,

Batubara Terus Digali, Warga Kukar Mulai Menggugat

Kado khusus diberikan Gerakan Kukar Menggugat terhadap Tenggarong yang merayakan ulang tahunnya ke-232 yang jatuh pada 28 September 2014 lalu. Kado berisikan batubara dan air yang diambil dari salah satu lubang bekas tambang batubara itu, diberikan melalui aksi teatrikal.

Bingkisan tersebut sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang diterima para petani Kukar. Penambangan batubara telah mencaplok lahan pertanian di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi di Kalimantan Timur.

Berdasarkan data Inspektorat Wilayah (Itwil) yang dilansir dari Koran Kaltim, sekitar 1.977 hektar lahan pertanian di Kukar beralih fungsi menjadi tambang batubara.

Jatam Kaltim mencatat sepanjang 2011-2014, ada 16 konflik antara perusahaan tambang batubara dengan warga. Beberapa kasus berupa perampasan lahan warga oleh perusahaan tambang batubara.

“Salah satu kasus yang kami perjuangkan adalah lahan 134 hektar milik dua kelompok tani di Muara Jawa yang sudah berlangsung sejak 2005 dan masih diperjuangkan hingga 2013. Namun, sampai saat belum diperoleh kejelasan hukum,” kata Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, yang juga salah satu inisiator Gerakan Kukar Menggugat, belum lama ini.

Pada aksi tersebut, Gerakan Kukar Menggugat menyampaikan beberapa tuntutan yang diantaranya adalah penyelesaian kasus perampasan lahan warga oleh korporasi dan keterbukaan informasi publik. Namun Bupati Rita Widyasari atau Wakilnya Ghufron Yusuf tidak dapat menemui para pengunjuk rasa karena dikabarkan tengah berada di luar negeri. Para pengunjuk rasa ini diterima salah satu staf Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk kemudian disampaikan kepada bupati.

Dalam kesempatan terpisah, Kabag Humas Setkab Kukar Dafid Haryanto membantah tudingan para pendemo yang mengatakan pemerintah Kukar atau Bupati Rita Widyasari berniat ingin membodohi atau menyengsarakan rakyat.  Dafid menyatakan pemerintah sangat komit dalam pembangunan yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat di Kukar.

”Beberapa tuntutan kelompok Gerakan Kukar Menggugat itu sebetulnya sudah ada yang ditindaklanjuti. Namun, belum terkomunikasikan dengan baik. Soal lahan warga Muara Jawa, sebenarnya sudah clear dan tidak ada permasalahan. Yang belum terkomunikasikan itu mungkin pada persoalan kebijakan publik,” kata Dafid.

Meskipun begitu, Dafid menyatakan, apa yang menjadi tuntutan para pendemo akan tetap ditampung dan ditindaklanjuti.”Kita bertindak tentunya sesuai dengan aturan dan mekanisme yang benar.”

Belajar dari Gerakan Samarinda Menggugat

Lewat kerja sama dengan Mongabay Indonesia, Green Radio dan The Asia Foundation, Gerakan Kukar Menggugat menyelenggarakan diskusi pada 13 Oktober 2014 di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tenggarong, Kutai Kartanegara. Diskusi tersebut merupakan langkah memperkuat dan memperluas gerakan, serta melakukan rencana tindak lanjut ke depan secara bersama.

“Kami mengundang berbagai  perwakilan masyarakat sekitar tambang dan perkebunan sawit untuk hadir, agar Gerakan Kukar Menggugat kian meluas dan tidak hanya digerakkan dari Tenggarong,” kata Sugeng Raharjo dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Metro Kukar.

Dalam diskusi itu, Merah Johansyah mencontohkan gerakan yang dilakukan masyarakat Samarinda yang tergabung dalam Gerakan Samarinda Menggugat, yang melakukan gugatan citizen law suit di Pengadilan Negeri Samarinda.

Gugatan citizen law suit yang diwakili 19 warga tersebut merupakan gugatan pertama untuk isu lingkungan hidup di Indonesia. Setelah melalui proses persidangan selama kurang lebih satu tahun dimenangkan masyarakat. Namun, Pemerintah Kota Samarinda sebagai salah satu pihak tergugat mengajukan banding atas keputusan hakim. Sampai sekarang, sidang banding belum digelar Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur.

“Apa yang telah dilakukan Gerakan Samarinda Menggugat bisa menjadi pelajaran bagi warga Kutai Kartanegara. Gugatan citizen law suit yang dilakukan GSM diambil setelah melalui proses panjang. Langkah apa yang akan diambil Gerakan Kutai Menggugat itu yang harus kita bicarakan ke depan,” ujar Merah.

Beberapa wakil warga yang hadir dari Muara Jawa, Bangun Rejo, Loa Kulu dan Santan menyampaikan keluhannya. Loa Kulu, seorang warga Durung, menyebutkan wilayah tempat tinggal mereka dikepung debu batubara. Saat hujan, aliran air dari wilayah yang dibuka penambangan mencemari sumur milik warga, dan membuat banjir pemukiman warga.

Sementara operasi penambangan batubara di Bangunrejo yang menggunakan blasting (peledakan) membuat rumah warga menjadi rusak, seperti dinding mengalami retak-retak.

Warga melakukan berbagai upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Tapi kerap kali mereka mendapat teror. “Kami kerap ditakut-takuti dengan ancaman hukuman oleh polisi jika dianggap menganggu operasi pertambangan,” ujar Maria, perempuan yang aktif memperjuangakan nasib warga Durung.

Maria menuturkan dirinya bersama perempuan lain telah berjuang bertahun-tahun atas persoalan yang mereka hadapi. Mereka telah menemui dan berdialog baik dengan wakil rakyat, perusahaan maupun pemerintah daerah, tapi belum menemukan hasil positif. “Saya dan teman-teman lain seperti pengemis saja,” ujar Maria.

Merah Johansyah mengajak warga bersatu memperjuangkan permasalahan bersama dalam sebuah gerakan. Merah menegaskan Gerakan Kukar Menggugat yang didukung berbagai elemen masyarakat sipil adalah wadah yang tepat untuk melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan warganya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,