,

Tuan Guru Hasanain Juaini, Bung Karno dari Timur

Bila kita mengunjungi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2010, di sekitar Bandara Internasional Lombok (BIL)  yang waktu itu baru dibuka, dan di sepanjang jalan dari bandara hingga menjelang kota Mataram, terlihat begitu gersang dan hampa karena minimnya jumlah pepohonan. Tidak terlihat sama sekali Lombok sebagai salah satu lumbung padi nasional.

Kini kondisinya sangat berbeda.  BIL tak lagi terkesan gersang, dan ribuan pohon juga sudah terlihat membesar di sepanjang jalan menuju kota Mataram yang berjarak sekitar 40 km.

Perkembangan penghijauan yang begitu cepat dan massif tersebut  membuat banyak orang penasaran, karena pekerjaan besar ini tentu tak hanya membutuhkan  biaya yang tidak sedikit, akan tetapi juga komitmen lingkungan hidup yang kuat.

Ternyata jawabannya bisa ditemukan di sebuah tempat di Lombok Barat, tepatnya di Desa Leubak, sebuah desa yang dekat dengan Pura Narmada.  Dia adalah Tuan Guru (TG) Hasanain Juaini.   Istilah ‘tuan guru’ yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak adalah sebutan bagi seorang tokoh agama Islam yang dipandang menguasai berbagai ajaran agama dalam segala aspeknya. Dan sebutan yang disematkan padanya bukan tanpa alasan.

TG Hasanain adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain di Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB yang beliau dirikan sejak 18 tahun lalu. Di pesantren yang mengasuh 2500 santri inilah motivasi dan energi besarnya muncul untuk menjadikan pesantrennya sebagai aktor penggerak dalam upaya penghijauan kembali Pulau Lombok. Tiap tahun mereka menanam sekitar tiga juta pohon. Kini namanya harum berkat kegigihannya menghijaukan Pulau Lombok, dan membagikan jutaan bibit pohon secara gratis.

Sejak 9 tahun terakhir, Hasanain beserta ribuan santrinya dan didukung oleh masyarakat berhasil menghijaukan kembali 56 hektar lahan gundul di Pulau Lombok dan Sumbawa, termasuk 36 hektar lahan gundul dan gersang yang dia beli pada 2003 yang dia sulap menjadi kawasan konservasi hutan yang dinamai Desa Madani.

Selain itu, di pesantrennya dikembangkan pembibitan pohon dengan jumlah yang fantastis setiap tahunnya, yakni sekitar 1 juta hingga 1,5 juta bibit pohon yang semuanya dikerjakan sendiri oleh para santrinya. Seluruh bibit pohon tersebut dibagikan secara gratis kepada siapapun yang ingin menanamnya.

Pembibitan berbagai jenis pohon oleh santri Pondok Pesantren Nurul Haramain, Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Ponpes Nurul Haramain
Pembibitan berbagai jenis pohon oleh santri Pondok Pesantren Nurul Haramain, Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Ponpes Nurul Haramain

Bibit-bibit pohonnya sudah tertanam di berbagai pulau di Indonesia, bahkan hingga Thailand, Malaysia, China dan India.  Bibit pohon jenis jati,  mahoni, albasia, trembesi,  ketapang, tanjung, mimba, gamelina, nangka, mangga, hingga pepaya, cabai, dan semangka, semua dibagikannya gratis kepada siapa saja. Secara periodik dia mengumumkan di media massa bahwa bibit-bibit pohonnya sudah tersedia, dan bisa diambil segera. Bahkan sekali waktu dia membawa ribuan bibit pohon ke tempat hajatan pernikahan dan meminta panitia membagikannya kepada para tamu undangan.

Bagi Hasanain, menanam pohon adalah salah satu kewajiban dan tanggung jawab manusia. Apalagi kearifan terhadap lingkungan sudah diatur dalam Quran. “Kita sudah mendapatkan begitu banyak dari alam ini, maka kita harus tanya pada diri seberapa banyak yang kita berikan kepada alam,” ungkapnya.

Saat ini, dia berkeinginan untuk menanam ratusan ribu pohon asam di gurun pasir di Mekkah , seperti yang dilakukan Bung Karno yang menanam pohon seluas 225 hektar di padang Arafah (20 km dari pusat kota Mekkah). Baginya, kesadaran masyarakat untuk menanam pohon adalah salah satu rahmat terbesar.

Keberhasilannya bukan tanpa tantangan

Saat bertemu dengan tim Mongabay, dia bercerita mengenai betapa sulit menyakinkan warga sekitar tentang nilai ekonomi jika mereka mau melakukan penghijauan. Pemahaman agama, juga kultur Suku Sasak, tidak cukup untuk membuat warga sekitar pesantren mengikuti sarannya. “Saya terpaksa membawa kalkulator ke mana-mana,” kenangnya.

