,

Advokasi Lingkungan Para Musisi Lewat Eco Defender

Sebuah toko merchandise baru berdiri di antara keriuhan Jalan Teuku Umar Denpasar, Bali. Toko ini cabang Rumble, milik musisi I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Ini cabang kelima Rumble. Berdiri pertama di Kuta, pada tahun 2010, cabang Rumble antara lain di Ubud, Batubulan, dan Yogyakarta.

RMBL, nama merek Rumble, menjadi salah satu produk fashion terkenal di kalangan anak muda Bali. Tak hanya produsen fashion, Rumble menyasar kepedulian anak-anak muda pada isu lingkungan. Bersama organisasi advokasi lingkungan terkemuka Walhi Bali, Rumble menyebar kepedulian melalui kelompok musik Eco Defender.

Cerita Adi, ide Eco Defender dari diskusi antara dia dengan dua musisi lain, Prima Yudhistira vokalis band metal Geeksmile dan Jerinx, drummer band punk Superman is Dead (SID). Mereka ingin terlibat lebih banyak pada isu-isu sosial di Bali melalui musik.

Dari situ muncul nama Eco Defender. Jerinx mengatakan, Eco Defender lahir untuk memadukan antara fashion dengan perlawanan (rebel). “Banyak anak muda ingin terlihat rebel melalui pakaian. Mereka justru tidak tahu bagaimana menyalurkan perlawanan di dunia nyata. Kami ingin menjembatani,” kata Jerinx.

I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Dua pemilik Rumble, yang mendedikasikan diri pada gerakan-gerakan lingkungan. Foto: Anton Muhajir
I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Dua pemilik Rumble, yang mendedikasikan diri pada gerakan-gerakan lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Salah satu kampanye sosial itu adalah Siu Ajak Liu, urunan Rp1.000 berkala membantu murid-murid kurang mampu. Setiap Rp1.000 dari pembelian pakaian disumbangkan ke anak-anak tidak mampu. Dalam perjalanan, kata Jerinx, isu lingkungan di Bali sedang urgen. “Lingkungan Bali mengalami eksploitasi karena pariwisata berlebihan.”

Sejak itulah, Rumble menggandeng mitra tetap, Walhi Bali. Alasannya, Walhi berjuang langsung dalam isu advokasi lingkungan. “Mereka tidak main aman. Mereka melawan langsung di lapangan membela lingkungan.”

Meskipun berganti mitra, pola penggalangan dukungan Eco Defender tetap sama. Mereka menyisihkan pendapatan setiap pembelian barang-barang di Rumble.

Produk-produk fashion ini beragam. Ada jeket, celana pendek, baju, kaos kaki, topi, kaca mata, hingga minyak rambut (pomade). Harga produk bervariasi. Satu baju Rp300.000. Kaca mata Rp 700.000. Pomade Rp 150.000 per kaleng.

Besaran  uang yang disumbangkan Rp4.000 untuk tiap pomade dan Rp2.000 baju. Sebulan, Eco Defender menyumbangkan Rp1 juta-Rp2 juta kepada Walhi Bali.

Eco Defender, dalam salah satu konser buat lingkungan. Foto: Anton Muhajir
Eco Defender, dalam salah satu konser buat lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Bentuk penggalangan dana juga melalui konser-konser para musisi. Akhir Agustus, misal, ada konser para musisi punk dan indie Bali. Seluruh hasil disumbangkan gerakan lingkungan.

Bagi Walhi Bali, sumbangan ini sangat berpengaruh terhadap gerakan. “Kami bisa mendapatkan suntikan logistik untuk advokasi-advokasi lingkungan,” kata Suriadi Darmoko, direktur Walhi Bali.

Selama ini, Walhi bergerak dengan keterbatasan. Sumber dana hanya sumbangan individu maksimal Rp300.000 per orang dan Walhi Nasional. Dengan sumber daya terbatas, mereka harus kerja advokasi intensif dan berkelanjutan.

“Hal terpenting dari dukungan Eco Defender ini untuk membantah tuduhan Walhi Bali ditunggangi pihak tertentu dalam advokasi,” kata Moko.

Walhi merupakan organisasi advokasi lingkungan terkemuka di Bali. Mereka paling bersuara keras jika ada rencana pembangunan rentan mengeksploitasi. Misal, privatisasi taman hutan rakyat (Tahura) Ngurah Rai atau reklamasi Teluk Benoa.

Walhi Bali kadang dituding ditunggangi kepentingan politik atau bisnis kelompok lain. “Eco Defender membuktikan Walhi Bali bisa didukung pendanaan dari publik secara terbuka.” Rumble rutin menyerahkan sumbangan Eco Defender kepada Walhi.

Eco Defender tak melulu uang dan  lingkungan. Menurut Jerinx, penggalangan solidaritas advokasi lingkungan juga mengarusutamakan isu lingkungan di kalangan anak-anak muda.

“Kita bisa melihat sekarang bagaimana anak-anak muda Bali merasa peduli lingkungan itu keren. Lihat anak-anak muda ikut aksi tolak reklamasi. Mereka itu anak-anak muda yang ingin tampil keren dengan pakaian juga ingin melawan.”

Isu Eco Defender bisa lebih luas, tentang kemanusiaan. Juli lalu, misal, Eco Defender membuat konser kemanusiaan bertema Love for Gaza. Pengisinya SID, Bintang, Nymphea, dan band-band lokal lain. Tiap pengunjung konser membayar tiket Rp20.000. Seluruh hasil penjualan tiket untuk anak-anak Palestina korban serangan Israel.

Melalui musik, Eco Defender melintas batas isu dan agama. Mereka tak hanya menjual pakaian juga mengajarkan peduli lingkungan dan kemanusiaan.

Kaos Eco Defender. Dari hasil penjualan kaos ini juga disisihkan buat advokasi lingkungan. Foto: Anton Muhajir
Kaos Eco Defender. Dari hasil penjualan kaos ini juga disisihkan buat advokasi lingkungan. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,