,

Inilah Penjelasan BKSDA Sumsel Tentang Suaka Margasatwa Dangku

Konflik masyarakat adat Tungkalulu Kabupaten Musi Banyuasin dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan terkait SM Dangku, melahirkan vonis penjara terhadap enam masyarakat adat oleh Pengadilan Negeri Palembang.

Terkait polemik tersebut, inilah penjelasan BKSDA Sumsel mengenai perambahan Suaka Margasatwa (SM) Dangku yang menurut versi BKSDA telah mengalami kerusakan sekitar 2.000 hektar.

Nunu Anugrah, Kepala BKSDA Sumatera Selatan (Sumsel), menyatakan bahwa perusakan dan perambahan hutan, khususnya hutan kawasan konservasi merupakan persoalan serius yang harus ditangani secara komprehensif. Dasar hukum yang digunakan adalah UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“BKSDA Sumsel memiliki kelompok kerja untuk menangani perambahan hutan, khususnya yang terjadi di kawasan konservasi. Kemudian, pemetaannya dilakukan kelompok kerja GIS (Geographics Information Systems),” ujar Nunu, beberapa waktu lalu.

“Mengenai pemetaan, kita lakukan lewat dua cara, yakni melalui analisis citra lansekap dan ground checking. Ketika menemukan kawasan hutan yang gundul melalui citra lansekap, dilakukan ground checking. Kita lihat langsung di lapangan, apakah kawasan itu gundul karena aktivitas perambahan atau sebab lainnya,” kata Nunu.

Ditambahkan Nunu, sejak lama BKSDA melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai larangan perambahan hutan, baik secara langsung maupun tidak. Kita punya dasar hukum yang kuat. “Prosedur penanganan perambah mulai dari peringatan, tindakan represif, dan penanganan paska tindakan represif.”

Edi Sopian, Koordinator Urusan Penyidikan dan Perambahan Hutan, mengungkapkan ketika menemukan satu kasus perambahan, karena ada unsur kesengajaan merusak hutan yang bertentangan dengan undang-undang, maka pelakunya mendapat peringatan pertama.

Peringatannya teguran lisan dan tertulis. Secara lisan kita jelaskan mereka melakukan perambahan, mereka berada di kawasan hutan konservasi dan dalam tempo yang diberikan mereka harus meninggalkan kawasan tersebut. “Kita berikan pula surat peringatan resmi yang ditandatangani pemangku wilayah, biasanya kepala seksi,” jelas Edi.

Patok wilayah SM Dangku ini menunjukkan batas kawasan. Foto:  BKSDA Sumsel
Patok wilayah SM Dangku ini menunjukkan batas kawasan. Foto: BKSDA Sumsel

Setelah tempo yang diberikan berakhir, tim BKSDA mendatangi kembali lokasi tersebut. Ini merupakan peringatan terakhir. Ini sudah bisa dilakukan tindakan represif, penangkapan, penahanan, penyidikan, dan lain-lain. Seperti yang telah kita telah lakukan di Bentayan, Dangku, Gumay Pasemah, dan lain-lain,” jelasnya.

Terhadap areal perambahan tersebut BKSDA Sumsel berusaha mengembalikan fungsi hutan. Mulai dari merobohkan pondok hingga merencanakan penanaman kembali dengan tanaman asli daerah tersebut.

Penanganan SM Dangku

Sepanjang 2014, sudah tujuh perambah yang ditangkap di kawasan SM Dangku. Menurut Edi, mereka yang ditangkap, berdasarkan data BKSDA Sumsel, merupakan aktor intelektual perambah hutan. Misalnya Sukiswanto bin Budi. Dia pernah diamankan tahun 2012, dan saat ini telah divonis 18 bulan oleh Pengadilan Negeri Palembang.

“Sukiswanto juga mengaku masyarakat adat, sama dengan enam pelaku yang saat ini disidang di Pengadilan Negeri Palembang, yang kini sudah divonis,” ujarnya.

Edi berkeyakinan, masyarakat dan pemerintah daerah setempat sudah tahu mengenai SM Dangku dan batas wilayahnya. Karena, dalam proses penentuan kawasan menjadi hutan suaka margasatwa ada empat tahapannya, yakni penunjukan melalui SK Menteri, tata batas, pemetaan, dan terakhir penetapan yang juga melalui SK Menteri.

Sosialisasi keberadaan SM Dangku dilakukan kepada masyarakat. Foto: BKSDA Sumsel
Sosialisasi keberadaan SM Dangku dilakukan kepada masyarakat. Foto: BKSDA Sumsel

“Penentuan tata batas, ketua panitianya bupati atau kepala daerah yang diketahui sampai level camat dan menerima masukan data dari kepala desa. Pemancangan patok batas juga disosialisasikan hingga ke tingkat kepala desa. Setelah tak ada yang komplain, baru disahkan sebagai tata batas,” jelas Edi.

“SM Dangku telah melalui empat tahapan ini dan tidak ada yang komplain. Kalau sebelumnya ada masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut, dalam SK pasti dijelaskan,” lanjutnya.

Saat ini, di kawasan Dangku ada sekitar 300-400 kepala keluarga (KK). Jika setiap KK mengklaim lahan seluas 2,25 hektar maka jumlah lahan yang berada dalam penguasaan warga sekitar 675 hingga 900 hektar. “Itulah prediksi kita mengenai luas lahan yang dirambah warga,” papar Edi.

Sementara Agnes Indra Maharani, Koordinator GIS yang didampingi Andriansyah, anggota Kelompok Kerja GIS, mengungkapkan kerusakan di SM Dangku per Desember 2013 seluas 2.056,5 hektar dari luas total 31.752 hektar.

Menepis pernyataan sejumlah pihak yang menyataan SM Dangku sudah tak layak menjadi hutan suaka margasatwa karena sudah tak ada lagi hewan dilindungi, Agnes menerangkan di SM Dangku masih terdapat enam hingga tujuh ekor harimau. “Kita punya datanya, ada bukti jejak dan kotoran harimau yang ditemukan. Artinya, SM Dangku layak dan perlu kita jaga konsistensinya,” ujar Agnes.

Terkait dugaan keberadaan sejumlah perusahaan perkebunan di SM Dangku, seperti dituduhkan warga, BKSDA Sumsel belum bersedia memberikan penjelasan.

Jejak harimau yang ditemukan di SM Dangku. Foto: BKSDA Sumsel
Jejak harimau yang ditemukan di SM Dangku. Foto: BKSDA Sumsel

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,