, , ,

Geothermal Chevron Ceremai Khawatir Sengsarakan Warga

Masyarakat sekitar Lereng Ceremai khawatir kehadiran geothermal Chevron, malah merugikan mereka. Mengapa? Kini, hasil pertanian masyarakat Lereng Ceremai, cukup besar. Bahkan, hasil tani warga jauh lebih besar dari potensi pendapatan daerah yang digembar-gemborkan jika ada Chevron. Sisi lain, warga juga kesulitan akses setelah Ceremai menjadi taman nasional dan beberapa desa mengalami kesulitan air kala kemarau. Kondisi ini, bisa menjadi lebih buruk kala perusahaan hadir.

Demikian hasil penelitian untuk mengetahui dampak sosial dan ekonomi warga sekitar Lereng Ceremai yang dilakukan Fuad Faizi dan Ahmad Satori dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Fuad Faizi, pengajar jurusan Pengembangan Masyarakat Islam  (PMI) IAIN Syekh Nurjati mengatakan, dari penelitian mereka menemukan banyak hal terutama soal potensi dari tiap desa yang sumber kehidupan utama adalah air dan tanah. “Ini akan terasa sekali ketika Chevron benar-benar melangsungkan proyek di Ceremai,” katanya dalam dialog di Cigugur Kuningan, pertengahan Oktober 2015.

Penelitian dilakukan tiga bulan lalu dengan melibatkan 50 mahasiswa PMI IAIN Syekh Nurjati.  Ada tujuh desa diteliti antara lain, Pajambon, Sukamukti, Gandasoli, Linggasana, Puncak, Cisantana dan Sagarahiang.

Desa pertama diteliti Pajambon, paling barat di Kecamatan Karyamulya, Kuningan. Di Pejambon mayoritas warga petani jambu.  Para petani tergantung sistem tengkulak yang menjadi alur produksi. Petani membeli bibit dan pupuk dari tengkulak.

Di sana,  panen bisa tiap hari 20 ton. Tengkulak membeli Rp2.000per kg, hasil Rp1,2 miliar per bulan atau Rp14,5 miliar setahun. “Ini memakai sistem tengkulak. Jika tidak, penghasilan bisa naik tajam. Harga di pasaran Rp4.000per kg. Setahun bisa Rp28 miliar. Bayangkan, ini baru satu desa!”

Selama ini, Chevron menggembor-gembor, kala geothermal beroperasi,  pemerintah daerah akan mendapatkan pemasukan Rp24 miliar per tahun. Namun, dari potensi satu Desa Pajambon saja, nilai itu jauh kalah.

Geothermal Chevron belum beroperasi, tetapi masyarakat Pajambon, sudah merasakan krisis air. Selama, musim kemarau dari Juni-November masyarakat kesulitan air untuk perkebunan dan pertanian mereka.

“Debit air jelas berkurang. Sekarang, di musim kemarau sulit air, apalagi jika geothermal beroperasi. Pajambon ini mengandalkan mata air dari Curug  Cilengkrang, salah satu titik pengeboran geothermal di dekat situ.”

Dulu warga Pajambon dan sekitar lereng bisa bebas mengakses Curug Cilengkrang. Sejak menjadi taman nasional, akses masyarakat sangat terbatas.

Di Pajambon juga ada program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas). Ini kebijakan pemerintah pusat kepada daerah lewat pembangunan air minum dan sanitasi guna mendukung pengembangan kawasan pemukiman berkelanjutan. Pamsimas, program kerjasama Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Ia juga ada di Sukamukti dan Gandasoli.

“Pamsima itu  seperti PDAM dikelola desa. Ini membuat masyarakat terbatas mendapatkan air.  Ada pipanisasi dan masyarakat harus membayar. Dulu, air mengalir bebas ke  rumah warga dengan sistem tuk air,” katanya.

Tuk air merupakan sistem pengelolaan air swadaya, ada sejak lama. Ia berfungsi memenuhi kebutuhan air warga di pemukiman seperti kebutuhan rumah tangga, mandi dan kolam ikan. Untuk pertanian menggunakan pengairan persawahan dari sumber mata air sama.

“Ada kecurigaan masyarakat Pamsimas upaya kepentingan eksplorasi geothermal. Jadi biar masyarakat tidak mengambil air terlalu banyak hingga bisa untuk geothermal. Ketika nanti terjadi penurunan debit air, masyarakat tidak sadar. Karena sudah dengan sistem itu.”

