Suara gemericik air dibelah motor air, terdengar samar. Suaranya kalah oleh bisingnya suara mesin Yamaha 20 PK. Suara ini pun menyebabkan burung bangau putih terbang dari rimbunan pohon bakau. Dari tepian sungai, terlihat banyak bekas serpihan kulit kayu. Tunggul-tunggul pohon yang tersembul di atas permukaan air pun tampak di sana sini. Di wilayah Desa Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, hal ini bukan pemandangan yang aneh.
Motor air yang kami tumpangi, disewa dari penduduk setempat. Kepala Desa Kubu, Ridwansyah, cukup menjadi panutan di kawasan tersebut. Dengan sekadar memberi pengganti uang bensin, perjalanan selama kurang lebih dua jam pun dimulai, awal Oktober lalu.
Di sejumlah tempat, terlihat tumpukan kayu yang telah disusun rapi diletakkan di pinggir-pinggir sungai. Kayu-kayu tersebut merupakan kayu bakau yang siap diangkut dengan kapal besar. Tidak jauh dari situ terlihat areal bekas tebangan yang terbuka lebar.
“Dulu rimbun, disini tak ada jalan masuk. Sekarang, disini perahu bisa masuk, untuk jalan ke tambak,” ujar Herman, penduduk Sungai Terus, Desa Kubu. Mata pencaharian utama masyarakat tersebut adalah petani dan nelayan. Jika musim angin ribut, dan nelayan susah melaut, mereka bertahan dengan menjual ikan asin. Terkadang, para nelayan menyusuri sungai untuk mencari ikan sungai.
Jika tangkapan banyak, bisa dijual untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. “Sekarang cari kepah dan ketam sudah susah. Sungai sudah ramai, hutan bakau pun berkurang,” tambahnya. Tak hanya itu, dengan ditebangnya Bakau, air asin masuk ke perigi atau sumur warga. Air asin juga mempengaruhi produktivitas tanaman pangan warga.
Di kawasan tersebut, sebuah perusahaan kertas telah berdiri. PT. Kandelia Alam mendapat hak untuk memanfaatkan lahan hutan mangrove seluas 18.130 hektar. “Yang digunakan hanya 11.021 hektar atau kalau kurun waktu 20 tahun, setiap tahunnya sekitar 500 hektar yang dieksploitasi,” kata Fairuz Mulia, Direktur PT. Kandelia Alam. Sedangkan sisanya untuk kawasan penyangga, kebun benih dan lainnya sekitar 4.242 hektar. Kawasan untuk tidak produksi, luasnya 2.253 hektar; non-hutan efektir 615 hektar. Fairuz mengatakan, jarak antara hutan mangrove yang akan ditebang dengan kawasan permukiman warga juga bervariasi kurang dari 1,5 kilometer.
**
Sudah bertahun-tahun warga Desa Kubu di Kalimantan Barat mengalami kesulitan akibat hutan bakau mereka ditebang untuk bahan baku bubur kertas. Kepiting atau ketam dan kepah yang menjadi sumber pendapatan warga semakin berkurang seiring makin luasnya hutan bakau yang dibabat. Sebenarnya, pembabatan bakau tak hanya dilakukan oleh perusahaan. Warga setempat juga menebang bakau untuk dijual kepada pengepul arang.
Jawa, sebagai salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia, memang sudah mengalami krisis arang sejak dua sampai tiga dekade terakhir. Harga arang tempurung kualitas baik, di Jawa saat ini sudah sekitar Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram. Tak heran arang dicari dari berbagai daerah di Indonesia. Arang kayu yang bernilai kalori setara arang tempurung adalah arang kayu bakau. Maka, arang dari kayu bakau merupakan komoditi instan bagi masyarakat setempat.
Fungsi ekologis mangrove, antara lain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, tempat pemijahan dan pembesaran serta mencari makan berbagai biota di perairan. Selain itu, mangrove juga berfungsi dalam menjaga keanekaragaman hayati habitat untuk beberapa jenis burung, reptil, amphibi dan mamalia.
“Ekosistem mangrove dapat melindungi terumbu karang, padang lamun dari gempuran sendimentasi daratan. Selain itu juga mengurangi erosi di daerah pesisir, akibat gelombang, angin dan ombak,” ujar Ian Hilman, dari WWF Kalimantan Barat.
Ian mengatakan, hutan bakau adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat mangrove berperan penting sebagai tempat berpijaknya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil.
Sebenarnya, ada sedikit perbedaan antara hutan bakau dan mangrove. Berbeda dengan bakau, tidak ada tumbuhan atau pohon yang bernama mangrove. Mangrove merupakan sekumpulan pohon dan semak yang tumbuh di daerah intertidal atau daerah pasang surut. Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang luar biasa. Mangrove sendiri dikelompokkan menjadi dua yaitu: sejati dan assosiasi. Mangrove sejati sendiri terdiri dari dua jenis yaitu mayor dan minor. Mangrove mayor memiliki 34 jenis dan mangrove minor ada 20 jenis.
