Taman Nasional (TN) Baluran yang berada di wilayah Kabupaten Situbondo merupakan kawasan konservasi bagi berbagai satwa dan tumbuhan yang hidup di areal seluas 25.000 hektar.
Akan tetapi, TN yang dijuluki savana Afrika-nya Indonesia ini terancam keberadaannya dengan rencana pembangunan smelter atau pabrik pengolahan nikel oleh PT. Situbondo Metallindo.
Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TN Baluran, Joko Waluyo mengatakan pihaknya belum mengetahui detil kepastian pembangunan pabrik itu. “Itu kan HGU-nya (hak guna usaha) Pemda (Situbondo) ya. Kalau dari Pemda infonya untuk pabrik pengolahan nikel, tapi itu masih jauh prosesnya,” kata Joko.
Dia memastikan tidak ada wilayah taman nasional termasuk dekat pantai Pandean yang digunakan untuk membangun pabrik. “Kalau melewati kawasan harus ijin menteri, dan itu belum pasti. Kalau proyek itu dijalankan, yang pasti diluar kawasan taman nasional dan mereka akan membuat pagar. Kalau yang berdekatan langsung dengan taman nansional itu rencananya akan dipagar, ditutup. Kalau itu malah menguntungkan kita, karena itu biasanya jadi jalurnya orang luar yang masuk kawasan untuk mencuri atau berburu,” ujar Joko menerangkan.
Joko memastikan belum ada izin pemanfaatan kawasan milik taman nasional untuk proyek pembangunan pabrik pengolahan nikel. Sedangkan dampak bila ada pabrik itu bagi TN, hanya kebisingan aktivitas dan transportasi.
Sedangkan warga sekitar mengetahui rencana pembangunan pabrik nikel pada bulan Juni-Juli 2014, ketika mulai ada aktivitas pembukaan lahan seluas kurang lebih 400 hektar pada lahan yang banyak ditanami tanaman kapuk di sisi timur luar taman nasional, dan memotong sebagian wilayah TN di dekat pantai Pandean, di wilayah Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo.
Dari pantauan Mongabay-Indonesia, telah terdapat jalan penghubung selebar 6-8 meter yang dibuka oleh pihak perusahaan, dari timur melewati wilayah taman nasional dengan membabat pohon kapuk atau randu. Jalan yang masih dijumpai beberapa satwa seperti ayam hutan, burung merak, serta beberapa jenis burung lainnya termasuk elang.itu direncanakan sebagai jalan penghubung untuk inspeksi serta keluar masuknya kendaraan proyek pembangunan pabrik.
Sukadi, warga Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo mengatakan warga belum mengambil sikap atas rencana pembangunan pabrik, meski warga khawatir dampak buruknya terhadap lingkungan.
Sedangkan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Wonorejo, Heri Setiawan mengungkapkan, dirinya belum diajak bicara mengenai informasi rencana pembangunan itu.
Mencemari lingkungan
Sementara itu Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar mengatakan, kebijakan pemerintah mengenai hilirisasi industri pertambangan sarat masalah, karena tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penggalian tambang.
Keberadaan smelter menurutnya sangat rentan terhadap persoalan lingkungan, terkait limbah yang akan dihasilkan dan berpotensi mencemari lingkungan, sementara pemerintah belum menetapkan standarisasi pabrik smelter.
Jatam belum mendapatkan data lengkap, termasuk proses pengolahan nikel yang membutuhkan bahan kimia. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui resikonya. “Hingga hari ini masyarakat belum banyak yang mengetahui resiko adanya smelter, dan pemerintah tidak melakukan antisipasi terhadap resiko yang akan ditimbulkan.” Jelas Hendrik.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan, pembukaan lahan di kawasan konservasi merupakan pelanggaran undang-undang. “Kawasan konservasi jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang, artinya tidak boleh ada pembangunan apapun di kawasan konservasi maupun hutan lindung,” tegas Ony.
Dampak buruk pabrik smelter seperti kerusakan ekosistem laut yang jelas mempengaruhi nelayan, polusi udara bagi satwa dan tumbuhan di TN dan krisis air karena digunakan oleh pabrik. Oleha karena itu, Walhi Jatim mendesak pengkajian ulang rencana pembangunan pabrik itu.
Sementara itu Ketua Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia Rosek Nursahid menyatakan keberadaan pabrik akan mengubah ekosistem dan satwa TN, serta menjadi langkah awal dilakukannya eksploitasi taman nasional yang lebih besar lagi.
“Kita punya pengalaman buruk di taman nasional Kutai, ketika ada tambang di dalam taman nasional, maka itu menjadi hancur. Maka seharusnya di Baluran tidak boleh ada, dan kita mengecam keras kalau itu sampai ada,” katanya.
Pembangunan tembok pembatas juga akan berpengaruh terhadap terfragmentasinya habitat dan daerah jelajah satwa, serta mempermudah akses manusia masuk lebih dalam. “Karena kalau kita bicara ekosistem itu satu kesatuan,” tandas pendiri ProFauna itu.
Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan aksi menolak pembangunan pabrik smelter nikel di TN Baluran di depan kantor Gubernur Jawa Timur, di halaman Tugu Pahlawan Surabaya, pada Kamis (23/10/2014).
Juru Kampanye ProFauna Indonesia, Swasti Prawidya Mukti mengatakan limbah dari proses pemurnian nikel yaitu SO2 yang mengandung belerang. “Ketika zat ini menguap ke udara dan kontak dengan atmosfir kita, maka itu bisa memicu terjadinya hujan asam yang secara langsung akan mencemari tanah, air dan udara, tidak lama kemudian pasti akan merusak jaringan-jaringan tumbuhan,” terang Swasti.