Desa lain yang diteliti, Sukamukti. Di desa ini ada beberapa situs keramat. Antara lain, Makam Wali ke-23 Syekh Abdurrahman , Makam Panjang, Situ Balong Dalem , Nangka Bongkok dan Nangka Emas. Di desa itu terdapat beberapa mata air: Cilengkrang,  Abrul, Cimanceng dan Awang Qori.

“Warga sangat tergantung hasil sayuran dan padi. Juga peternakan kambing dan budidaya ikan.”

Hasil pertanian di Sukamukti antara lain, padi luas 75 hektar (367,5 ton per tahun), ubi jalar 30 hektar (840 ton), jagung lima hektar (21 ton), bawang daun 20 hektar ( 420 ton),  dan cabai rawit satu hektar (21 ton). Lalu, tomat 14 hektar (490 ton), sawi hijau 25 hektar (350 ton), seledri 16 hektar (224 ton), wortel tiga hektar (84 ton), buncis 11 hektar (154 ton) dan tanaman lain empat hektar (54 ton).

“Jika dikalkulasi, pendapatan pertanian di Sukamukti satu tahun Rp9,85 miliar.”

Pendapatan warga, katanya, belum termasuk ternak kambing. Di desa itu,  ada 350 peternak dengan 1.252 kambing. Pertanian dan peternakan sangat membutuhkan air.  Jika satu kambing jantan Rp2 juta per ekor dan betina Rp1 juta pendapatan warga mencapai Rp2,45 miliar.

“Apa jadinya jika air tercemar?”

Penetapan Taman Nasional Gubung Ceremai juga  sangat merugikan masyarakat Sukamukti karena banyak babi turun ke pertanian warga dan merusak lahan. Sebelum menjadi TNGC, tak terjadi karena petani boleh masuk ke hutan dan bertani tumpang sari.

“Petani tak boleh masuk, tak boleh memburu babi. Chevron bisa masuk. Kecurigaan kita TNGC ini langkah memuluskan Chevron. Waktunya berdekatan. TNGC 2005. Izin Chevron 2011.”

Untuk penelitian di Desa Gandasoli, mayoritas warga berkebun ubi dan bergantung tengkulak. Koperasi petani ubi belum ada. Komoditas sayuran lain biasa ditanam itu tomat, selada, seledri, lobak, bawang daun, sawi, dan jagung.

Di Desa Sagarahiang ada beberapa mata air: Ciwarenda, Cilojok, Cideket, Cibodas, Cinyusu, Kawilega, Malubang dan Cibulu Kidul. Masyarakat mengandalkan hidup dari hasil pertanian.

Desa ini juga kesulitan air. Paling mencolok penetapan TNGC menyebabkan 56 petani kehilangan lahan. Tak bisa lagi bertani dan mereka menjadi buruh.

Mengapa Chevron mengancam pasokan air warga?

Menurut Fuad, cara kerja proyek ini menggunakan sistem fracking yang memerlukan lebih dari 1.000 tanki air sekali injeksi. Kondisi ini, mengakibatkan pasokan air warga dan pengairan sawah malah untuk geothermal. Selain itu, limbah penambangan bisa mencemari air sekitar.

Potensi biogas

Ahmad Satori mengatakan, sebenarnya potensi biogas kotoran sapi di Lereng Ciremai bisa menjadi listrik. Ini sesuai hasil penelitian. Potensi dua desa memiliki banyak peternak sapi perah, seperti Cisantana dan Puncak.

“Ada 3.000 sapi warga di Cisantana.”

Potensi biogas juga ada di Desa Puncak neski jumlah sapi tak sebanyak Cisantana. “Hanya 600 sapi dengan perkiraan kotoran sapi 5.400 ton per tahun.”

Di Puncak juga banyak  petani terusir karena penetapan TNGC, sekitar 60 orang atau 30-40 hektar. “Mereka jadi buruh tani.”  Hasil buah dan sayur di Puncak juga melimpah.

“Jika pemerintah bisa memaksimalkan potensi bisa jadi peluang. Daripada memaksakan geothermal lebih baik mengembangkan biogas kotoran sapi.”

Dia mengatakan, perjuangan menolak geothermal Chevron menjadi sangat berat ada UU Panas Bumi. Dia mendukung langkah uji materil UU ini. “Perjuangan harus dilanjutkan Ini bukan lagi masalah Kuningan, tapi Indonesia. Kuningan bisa menjadi motor gerakan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,