Pohon harus membawa manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat sekitarnya. Memahamkan masyarakat tentang arti penting pohon takkan bisa diterima masyarakat jika tidak dibarengi ‘iming-iming’ keuntungan ekonomis. Dan tantangannya tak hanya di situ. Bagi warga, gagasannya dianggap tidak masuk akal karena tanah yang akan mereka garap umumnya berpasir, tanpa hara, dengan keberadaan sumber air yang juga langka.

Pembibitan berbagai jenis pohon di Pondok Pesantren Nurul Haramain Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Ponpes Nurul Haramain
Pembibitan berbagai jenis pohon di Pondok Pesantren Nurul Haramain Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Ponpes Nurul Haramain

Kerja kerasnya meyakinkan masyarakat akhirnya membuahkan hasil.  Masyarakat pun mulai tergerak membantunya menanam ratusan ribu pohon dengan bibit yang disediakan oleh pesantren yang diasuh oleh Hasanain.

“Boleh dicek di Google Earth, sebelum dan sesudah penanaman. Kini Lombok jauh lebih hijau” katanya. Ia bosan dengan diskusi-diskusi, dengan teori-teori yang akhirnya berhenti di wacana saja. Selain berhasil membujuk masyarakat untuk aktif menanam pohon, pola keberhasilannya pun direplikasi oleh ratusan pesantren di NTB. Kini 500-an pesantren di Lombok dan Sumbawa telah terlibat langsung dalam gerakan pembibitan dan penanaman, dan puluhan pusat pembibitan pun telah tersebar di berbagai penjuru NTB.

“Sekarang warga yang mau menanam bahkan mengambil bibit sendiri ke pusat-pusat pembibitan. Dulu, bibit masih kami antar ke rumah mereka, dan mereka pun harus kami bayar agar mau menanam,” kenang Hasanain sambil tertawa.

“Kuncinya di pendekatan. Orang jangan sampai dilarang menebang pohon, karena manusia hidup pada dasarnya kan butuh pohon,” tuturnya. Menurutnya, orang boleh menebang pohon asalkan mau menanam lebih banyak daripada jumlah yang ditebangnya. “Kalau menebang satu, ya tanam 100” lanjut Hasanain.

Dia juga setuju hutan lindung tidak boleh diganggu. Kepada masyarakat perlu dijelaskan pohon mana yang boleh ditebang, mana yang tidak boleh. Sebagai contoh ia menyebut pohon asam. Pohon asam sulit untuk ditanam dan membutuhkan waktu lama untuk tumbuh. “Saya ingin agar mereka mencintai pohon asam, agar mereka tidak menebangnya. Selama ini pohon asam banyak ditebangi untuk membakar tembakau,” katanya.

Masyarakat kini mulai memanen pohon di lahan dan pekarangannya sendiri, sehingga hutan menjadi aman dari perambahan. Mahoni, jati, jati putih, sengon, ketapang, kenari, dan berbagai tanaman kayu kini pun banyak tumbuh di lahan-lahan warga yang dulunya lahan kosong dan gersang. Puluhan sumber air yang dulu punah kini juga bermunculan lagi, dan beberapa mata air debitnya membesar. Sistem tumpang sari yang dikembangkan kemudian juga memungkinkan masyarakat mendapat hasil dari tanaman-tanaman jangka pendek, bahkan mereka bisa berternak.

Meski upayanya sudah berhasil dan mendapat dukungan luas, Hasanain masih terus menanam pohon. Ia masih terlihat mencangkul bersama para santrinya hingga tengah malam. “Kami menanam pohon setiap hari. Tiada hari tanpa menanam. Kalau belum selesai akan terus kami lanjutkan, walau sampai malam hari,” katanya.

Bagi Hasanain, manusia diciptakan dengan memegang dua amanah  yakni  memelihara dan melestarikan alam, dan eribadah di atasnya.  “Dua-duanya harus berjalan, tidak bisa salah satu”.

Tuan Guru (TG) Hasanain Juaini, pendiri Pondok Pesantren Nurul Haramain, Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Jay Fajar
Tuan Guru (TG) Hasanain Juaini, pendiri Pondok Pesantren Nurul Haramain, Desa Lembuak, Lombok Barat, NTB. Foto : Jay Fajar

Hasanain juga sudah menghitung,  selama hidup, seorang manusia membutuhkan 172 pohon untuk mendukung hidupnya, yang digunakan seperti untuk membuat tempat tidur, lemari, meja, dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap orang selayaknya bertanggungjawab menanam setidaknya 172 pohon selama hidupnya.

Filosofi yang diikuti kerja kerasnya ternyata  direkam dan diakui oleh Ramon Magsaysay Foundation, yang kemudian menganugerahinya Ramon Magsasay Award tahun 2011, sebuah penghargaan prestisius  yang disebut-sebut sebagai Nobel-nya Asia.  Kini namanya sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Mochtar Lubis, atau Pramoedya Ananta Toer, yang juga pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay.  Semuanya adalah tokoh-tokoh yang membawa ide dan inspirasi besar bagi masyarakat luas.  Dan selayaknya, kita juga meniru apa yang telah mereka lakukan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,