Mangrove assosiasi adalah pohon yang mempunyai banyak kesamaan dengan bakau, maka mangrove pun digabungkan dalam kelompok bakau. Mangrove assosiasi memiliki 60 jenis. Di Indonesia, ada beberapa mangrove sejati, seperti Family Rhizophoraceae, Family Sonneratiaceae, dan Family Avicenniaceae.
Ian mengatakan, bentang alam Kubu Raya, merupakan habitat beberapa hewan yang dilindungi. Antara lain, bekantan, pesut, lumba-lumba punggung bengkok, serta buaya sinyulong. Hewan-hewan ini akan semakin terancam populasinya, jika Mangrove ditebang. Namun belakangan, ancaman habitat ini tak hanya dari tambak dan perusahaan bubur kertas. WWF melansir perusahaan tambang pun ikut serta dalam pengrusakan tersebut.
Izin pusat
Kasus bermula dari masuknya PT. Kandelia Alam di wilayah kecamatan Kubu yang mendapatkan ijin untuk melakukan penebangan hutan bakau di kawasan tersebut. Perusahaan ini mendapatkan konsesi di wilayah Kelompok Hutan Sungai Radak Guntung, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Kelompok Hutan Sungai Radak Guntung adalah hutan mangrove yang masih terjaga kelestariannya. Sedikitnya ada delapan desa yang sangat bergantung pada keberadaan hutan bakau di kawasan tersebut, yakni Desa Kubu, Desa Dabong, Mengkalang, Sembuluk, Seruat II, dan Seruat III.
Warga merasa resah karena penebangan Bakau yang dilakukan PT. Kandelia Alam sudah mendekati daerah pemukiman penduduk khususnya Desa Kubu dan Desa Sui Terus. Di Desa Sui Terus, misalnya, wilayah penebangan sudah mendekati jarak 500 meter dari kawasan penduduk.
Kelompok Hutan Sungai Radak Guntung posisinya sangat strategis guna menahan laju intrupsi air laut karena hutan tersebut mengitari daerah pemukiman warga. Jika hutan tersebut habis maka air yang merembes bukan cuma akan dirasakan oleh masyarakat di Desa Kubu dan Desa Sungai Terus bahkan akan sampai ke Desa Nangka, Dabong, Desa Mengkalang, Olak-olak Kubu, Desa Seruat II dan Desa Seruat III, Desa Jangkang II.
Perusahaan ini pada tahun 2003 mendapatkan ijin dari Bupati Pontianak. Namun pada tahun 2004 Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa mengeluarkan SK pencabutan izin PT. Kandelia Alam dengan nomor SK.249/MENHUT-II/2004. Berisi tentang pembatalan keputusan Bupati Pontianak nomor 130.a tahun 2003 tanggal 28 mei 2003 tentang pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi alam kepada PT. Kandelia Alam di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Baru tiga tahun SK pencabutan hak kelola PT Kandelia Alam diljalankan kemudian pada Agustus 2007 dikeluarkannya KA-AMDAL Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam Mangrove Kelompok Hutan Sungai Radak dan Sungai Sepada di daerah Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Kubu dengan luas sekitar 16.254 hektar.
Luas hutan dalam KA-AMDAL sejalan dengan hasil Monitoring Progress Perkembangan Izin Lelang IUPHHK-HA Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam-Ditjen BPK (s/d Tgl. 31 Desember 2009) bahwa sebagai pemenang lelang yaitu PT. Kandelia Alam Nomor S.298/MENHUT-VI/2007 Tgl 05 Juli 2007 dengan luas 16.254 hektar di lokasi Kelompok Hutan Sungai Radak-Sungai Sepada Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.
Namun, dalam daftar IUPHK sampai dengan mei 2010 sesuai dengan SK Menhut Nomor 249/MENHUT-II/2008 Tgl 24 Juni 2008 luas hutan yang menjadi hak kelola PT. Kandelia Alam menjadi 18.130 Ha.
Tahun 2008, Menteri Kehutanan berikutnya, MS Ka’ban memberikan ijin pada PT. Kandelia Alam. Nomor SK yang dikeluarkan yaitu SK.249/MENHUT-II/2008 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam kepada PT. Kandelia Alam atas Areal Hutan Produksi Seluas + 18.130 (Delapan Belas Ribu Seratus Tiga Puluh) hektar di Provinsi Kalimantan Barat.
Aktivitas perusahaan dimulai pada 2009 dengan membuat kanal-kanal dan kemudian melakukan aktivitas penebangan. Perusahaan melakukan penebangan secara besar-besaran di sejumlah wilayah. Ini membuat konflik dengan warga sekitar. Warga beramai-ramai mendatangi camp pekerja untuk melakukan penolakan. Warga kemudian membakar camp pekerja.
Pada 2011 tercatat pada Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang diterbitkan Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat terdapat 3 petak, salah satu petak yang menimbulkan polemik di masyarakat adalah di petak 13 dan petak 16 karena masuk di wilayah Sungai Radak Kiri.
Berdasarkan peta dari PT. Kandelia Alam ada 33 petak yang berada di Sungai Radak Kiri. Wilayah ini tergolong hutan perawan dan tetap akan dipertahankan oleh masyarakat. Kawasan hutan ini jaraknya tidak begitu jauh dengan pemukiman warga di Dusun Tokkaya Desa Kubu dan Desa Sungai Terus. Jarak lokasi penebangan PT. Kandelia Alam dari Dusun Tokkaya Desa Kubu sekitar 1.500 m dan dari Desa Sungai Terus bervariasi paling jauh sekitar 700 m, sekitar 400 m dan paling dekat sekitar 200 m.
Herman, warga setempat mempertanyakan pemberian ijin perusahaan oleh pemerintah tanpa kajian yang mendalam. Pemerintah dinilai sembarangan dalam proses pemberian ijin, misalnya ijin analisis dampak lingkungan atau Amdal yang tidak dilakukan. “Dampaknya, banyak persoalan yang ditimbulkan dengan warga,” katanya. Untuk itu, dia meminta pemerintah agar mengevaluasi izin perusahaan tersebut.
Lain halnya dengan, Muhammad Sood, warga desa yang memandu mengatakan penebangan kayu bakau tersebut telah mendekati permukiman warga. “Sebagian besar warga desa Kubu bekerja sebagai pencari kepiting, udang, dan kepah di sekitar hutan bakau. Namun seiring makin luasnya lahan bakau yang ditebang, makin sedikit pula hasil tangkapan warga,” ujar Sood.
Sood menambahkan, tadinya penghasilan mencari kepah dan kepiting bisa untuk menghidupi anak istri. Namun, sekarang kepah dan kepiting pun sulit dijumpai. Penghasilan pun menurun. Haryani, perempuan yang juga kerap mencari kepah dan kepiting untuk membantu penghasilan suami, merasakan hal yang sama. “Sejak bakau ditebang, banyak sekali kepiting, udang dan ikan yang mati. Paling tidak dulu bisa dapat Rp60 hingga Rp50 ribu per hari. Sekarang Rp20 ribu rupiah per hari pun susah. Bagi kami jumlahnya besar. Uangnya dikumpulkan untuk sekolah anak,” katanya.
Haryani mengatakan, jika pohon bakau terus ditebang tidak akan bisa lagi memancing ikan dan udang. Sementara dirinya, tak bisa mencari kepah sebagai tambahan. Dia meminta belas kasihan pemerintah, agar menghentikan penebangan pohon bakau. Dia mengatakan, penggundulan hutan bakau pun sudah mendekati pemukiman warga. “Kalau Bapak tidak percaya ayo kita berkayuh, biar saya antarkan pake perahu. Kasihanlah pada kami ini. Mata pencarian kami. Anak mau sekolah, kan biayanya besar. Makin tahun makin besar kan biaya sekolah. Kasihanlah sama kami,” pintanya memelas.
Lina, warga lainnya juga menyatakan hal yang sama. Dia meminta agar penebangan dihentikan. “Kalau di luar (wilayah desa) sih kami tidak melarang. Tapi ini sudah semakin dekat masuk ke dalam, kemaren kan masih jauh,” katanya.
Sebelumnya, PT. Kandelia menyatakan bahwa kegiatan usahanya telah sesuai dengan peraturan yang ada. Salah seorang pimpinan perusahaan, Gunawan Priyanto mengatakan bahwa perusahaannya telah mengantongi ijin dari pemerintah. “Sebelum izin dikeluarkan, ada pengecekan. Terbukti areal perusahaan bukan di kawasan hutan lindung,” katanya.
PT. Kandelia Alam Pohon menebang pohon bakau untuk bahan baku industri pulp and paper. Permintaan kertas di dunia yang sangat tinggi membuat hutan bakau terus diburu untuk ditukar dengan uang. Dampak awal akibat fungsi hutan bakau yang telah dikonversi adalah banjir yang terjadi di Desa Kubu.
“Sejak hutan bakau ini ditebang, dikerjakan oleh perusahaan, kerap banjir besar. Misalnya di Sungai Terus itu, tadinya air tidak sampai, kini sudah sampai. Malah kenaikannya dari satu meter sampai dua meter. Jadi rumah-rumah, seperti di Parit Rimba itu banyak yang tenggelam,” paparnya.
Untuk penghijauan atau reboisasi hutan bakau yang rusak, Menteri Lingkungan Hidup sebenarnya telah mengeluarkan buku hijau tentang kebijaksanaan dan strategi nasional pengelolaan lingkungan hidup dalam PJPT II 1994/1995 – 2019/2020. Tujuannya untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi. “Kita harapkan, semangat pemerintahan baru era Jokowi, bisa komit pada aturan ini,” kata Ian.
Di tingkat lokal, pemerintah Kabupaten Kubu Raya akan mengkaji ulang Perda tentang Hutan Mangrove agar dalam penerapannya bisa dipatuhi oleh semua masyarakat dan para pelaku usaha. Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM Agus Supriadi, kepada ANTARA mengatakan, selama ini masih banyak pelaku usaha yang belum mau mematuhi Perda yang ada. “Bisa saja karena di dalam Perda itu belum ada sanksi yang memberatkan jika dilanggar, makanya harus kita kaji lagi,” katanya.