,

Usulan Kementerian LH dan Kehutanan, Walhi: Bahaya Campur Aduk Perlindungan dan Eksploitasi

Presiden Joko Widodo mengusulkan ke DPR perubahan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Walhi menilai perubahan nomenklatur ini malah berpotensi ‘mematikan’ KLH.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional menyatakan, dari informasi dan foto surat yang beredar Presiden meminta pertimbangan DPR terkait penggabungan KLH dan Kemenhut. Perubahan ini, katanya berpotensi terjadi penumpukan wewenang di satu kementerian.

“Dengan menggabungkan eksploitasi dan konservasi atau perlindungan tidak akan menjamin keseimbangan dalam pengambilan keputusan di tengah kuat paradigma eksploitasi,” katanya lewat pesan elsktronik, Rabu malam (22/10/14) di Jakarta.

Dia mengatakan, ada pandangan bahwa konservasi sebagai biaya, sedang eksploitasi penerimaan keuangan negara.

Perubahan ini, kata Abetnego, mengindikasikan komitmen memperkuat institusi pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tak sesuai janji.

Dengan penggabungan ini, katanya, sama saja menghilangkan KLH, bila dikaitkan perangkat hukum seperti penerbitan PP 71 tentang kewenangan KLH menentukan kawasan budidaya pada kawasan gambut serupa Kemenhut dengan UU No.41.

“Fungsi kendali dan eksekusi KLH akan makin samar karena tercampur kewenangan pemberian izin. Kalau ditarik ke UU No.32 tentang sanksi pemberi izin, tidak akan ada pihak yang mau mengeksekusi kesalahan sendiri” .

Abetnego mengingatkan, kala pertemuan antara Walhi dan Jokowi– calon presiden saat itu–pada 12 Mei 2014, jelas Walhi meminta periode pemerintahan ini perlu penguatan KLH. “Dengan menjadikan kementerian portofolio dengan tata ruang, konservasi dan pengelolaan kawasan khusus seperti pengelolaan daerah aliran sungai menjadi kewenangan KLH dengan diperkuat sistem peradilan lingkungan hidup.”

Untuk Kemenhut,  fokus tata produksi kehutanan seperti  logging, hutan tanaman industri, perhutanan sosial/hutan kemasyarakatan. “Sedang yang berkaitan dengan tenurial kepada Kementerian Agraria,” ujar dia.

Dengan nomenklatur KLH dan Kemenhut ini juga mempersempit cara pandang dan tindak. “Seolah-olah lingkungan hidup dibatasi pada hal yang berkaitan dengan kehutanan saja. Pertanyaannya, kenapa tidak digabung dengan sektor sumber daya alam lain, misal, ESDM?”

Lingkungan hidup, katanya, berkaitan dengan berbagai sektor. Belum lagi, keputusan-keputusan kementerian yang digabung bakal sangat dipengaruhi latar belakang menteri yang ditunjuk.

“Mempertahankan dan memperkuat KLH harus dilakukan Presiden guna menjamin ada kementerian pengendali pembangunan. Ini untuk memastikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berjalan.”

Walhi mendesak, DPR menolak penggabungan dan meminta Presiden membatalkan rencana penggabungan kementerian ini.

Pertemuan Walhi dan Jokowi pada Mei 2014. Walhi mendesak penguatan  KLH, antara lain dengan mengalihkan kewenangan konservasi di Kemenhut ke KLH. Foto: Walhi
Pertemuan Walhi dan Jokowi pada Mei 2014. Walhi mendesak penguatan KLH, antara lain dengan mengalihkan kewenangan konservasi di Kemenhut ke KLH. Foto: Walhi

Jokowi mengusulkan enam perubahan nomenklatur dalam susunan kabinet yang sedang disusun. Perubahan itu disampaikan Jokowi dalam surat bernomor 24/Pres/10/2014 tertanggal 21 Oktober. “Suratnya bersifat segera dan baru kami terima hari ini,” kata Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, (22/10/14) seperti dikutip dari Tempo.

Taufik mengatakan, nomenklatur kementerian baru yang sudah diberikan Jokowi itu masih dibahas di tingkat pimpinan DPR. Dia belum bisa memastikan kapan surat itu bisa dibalas dan ditanggapi.

Berikut enam usulan perubahan nomenklatur kementerian yang diajukan oleh Jokowi :

1. Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat digabung menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

2. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup digabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

3. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi Kementerian Pariwisata

4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset dan Teknologi dilebur menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

5. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dilebur menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal;

6. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Kebudayaan.

Jangan berikan pos menteri pada mafia

Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta Presiden tak  menyerahkan sumber daya alam kepada mafia energi. Perubahan yang dijanjikan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Jk) mengecewakan jika masih menggandeng orang-orang yang mengurus tambang.

Ki Bagus Hadikusuma, manajer kampanye Jatam Nasional mengatakan, potret kegagalan masa lalu harus dibenahi bersama-sama dengan penempatan figur tepat dalam kabinet Jokowi. “Mengingat carut-marut pengelolaan tambang dan energi yang diwariskan. Mulai dari pelanggaran HAM, tumpang tindih perizinan dengan kawasan hutan, membuka investasi  serampangan, hingga penciptaan ketergantungan besar terhadap sumber energi fosil,” katanya.

Kondisi ini, katanya,  mendorong pengerukan sumber daya alam  makin massif.  Carut-marut tata kelola tambang dan energi, ujar Bagus,  tampak dalam berbagai program dan kebijakan SBY, mulai dari UU Minerba, fast track program, low cost green car (LCGC), masterplan percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI), hingga penyelesaian konflik pertambangan yang banyak menyingkirkan masyarakat.

“Presiden Jokowi harus mampu meletakkan tangggung jawab pengurusan SDA tambang dan energi kepada personal yang tak memiliki rekam jejak kegagalan masa lalu dan bagian mafia.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,