,

Duh, Nasib Danau Matano, Ikan-ikan Endemik pun Terancam

Pada Agustus 2008, ahli Limnologi LIPI Peter Hehanusa menulis laporan pendek di National Geographic Indonesia. Dia menulis kekhawatiran ketika mengunjungi Danau Matano di Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mulai terkepung pembalakan liar.

Dia menggambarkan, keunikan lima danau sebagai kompleks,  yakni Danau Malili–Matano, Mahalona, Masapi, Wawantoa dan Towuti. Panorama dikelilingi bukit-bukit terjal dengan puncak mencapai 1.200 meter. Di sana ada berbagai spesies endemik, seperti 32 jenis ikan, sembilan jenis udang air tawar, 87 jenis diatom, 26 jenis gastropoda, dan lima jenis kepiting air tawar.

Kini danau makin terancam, salah satu oleh pemukiman. Dengan kehadiran PT Vale,  gelombang pencari kerja, tak beraturan. Perusahaan membangun perumahan dengan konsep ramah lingkungan, rumah panggung dengan halaman luas, taman luas, pendingin udara, ditempatkan di Salonsa, Old Camp serta blok F. Namun, itu hanya bagi tenaga kerja terampil. Untuk pencari kerja kelas menengah dan buruh, mereka membangun rumah-rumah panggung sederhana di Pesisir Matano.

Rumah-rumah di tepian danau memiliki teras di daratan, badan hingga dapur menancap di permukaan air. Kepadatan rumah di pesisir berdampak buruk. Sampah dan air danau menjadi keruh. Air berwarna kecoklatan bahkan beberapa titik terlihat hitam. Di kolong-kolong rumah bertumpuk sampah plastik dan menyebar ketika ombak menghantam.

Rumah-rumah kini memenuhi tepian danau hingga menyebabkan danau tercemar. Dampaknya, warga makin sulit mendapatkan ikan di tepian hingga harus mencari ke tengah danau. Foto: Eko Rusdianto
Rumah-rumah kini memenuhi tepian danau hingga menyebabkan danau tercemar. Dampaknya, warga makin sulit mendapatkan ikan di tepian hingga harus mencari ke tengah danau. Foto: Eko Rusdianto

Saya bertemu Saenab (79) akhir Oktober 2014. Di rumah panggung nan sejuk, dia mengurai ingatan tentang Matano, tepat di hadapan kami. “Dulu tak ada rumah di depan (rumah) ini. Itu pasir semua. Saya selalu cari kerang, ikan dan udang di pinggir,” katanya.

“Sekarang untuk cari ikan, harus ke tengah danau. Sudah nda ada di pinggir. Apalagi kerang, nda ada semua. Sudah kotor. Apalagi mandi, jijik maki (sudah jijik).”

Dari Warna Limnologi LIPI menyebutkan, danau ini lahir sekitar empat juta tahun silam, karena pergeseran  sesar. Danau ini terdalam di Asia Tenggara, bisa mencapai 596 meter bahkan di beberapa titik 700 meter. Luas 16.408 hektar. Keunikan lain, Matano lebih rendah dari permukaan laut, merupakan gejala alam paling langka di dunia.

Salah satu jenis ikan khas Matano adalah purba butini (Glosogobius matanensis) dan opudi (Thelmaterina). Pada masa awal,  butini menjadi makanan utama penduduk. Ditangkap menggunakan jaring sederhana dan pancing di pesisir danau. Biasa dimasak dengan kuah santan atau dibakar.

Namun, itu masa lalu. Kini, mendapatkan butini perlu kesabaran. Dulu, kata Saenab, mendapatkan puluhan ekor hanya sekitar satu jam memancing di pinggiran. “Sekarang turun pukul 7.00 sampai 11.00 paling beberapa ekor.”

Louhan, salah satu ikan penghuni baru danau yang menguasai kawasan hingga butini dan spesies endemik lain makin terdesak. Foto: Eko Rusdianto
Louhan, salah satu ikan penghuni baru danau yang menguasai kawasan hingga butini dan spesies endemik lain makin terdesak. Foto: Eko Rusdianto

Ukuran ikanpun menciut. Bahkan ada berbentuk aneh,  kadang kepala lebih besar dari badan. “Sekarang butini paling besar seperti lengan kamu (diameter 15 sentimeter), dulu ada sebesar betis,” kata Nurtolu, ketua Kerukunan Wawoinia Asli Sorowako (KWAS) atau kerukunan warga asli Sorowako. Dia hampir berusia 70 tahun.

Introduksi ikan asing

Menjelang 2000, penduduk budidaya ikan memaksimalkan kolong-kolong rumah di permukaan air. Membentangkan jaring dan mengikuti kontur tiang rumah. Namun,  kini warga beramai-ramai membuat karamba jaring apung. Beberapa jenis ikan untuk kepentingan dilepas, seperti mas dan nila.

Menurut Nurtolu, ikan di Matano masa lalu tidak begitu banyak. Hanya beberapa seperti opudi, butini, mujair dan beberapa mas. Sekarang bertambah, ada lele, louhan bahkan sapu-sapu.

Tahun 2012, ketika saya bermukim di Sorowako, saat berenang di wisata Pantai Ide Matano, louhan bergerombol dan mengerumuni kaki. Ukuran sebesar telapak tangan orang dewasa.

Louhan rakus dan cepat berkembang biak. Kini, hampir menguasai pesisir atau perairan dangkal di Matano. “Dulu opudi dan butini ada di pinggir,  kini dengan ada louhan, butini makin ke perairan dalam.”

Nurtolu mengatakan, bagus jika butini dilindungi. “Kalau warga ingin menangkap, tentukan besaran, kecil jangan dimakan, tapi dilepas lagi. Saya setuju.”

Dalam Warta Limnologi LIPI tahun 2009, mengkhawatirkan menjaga ekosistem air penting. Kala 87 jenis ikan terancam punah di Indonesia, ada 66 spesies (75 persen) adalah ikan air tawar. Sebagian besar punah adalah ikan endemik.

Itulah menjadi keperihatinan kelompok pencinta alam di Sorowako. Awal 2014, mereka mengadakan lomba memancing dan menembak louhan. Puluhan orang berpartisipasi. Ratusan louhan tertangkap. Masih ribuan bahkan jutaan berenang di bawah permukaan, bermain di sela akar mangrove dan antara batuan.

Tepian Danau Matano yang masih 'aman' terlihat  rimbun dan indah. Foto: Eko Rusdianto
Tepian Danau Matano yang masih ‘aman’ terlihat rimbun dan indah. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,