Sehari setelah pengukuhan Jokowi sebagai Presiden Indonesia, Muhammad Nur bin Jakfar (67), tokoh adat Dangku Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, divonis penjara selama 2,6 tahun oleh Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (21/10/2014).
Nur, menurut majelis hakim yang dipimpin Albertina Ho, bersama lima warga Dangku lainnya, terbukti melakukan perambahan di Suaka Margasatwa Dangku.
Selain divonis penjara 2,6 tahun, Nur juga didenda Rp50 juta subsider 4 bulan kurungan. Sementara, Zulkifli bin Dungcik divonis penjara 1,8 tahun dan denda Rp25 juta subsider 3 bulan kurungan. Kemudian Samingan bin Jaeni, Dedi Suryanto bin Tugimin, Sutisna bin Kadis, dan Ahmad Burhanudin Anwar bin Imam Sutomo divonis penjara 1,6 tahun dan denda Rp20 juta subsider 2 bulan kurungan.
Tommy Indriadi, salah satu anggota penasihat hukum keenam terdakwa menyatakan akan memaksimalkan segala hak hukum yang dimiliki terdakwa. “Kita punya waktu 14 hari. Satu minggu pertama kita gunakan untuk pikir-pikir dan konsultasi bersama tim penasihat hukum. Satu minggu berikutnya kita persiapkan untuk kemungkinan banding,” ujarnya.
Tommy menyayangkan sikap majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta persidangan, misalnya dalam sidang sebetulnya sudah terbukti bahwa posisi SM Dangku tidak sesuai lagi. Tommy juga menyayangkan majelis hakim menggunakan pertimbangan dan vonis yang sama bagi empat warga yakni Samingan, Dedi, Sutisna, dan Ahmad, padahal fakta persidangan dari empat warga ini tak bisa disamakan.
“Beberapa perkara sejenis, seperti yang terjadi di Bengkulu, selalu normatif. Pertimbangan hukum lainnya, tak pernah digunakan. Penetapan kawasan SM Dangku yang mengabaikan masyarakat hukum adat, adanya perusahaan yang juga beroperasi disana, semua diabaikan,” sesal Tommy.
Senada disampaikan Rustandi Adriansyah, Ketua BPH AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Sumsel, pada akun facebook-nya, Selasa (21/10/2014).
“Dalam amar putusannya majelis hakim mengabaikan semua fakta persidangan yang disampaikan pembela para terdakwa, mengabaikan pendapat para ahli dan saksi a de charge. Sehingga rakyat miskin sepertinya memang harus ‘susah’ oleh hukum. Sebaliknya, aparat negara, berbanding terbalik dengan apa yang diperlakukan mereka terhadap para ‘penguasa modal’ yang melakukan kejahatan di atas tanah yang sama, SM Dangku.”
“Mati sudah keadilan. Kado Jokowi untuk masyarakat adat dan petani,” tulis Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, mengomentari status Rustandi tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, Nur dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp50 juta karena diduga merusak hutan Suaka Margasatwa Dangku oleh jaksa penuntut umum dalam sidang yang digelar Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (02/10/2014).
“Muhammad Nur bin Jakfar secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan pelanggaran yaitu melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam dan melanggar Pasal 40 ayat (1) jo Pasal 19 ayat (1) UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” kata Jaksa Penuntut Eka Septi Winarni, SH.
Sementara lima masyarakat adat lainnya, Sutisna bin Kadis, Zulkifli bin Dungcik, Samingan bin Jaeni, Ahmad Burhanudin Anwar bin Imam Sutomo, serta Dedi Suryanto bin Tugimin dituntut dua tahun penjara dan denda Rp25 juta. Kelimanya juga melanggar Pasal 40 ayat (1) jo Pasal 19 ayat (1) UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Tidak ada bukti kuat status SM Dangku
Mualimin Pardi Dahlan, kuasa hukum keenam terdakwa, menyayangkan tuntutan jaksa yang tidak secara cermat melihat kepastian hukum status SM Dangku.
“Seharusnya keberadaan SK Menhut No 76 Tahun 2001 dan SK Menhut No 822 Tahun 2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan harus dilihat untuk menentukan perubahan letak dan luasan kawasan SM Dangku,” kata Mualimin.
“Kalau hal tersebut diperhatikan jaksa, sangat memungkinkan perkara tersebut bukan tindak pidana,” ujarnya.
Berdasarkan fakta tersebut, “Kami akan sampaikan pada pembacaan pembelaan dalam sidang berikutnya, sehingga akan menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara ini,” kata Mualimin yang juga Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio