BP REDD+ akan melakukan audit kepatuhan lingkungan hidup terhadap sejumlah perusahaan di Sumatera Selatan. Ini terkait dengan bencana kebakaran hutan dan lahan gambut, yang menyebabkan bencana asap beberapa waktu lalu. Namun, apakah standar kepatuhan lingkungan hidup tersebut akan sama antara lahan gambut dan lahan kering?
Sudah seharusnya tidak sama karena karakter lahan gambut sangat berbeda dibandingkan lahan kering. Kompleksitas kebakaran di lahan kering dan lahan gambut berbeda. Biomassa yang terbakar di lahan kering hanya terdapat di atas permukaan tanah, sedangkan di lahan gambut berada di atas dan di bawah permukaan.
“Kondisi ini menyebabkan pemadaman kebakaran di lahan gambut memerlukan upaya yang lebih besar dan hanya hujan yang besar yang akan mampu memadamkan api dan bara di lahan gambut,” kata Dr. Sabaruddin, Ketua Pokja Gambut Sumatera Selatan, Kamis (30/10/2014).
Oleh karena itu, saat mengaudit kepatuhan lingkungan hidup terhadap perusahaan yang berada di lahan gambut, bukan sebatas mengukur dengan standar teknis, seperti adakah alat pemukul api, garu, mesin penyemprot air, tim pemadam kebakaran, maupun tower pemantau kebakaran.
Yang paling utama adalah cara perusahaan mencegah terjadinya kebakaran. Misalnya bagaimana soal tata kelola air. Sebab tingkat kekeringan lahan gambut sangat bergantung pada penataan air. “Kalau penataan air buruk, maka gambut akan lebih gampang terbakar, sehingga sulit dipadamkan,” katanya.
Terkait dengan penataan air ini, perusahaan harus dicek adakah peta kontur tanah, peta design kanal, keberadaan pintu air, pengukur status air di lahan.
Selanjutnya adakah program pembinaan terhadap masyarakat sekitar perusahaan. “Tujuannya agar masyarakat tidak melakukan aktivitas pertanian atau perkebunan tanpa melakukan pembakaran lahan.”
Pada posisi ini diperlukan peranan pemerintah yang mendorong pembinaan tersebut. Selanjutnya, pemerintah melakukan pencegahan kebakaran sejak dini terhadap perusahaan maupun masyarakat. Misalnya, pada tahun ini sudah tahu akan adanya El Nino, sehingga sejak dini pemerintah, perusahaan dan masyarakat mengantisipasi kebakaran lahan. “Setahu saya sejumlah organisasi lingkungan hidup maupun media massa sudah mengingatkannya sejak awal soal ancaman kebakaran hutan tersebut,” katanya.
“Tindakan preventif tersebut jauh lebih penting dalam mengatasi adanya kebakaran lahan gambut,” kata akademisi dari Universitas Sriwijaya ini.
Terkait kuratif, setiap perusahaan memang harus memiliki sumber daya manusia (SDM) pemadam kebakaran yang didukung infrastrukturnya. Misalnya peralatan pemadam kebakaran dini, tower pemantau api, termasuk helikopter.
“Kalau mau jujur, upaya pemadam kebakaran di lahan gambut itu memang sulit diatasi kalau sudah terbakar. Helikopter sepuluh pun masih sulit memadamkan apinya. Hanya hujan berhari-hari yang dapat memadamkannya. Sementara, alat berat di darat tidak dapat dilakukan, seperti di lahan kering. Upaya yang paling tepat yakni preventif tadi,” katanya.
Kalau perusahaan menilai biaya preventif sangat merugikan itu salah. “Sebab biaya tersebut dapat dinilai sebagai investasi penjagaan aset dalam jangka panjang. Kalau sudah terbakar, mereka sendiri yang rugi, termasuk pula masyarakat luas akibat dampak kabut asap dan pelepasan.”
Sebelumnya, kepada wartawan di Palembang, Selasa (28/10/2014), Deputi Bidang Operasional REDD+, William Sabandar mengatakan bersama pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan melakukan audit kepatuhan lingkungan hidup terhadap 5-10 perusahaan terkait dengan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Sementara Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Sigit Wibowo menjelaskan luas hutan dan lahan yang terbakar pada 2014 ini sekitar 10 ribu hektar. Sekitar 3 ribu hektar berada di hutan produksi.
Dana pemadaman dialihkan ke pencegahan
Sabarudin mengatakan, sebaiknya pemerintah ke depan mengalihkan dana pemadaman kebakaran untuk dana upaya pencegahan kebakaran. “Dana puluhan miliar yang dikeluarkan dalam beberapa bulan itu mungkin dapat dijadikan biaya pendidikan atau pemberdayaan bagi masyarakat di sekitar hutan dan lahan gambut. Jika masyarakat diberdayakan, saya pikir kebakaran hutan dan lahan akan dapat diminimalisir. Kalau sekarang kan, hutan dan lahan sudah terbakar, dana tetap habis. Hasilnya hanya mencegah yang lebih luas,” katanya.
Begitu juga terhadap perusahaan. “Menurut saya perusahaan harus menginvestasikan dananya untuk upaya pencegahan kebakaran. Upaya ini jauh lebih murah dibandingkan jika aset mereka habis terbakar. Belum lagi menghadapi tanggungjawab lainnya,” ujarnya.
BP REDD+ harus melibatkan NGO
Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, berharap saat melakukan audit kepatuhan lingkungan hidup, BP REDD+ bukan hanya bekerjasama dengan pemerintah, juga NGO atau organisasi yang selama ini peduli dengan lingkungan hidup.
“Ini gunanya di masa mendatang, NGO dapat turut mengontrol kinerja pemerintah, perusahaan, termasuk masyarakat, dalam mencegah dan mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumsel,” katanya.
“Pada akhirnya pula melahirkan kepercayaan semua pihak dalam membangun lingkungan hidup Indonesia yang lebih baik ke depan,” tambahnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio