Indonesia merupakan negara kedua terbesar yang memiliki keanekaragaman hayati dunia, termasuk 800 jenis tumbuhan pangan. Potensi jenis tumbuhan pangan tersebut terdiri dari 77 jenis tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman dan 110 jenis tumbuhan rempah dan bumbu-bumbuan.
“Akan tetapi potensi itu belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan masyarakat,” kata Hermanto, Peneliti Madya dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Badan Litbang Kementerian Pertanian dalam Diskusi Pakar “Aneka Ragam Pangan dan Pertumbuhan Penduduk: Peran Sumber Pangan Nonberas” yang diselenggarakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) di Jakarta pada Kamis (23/10/2014).
Hermanto melihat ada permasalahan dalam kebijakan kemandirian pangan, dengan bukti tingginya ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi yaitu 133,26 kg per kapita per tahun (Data Badan Ketahanan Pangan Kementan, 2012).
Sedangkan Soegiono dari Divisi Bogasari PT Indofood Sukses Makmur mengatakan Indonesia terjebak dalam kebijakan pangan yang monokultur, dengan lebih mengutamakan beras sebagai sumber pangan utama.
Mengutip data dari Serikat Petani Indonesia, Soegiono mengatakan Indonesai terjebak dalam kebijakan harga pangan yang murah untuk menopang pengembangan industri dan sektor lainnya.
“Petani dan perusahaan di Indonesia didorong untuk menanam tanaman ekspor seperti sawit dan karet, yang menggantikan tanaman pangan. Sehingga beras impor lebih murah dibandingkan produksi lokal,” katanya.
Akibatnya Indonesia menjadi negara pengekspor produksi perkebunan terbesar di dunia, tetapi menjadi negara pengimpor pangan terbesar. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi perdagangan alat-alat teknologi pertanian yang dikuasai segelintir perusahan internasional, sehingga kondisi pangan di Indonesia tergantung pada keputusan segelintir perusahaan tersebut.
Soegiono melihat peran negara semakin berkurang dalam mengatur kebijakan pangan, dan semakin membanjirnya impor bahan pangan yang diproduksi dengan teknologi rekayasa genetika ke Indonesia.
“Padahal pangan sudah menjadi hak asasi manusia secara global. Mestinya ada kebijakan untuk pangan nasional dan kebijakan pangan untuk menaikkan daya saing kita sebagai bangsa. Pangan yang meningkatkan daya saing adalah tanaman keras seperti sawit, sehingga kita punya posisi tawar global,” katanya.
Minimnya data keragaman pangan
Pada kesempatan yang sama, Murdijati Gardjito Pusat Kajian Pangan Tradisional, UGM Yogyakarta mengatakan minimnya data soal potensi keragaman pangan di Indonesia membuat negara ini masih sangat tergantung pada beras. Padahal untuk mencapai kedaulatan pangan, negara harus melepaskan ketergantungan pada satu komoditi.
Dia melihat Badan Pusat Statistik menganaktirikan tanaman sumber pangan selain beras sehingga data-data tentang tanaman pangan lokal seperti pisang uter, sukun, labu kuning, dan umbi-umbian masih sangat kurang. Hal tersebut membuat tidak ada data besaran produksi atau konsumsinya pangan lokal tersebut, yang menghambat usaha pemanfaatan pangan lokal.
“Jika tidak ada datanya, akan sulit untuk mengembangkannya,” kata Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu.
Dari data Kementerian Pertanian, pada tahun 1950-an, sumber pangan masyarakat Indonesia masih bervariasi. Meski beras sudah mendominasi, namun masyarakat masih mengkonsumsi ubi kayu dan jagung sebagai makanan pokok.
Murdijati menjelaskan pergeseran pola makanan pokok masyarakat Indonesia menjadi hanya beras, mulai terjadi pada kurun 1984, dimana tingkat konsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Dan pada kurun 2010, sumber makanan pokok selain beras mulai hilang, sehingga ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat tinggi.
Kondisi tersebut tentu mempengaruhi terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia. Murdijati mengatakan jika masyarakat di daerah dan kawasan terpencil menjadi sangat tergantung pada beras, maka negara akan sangat terbebani untuk pemenuhan beras tersebut.
Dia mengatakan pangan lokal yang berasal dari budaya masyarakat setempat seharusnya mampu menjadi harapan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Karena berbasis lokal, maka pemerintah daerah memiliki peran penting untuk mengurangi ketergantungan beras.
Sudah ada beberapa pemda yang memiliki kebijakan mendorong masyarakatnya untuk mengkonsumsi non beras sebagai makanan pokok, seperti pemkab kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dan pemerintah walikota Depok, Jawa Barat.
Pada acara diskusi tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Willy Kumentas mengatakan pada awalnya, sagu merupakan makanan pokok masyarakat di daerahnya. Akan tetapi karena ada program beras miskin (raskin) yang dibagikan gratis, makanan pokok masyarakat mulai beralih dari sagu ke beras.
Willy melihat perlu adanya koordinasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang makanan pokok, sehingga program pangan lokal yang sedang digalakkan Pemkab Sangihe dengan sagu bisa berhasil.
Sri Sulihanti, Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, mengatakan mengakui koordinasi kebijakan pangan nasional memang belum solid. Hal ini terbukti dari upaya pemerintah untuk melakukan penganekaragaman pangan yang sudah dilakukan sejak tahun 1960an justru belum memberikan dampak apa-apa saat ini. “Banyak terjadi overlaping,” katanya.
Selain itu keberpihakan pemerintah terhadap pangan non beras ini masih sangat kurang. Terbukti dengan pendanaan di Kementerian Pertanian yang lebih banyak diarahkan pada ketersediaan beras. Oleh karena itu, ke depan dia berharap pemerintahan yang baru mau kembali melakukan pemetaan kebijakan maupun pelaksanaan teknis dari isu pangan ini.
Pengurus Yayasan KEHATI, Setijati Sastrapradja program yang berkelanjutan menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan pangan. “Jika pemerintah yang sekarang sangat peduli, apakah pemerintah selanjutnya juga akan melakukan hal yang sama,” ujarnya.