ProFauna Indonesia juga menanyakan kelanjutan surat yang sudah dikirimkan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Timur, terkait keberatan dan penolakan rencana pembangunan smelter di dekat Taman Nasional Baluran. Surat Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur itu juga telah direspon dengan mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali pemberian ijin oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo. Namun hingga kini ProFauna belum memperoleh jawaban dari pihak Pemerintah Kabupaten Situbondo.
Sementara itu saat dihubungi oleh Mongabay-Indonesia, Sekretaris Daerah Kabupaten Situbondo Saifullah belum bersedia memberikan keterangan terkait penolakan rencana pembangunan smelter. Bahkan melalui pesan singkat, Saifullah belum memberikan jawaban atas keterangan yang diminta.
Anggota Tim Kajian Smelting Kementerian Kehutanan, Satyawan yang juga Dekan Fakultas Kehutanan Univeristas Gajah Mada, saat dihubungi mengungkapkan, bahwa pihaknya selaku tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan telah melakukan pemantauan dan pertemuan dengan pihak perusahaan.
Dari hasil yang dihimpun sementara oleh tim, pihaknya masih belum dapat menyimpulkan mengenai kesiapan perusahaan untuk membangun smelter, di lokasi yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran. Beberapa data yang dibutuhkan tim belum dapat dipenuhi oleh perusahaan hingga kini. Data-data itu, kata Satyawan, akan digunakan sebagai dasar kesimpulan serta rekomendasi pemberian ijin dari Kementerian Kehutanan.
Tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan terdiri dari beberapa pakar, selain Satyawan, juga ada Prof Tukirin dari LIPI, Prof Bismar dari Balitbang Kementerian Kehutanan, Direktorat Konservasi Kawasan dan Pelestarian Hutan Lindung, Legal PHKA, serta Kepala Taman Nasional Baluran. Dari pertemuan dengan perusahaan masih belum dapat diambil kesimpulan, meski keputusan pemberian ijin merupakan wewenang Kementerian Kehutanan.
Perusahaan Pembuka Lahan untuk Smelter
PT. Situbondo Metallindo awalnya berencana membangun pabrik peleburan bijih nikel laterit di Desa Lamongan, pada lahan bekas kebun tebu yang dibelinya. Selain itu perusahaan membeli lahan di Desa Agel dan Desa Pesanggrahan, Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo. Total lahan yang telah dibebaskan baru mencapai 25 hektar dari total kebutuhan 100 hektar, yang rencana pengerjaannya akan dimulai pada Juni 2013 lalu.
Perusahaan investor dari Cina itu akan berinvestasi senilai Rp 4 triliun dengan total produksi 243.600 ton ferronickel alloy per tahun. Bahan mentah nikel akan didatangkan dari pertambangan di Sulawesi Tenggara melalui Pelabuhan Jangkar. Rencananya, PT Situbondo akan membangun dermaga sendiri dan mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batu bara.
Namun demikian pendirian pabrik itu diduga belum memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB) maupun ijin gangguan (HO), baru menyelesaikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) pada pertengahan tahun lalu. Dari rencana semula, perusahaan belum mendapatkan seluruh kebutuhan lahannya dan keberadaan pabrik dinilai tidak sesuai dengan Perda Situbondo No 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah, dimana lokasi smelter seharusnya diperuntukkan untuk kawasan perikanan, pertanian dan perkebunan tebu.
Potensi Bahaya Nikel Secara Ekologi dan Kesehatan
Pada tanggal 12 Januari 2014, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden telah menetapkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 mengenai kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah sebagai bentuk realisasi dari Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba). Undang-undang ini beresensi agar semua bahan baku mineral seperti emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batubara mengalami proses nilai tambah sebelum diekspor.
Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas.
Ditilik dari segi lingkungan, ada beberapa efek negatif di balik keberadaan smelter. Pertama, smelter membutuhkan banyak sekali pasokan listrik dan batubara sebagai bahan bakar proses pengolahan. Proses smelting pun pada akhirnya akan menghasilkan konsentrat mineral, serta produk limbah padat berupa batuan dan gas buang SO2. Saat menguap ke udara, maka senyawa SO2 dapat menyebabkan hujan asam yang jika turun ke tanah akan meningkatkan derajat keasaman tanah dan sumber air sehingga membahayakan kelangsungan hidup vegetasi dan satwa.
Satu diantara contoh nyata dari kerusakan lingkungan yang disebabkan smelter adalah peristiwa yang terjadi di Norilsk, Rusia. Dulunya kota ini merupakan kompleks smelting logam berat terbesar di dunia. Dalam setahun lebih dari 4 juta ton cadmium, tembaga, timah, nikel, arsenik, selenium dan zinc terlepas ke udara. Kadar tembaga dan nikel di udara melebihi ambang batas yang diperbolehkan, dan sebagai akibatnya dalam radius 48 km dari smelter, tidak ada satu pohon pun yang bertahan hidup.
Pada manusia dan satwa, semua jenis senyawa nikel juga dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, pneumonia, emphysema, hiperplasia, dan fibrosis. Selain itu, percobaan laboratorium membuktikan bahwa senyawa nikel dapat menembus dinding plasenta pada mamalia sehingga dapat mempengaruhi perkembangan embrio dengan risiko kematian dan malformasi. Pada eksperimen berbeda yang dilakukan dengan cara menyuntikkan senyawa nikel pada organ-organ tubuh tertentu pada hewan percobaan, didapati munculnya sel-sel kanker akibat mutasi yang dialami oleh jaringan tubuh.