,

Demi Tata Kelola Hutan dan Gambut Lebih Baik, Riau Tanda Tangani Nota Kesepahaman REDD+

Sungguh enak si mangga udang
Pohonnya tinggi buahnya jarang
Janganlah rusak hutan dan alam
Alamat kita kering kerontang

Sepenggal bait pantun itu, dibacakan Arsyadjuliandi Rachman, Pelaksana Tugas Gubernur Provinsi Riau, kala memberikan sambutannya sebelum menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengelola REDD+ di Jakarta, Rabu (29/10/2014).

Arsyadjuliandi tampak yakin, bila penandatanganan ini akan membuat tata kelola hutan dan gambut di wilayahnya, Riau, jadi lebih baik sebagaimana makna REDD+ itu sendiri: Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation atau mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut.

Terlebih, tanda plus (+) di ujung REDD memiliki tujuan lebih pula yaitu  memelihara dan meningkatkan cadangan karbon melalui konservasi hutan. Serta, memberikan manfaat terhadap peningkatan jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat.

Sebagai provinsi ke tujuh yang menandatangani nota kesepahaman – sebelumnya Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan – Riau pun melangkah optimis.

Bekal apa yang dipersiapkan Riau? Arsyadjuliandi mengatakan bahwa Riau dalam rencana aksinya nanti akan membentuk lebaga khusus ataupun akan memperkuat lembaga yang telah ada guna mengawal pelaksanaan REDD+. Aspek yang akan diperhatikan adalah mengukur Reference Emission Level (REL) serta mengaplikasikan mekanisme Monitoring, Reporting & Verification (MRV) agar pelaksanaan REDD+ terpantau baik. “Apa yang direncanakan dalam dokumen strategi dan rencana aksi Provinsi Riau dapat diimplementasikan guna penyelamatan lingkungan dan perubahan iklim.”

Meski begitu, Arsyadjuliandi pun mengakui bahwa belum mantapnya kelembagaan REDD+ yang  taat asas di Riau saat ini serta kurangnya partisipasi para pihak terkait efektivitas pengurangan emisi merupakan kendala yang harus dihadapi. “Permasalahan lainnya adalah belum terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan yang baik dan belum mantapnya penataan kawasan hutan akibat belum tuntasnya tata ruang Provinsi Riau,” ujarnya.

Lalu, bagaima dengan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di Riau? Arsyadjuliandi pun menjelaskan bahwa Pemerintah Riau telah melakukan upaya penanganan yang serius. Misalnya, dengan membuat prosedur pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sosialisasi ke masyarakat, pembinaan pembukaan lahan tanpa bakar, pembentukan dan pengenalan masyarakat peduli api, pengendalian dan penataan tinggi permukaan air gambut, serta pengangkatan petugas peduli api lima orang di setiap desa.

Melalui nota kesepahaman diharapkan Badan Pengelola REDD+ dapat membantu Riau dalam mengendalikan dan mengatasi deforestasi dan degradasi hutan. “Khususnya penataan ruang serta kebakaran hutan dan lahan, sehingga peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Riau dapat terwujud,” ungkap Arsyadjuliandi yang mengaku berat bila Riau melakukan tugas itu sendiri.

Melalui pelatihan Karhutla Monitoring System (KMS), sejumlah titik panas yang ada beserta sajian anlisanya akan terpantau langsung. Foto: Rahmadi Rahmad
Melalui Karhutla Monitoring System (KMS), sejumlah titik panas yang ada beserta sajian analisanya akan terpantau langsung. Foto: Rahmadi Rahmad

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+, pun menjelaskan bahwa BP REDD+ bersama Pemerintah Riau telah melakukan berbagai kegiatan strategis berbasis masyarakat, terkait pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Menurut Heru, kegiatan tersebut mulai dari pelatihan Karhutla Monitoring System (KMS) yang meliputi aspek manusia, proses, dan teknologi terbaru guna memastikan sistem bekerja dengan baik di lapangan. Teknologi ini memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi yang mampu mendeteksi sejumlah titik panas beserta sajian analisanya yang dapat digunakan dalam upaya penegakan hukum.

Ada juga audit karhutla, kuliah kerja nyata (KKN) tematik terkait kabakaran hutan, serta citizen journalism yaitu laporan warga melalui pesan singkat terkait karhutla yang terjadi yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh BP REDD+. “Riau mendapat pujian dari Wakil Presiden Boediono, sewaktu menjabat, terhadap keberhasilan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan, saat rapat koordinasi kebakaran hutan dan lahan di Palembang, 23 September 2014.”

Heru menambahkan, pendekatan kepada sejumlah organisasi kemasyarakatan di Riau juga telah dilakukan melalui inisiatif “Eyes on the Forest.” Kegiatan ini meliputi pemantauan dan audit terhadap kepatuhan pemerintah daerah dan perusahaan swasta di Riau dalam melaksanakan tanggung jawab mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

William Sabandar, Deputi Bidang Operasional BP REDD+, terkait audit kepatuhan, dalam laporan pembukanya menyampaikan bahwa Riau merupakan provinsi pertama yang diaudit. Ini dikarenakan 93,6 persen dari 12.541 titik panas pada periode 2 Januari hingga 13 Maret 2014 berada di lahan gambut Riau. Fakta ini, selain membuat kerugian ekonomi tentunya menuntut adanya aksi pencegahan kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.

Audit dilaksanakan pada 1 Juli hingga 25 Agustus 2014 terhadap 6 pemerintah kabupaten/kota dan 17 perusahaan swasta yang terbagi atas perusahaan perkebunan dan kehutanan. Audit ini telah diumumkan 10 Oktober 2014.

Hasil audit menunjukkan bahwa 5 perusahaan perkebunan tergolong tidak patuh. Sementara, dari 12 perusahaan kehutanan yang diaudit menunjukkan 1 perusahaan sangat tidak patuh, 10 perusahaan tidak patuh, dan 1 perusahaan kurang patuh. Sedangkan audit terhadap 6 pemerintah kabupaten/kota menunjukkan 1 kabupaten patuh, 1 kabupaten cukup patuh, dan 4 kabupaten kurang patuh.

Tim gabungan nasional audit kepatuhan ini terdiri dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup (sekarang Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup digabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), BP REDD+, UKP4, para ahli, dan asisten teknis. Untuk Riau, tim gabungan dipimpin oleh Prof. Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan IPB.

Menyinggung pertanyaan audit kepatuhan yang tengah dilakukan di Kalimantan Tengah, Heru menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan diumumkan. “Saat ini sedang dipersiapkan segalanya,” katanya.

Foto lahan gambut di desa Selingsing, Riau yang terbakar (Maret 2014). Di bulan Juni 95 persen titik api Sumatera berada di Riau. Foto: Zamzami

Target 11 provinsi

Tahun 2014, BP REDD+ menargetkan 11 provinsi akan menandatangani nota kesepahaman ini. Empat provinsi yang belum, namun sudah dalam progres yang menggembirakan adalah Aceh, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat. “Kami optimis, akan tercapai hingga akhir tahun ini,” tutur Heru.

Heru menjelaskan bahwa REDD+ memiliki pendekatan kewilayahan untuk setiap provinsi. Yaitu, pendekatan nasional kala REDD+ diimplementasikan dan diadministrasikan diukur melalui unit kerja di pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten yang tentunya disesuaikan dengan kinerja REDD+ yang diterapkan di level nasional. Artinya, daerah akan diberikan kesempatan lebih besar dalam mekanisme kerja ini yang tentu saja sejalan dengan kebijakan desentralisasi. “Bisa jadi, prioritas setiap provinsi akan berbeda, nantinya.”

Untuk itu, keterlibatan dan kolaborasi berbagai pihak guna menuju tata kelola hutan dan lahan yang lebih baik harus dilakukan. “Karena, inilah paradigma  REDD+ yang harus kita bangun,” tutur Heru.

Siapkah Riau? Bagaimana dengan provinsi lain?

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,