, ,

Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta

Pandangan pemerintah yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM dinilai normatif dan mengabaikan fakta di lapangan. Pemerintah juga coba membantah kriminalisasi masyarakat sekitar dan di dalam hutan dengan dalih ada pasal pengecualian. Padahal gugatan judicial review UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) ini muncul gara-gara sejak terbit hanya menyasar warga. Pasal pengecualian jerat hukum bagi masyarakat yang turun menurun berladang di kawasan hutan, tak pernah menjadi pertimbangan hakim.

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan, mengatakan, baik pemerintah maupun pemohon melihat kriminalisasi petani, masyarakat lokal dan adat harus dihindari.

Sayangnya, dalil pengecualian dalam Pasal 11 ayat 4 seakan tak berfungsi dan tak terefleksi dalam pasal-pasal pemidanaan. Sejak UU P3H ada, sudah beberapa masyarakat yang tidak di dalam kawasan hutan terjerat, seperti empat warga Semende Agung di Bengkulu. Pengadilan memutus petani ini hukuman maksimal tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar!

“Di Bengkulu ini jelas-jelas masyarakat adat berladang tradisional yang dikecualikan UU ini, tapi juga kena. Pengecualian ini tidak terejawantahkan dalam pasal-pasal pemidanaan, jadi percuma,” katanya usai sidang gugatan UU P3H dengan agenda mendengarkan pandangan Presiden dan DPR di Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/11/14). DPR tak hadir dalam sidang ini.

Edo Rakhman, dari Walhi Nasional mengatakan, hak masyarakat terancam dengan UU ini. Dengan UU P3H, seakan pemerintah berupaya menghilangkan sekaligus tidak mengakui masyarakat adat.

“Pemerintah tidak ingin ada komunitas adat hidup di kawasan hutan. Dengan UU ini masyarakat bisa setiap saat dikriminalisasi dan ditangkap. Karena mereka tinggal dan beraktivitas di kawasan hutan. Hidup memanfaatkan kawasan hutan.”

Pemerintah mengatakan, UU ini bisa mencegah kebakaran hutan.  Menurut kami, sama sekali tidak masuk akal. “Ada UU ini kebakaran hutan makin menjadi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Jawaban mereka sangat normatif. Tidak melihat fakta di lapangan. Tidak melihat komunitas adat sangat bergantung dan hidup dari hutan.”

UU P3H, katanya, tidak memberikan manfaat berarti. UU ini, katanya, tak mampu menindak perusahaan yang nyata-nyata membakar hutan.  Masyarakat terus menjadi korban.

“Mereka tidak menyebut perusahaan, padahal perusahaan yang menebang di luar konsesi tidak dipidana. Masyarakat dijadikan sasaran.”

Saat penyampaian pandangan dari Presiden itu, diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM. Pemerintah membacakan lebih dari 20 halaman pandangan terkait gugatan warga dan organisasi masyarakat sipil terhadap UU P3H dan UU Kehutanan.

Dalam pandangan itu, Sony Partono, dirjen PHKA KLH dan Hut  mengatakan, harus melihat landasan filosofis pembentukan UU P3H dan UU Kehutanan. “UU Kehutanan karena memandang hutan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Harus dikelola dengan akhlak mulia demi pembangunan nasional berkesinambungan. Hutan harus dijaga. Negara sebagai pengelola bukan pemilik, tetapi membuat regulasi mengatur kejahatan kehutanan yang tertuang dalam UU.”

Landasan filosofis UU P3H, karena perusakan hutan terus terjadi. Pemanfaatan hutan harus terencana dan bertanggung jawab. UU Kehutanan, katanya, belum efektif menindak kejahatan kehutanan. “UU P3H hadir. Tanpa bermaksud menyingkirkan masyarakat adat.”

Mengenai gugatan pemohon untuk frasa “dalam kawasan hutan telah ditetapkan, ditunjuk, ataupun sedang diproses penetapan oleh pemerintah.” Frasa ini dianggap tidak memberikan kepastian hukum, karena menyamakan status hutan tetap dengan yang baru sebatas penunjukan. Menurut Sony, kawasan hutan sudah penetapan atau baru sebatas penunjukan tetap berlaku secara UU. “Kawasan hutan yang ditunjuk atau ditetapkan sebelum ada putusan MK 45 tetap memiliki kekuatan hukum. Jadi ini tidak bertentangan,” katanya.

Terkait hak-hak masyarakat adat, katanya, pemerintah mengakui sesuai putusan MK 35. Masyarakat adat diakui sepanjang ada pengakuan dari pemerintah daerah. Masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar atau dalam kawasan hutan, mendapat pengecualian.

Namun, katanya, dalam pelaksanaan hukum, pemerintah merujuk pasal 27 UUD 1945, bahwa semua warga memiliki kedudukan sama dalam hukum termasuk norma dalam UU P3H. “Semua pihak tanpa terkecuali bisa saja dijerat dengan UU ini. Termasuk masyarakat adat.”

“Masyarakat  tetap kita akomodir. Sepanjang diakui hak-hak oleh pemerintah daerah. Bedakan antara masyarakat asli dengan pendatang. Ini yang kita lindungi, masyarakat asli, yang bisa dibuktikan jelas asal-usul bukan dari daerah lain.”

Sony mengatakan, UU P3H untuk menyasar kejahatan hutan korporasi. Dalam UU Kehutanan, pasal bisa menjerat korporasi dan perorangan. “UU P3H justru fokus korporasi. Kita prioritaskan ditangani,” katanya kepada wartawan usai sidang.

Meskipun begitu, dia mengakui kalau belum ada satupun korporasi terjerat UU ini.

Sebaliknya, lebih setahun ini, UU ini telah menjerat belasan warga biasa. Entah memang tak tahu atau apa, Sony membantah. Dia mengatakan, belum ada warga terjerat UU P3H. “Belum ada masyarakat adat kena. UU P3H belum kita perkenalkan. Pemilik modal yang kita sasar. Bukan masyarakat .”

Menurut dia, UU P3H akan menjerat pelaku perorangan setelah diteliti kemungkinan ada keterkaitan dengan korporasi. “Bisa jadi, perorangan melakukan kerusakan hutan, didanai korporasi.”

Pemerintah berharap, MK menolak seluruh gugatan ini.

Sidang lanjutan pekan depan penggugat akan menghadirkan saksi warga dan ahli. “Kami akan hadirkan ahli hukum pidana, masyarakat adat, antropologi hukum, sampai administrasi peradilan,” kata Andi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,