarti kita bisa menutup perusahaan-perusahaan,” jelas Tjahjono.
Dia berharap aturan perdagangan baru akan berpengaruh terhadap ekspor. Selain kebijakan pemerintah, maka harga batubara dunia yang melemah juga berdampak, dan ini akan memaksa beberapa pemain yang lebih kecil untuk menyingkir. Saat ini harga batubara ekspor telah jatuh separuhnya sejak puncaknya terjadi pada tahun 2009.
Tulisan ini bersambung ke tautan artikel ini:
Tulisan asli dalam artikel berbahasa Inggris dapat dijumpai dalam tautan ini:
http://news.mongabay.com/2014/1016-gfrn-fogarty-indonesia-coal-1.html |