, , ,

Menteri Ingin Perjelas Aturan Hubungan Masyarakat dengan Hutan

Konflik di kawasan hutan marak terjadi antara warga dan perusahaan, maupun  warga dan pemerintah dengan penyelesaian tak jarang kekerasan atau jerat hukum menimpa masyarakat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ingin hadir dengan paradigma baru, bahwa rakyat berhak hidup di hutan dan mendapatkan lingkungan yang sehat. Untuk itu, kebijakan hubungan manusia dengan hutan– yang selama ini minim–harus dibuat jelas.

“Ke depan, aturan-aturan itu harus jelas, bagaimana hubungan anak manusia dengan hutan. Selama ini, banyak aturan jelas bagaimana endanger species, species yang dilindungi. Tapi bagaimana anak manusia di hutan belum diatur,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan usai bertemu dengan organisasi masyarakat sipil di Jakarta, Rabu (5/11/14).

Saat di DPD, dia juga sering membahas mengapa Kehutanan tidak mengatur hubungan antara hutan dan anak manusia. “Kenapa kebih banyak tentang satwa dilindungi?”

Bukan itu saja. Pemerintah,  katanya, dalam 10 tahun terakhir, seakan ingin gampang mengatasi persoalan masyarakat hanya lewat pendekatan hukum. “Birokrat itu jeleknya, aturan hanya prosedur, administratif,” katanya. Birokrat tak menyadari, apa yang mereka lakukan itu berdampak ke depan. “Penyederhanaan-penyederhanaan seperti itu, kami juga lakukan koreksi diri dan pengembangan. Interaksi dua kementerian ini cukup kental. Kita lihat apa kurang dan lebihnya.”

Dalam menghadapi masalah, katanya, tak cukup sesuai prosedur dan administratif tetapi harus memperhatikan hak-hak masyarakat, seperti tercantum dalam Pasal 28 UU 45 antara lain “Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

“Ke depan kalau kita lihat situasi memang harus kembali ke pijakan paling dasar Pasal 28 itu. Bahwa masyarakat, rakyat kita berhak mendapatkan perlindungan dalam lingkungan hidup. Jadi dia punya HAM di situ.”

Menurut dia, pemenuhan hak rakyat sudah diatur dalam konstitusi. Secara konstitusional, negara harus memberi akses kesejahteraan bagi rakyat. “Termasuk juga menjaga ketertiban. Paling penting citizenship yaitu membuat warga negara menjadi warga yang terhormat.”

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan, di tepi jalan raya dan dekat pemukiman seperti di Kecamatan Badohopi, Morowali, Sulawesi Tengah ini. Kini perusahaan sudah pergi, tinggal galian tambang dengan kolam menganga ini berada di tepian jalan dan bisa mengancam keselamatan warga sekitar terutama anak-anak. Foto: Sapariah Saturi

Dari diskusi dengan para NGO itu, katanya, banyak masukan diperoleh. “Kita akan susun dan akan saya bagikan kepada semua dirjen dan akan follow up dalam diskusi-diskusi intens dari semua kelompok stakeholders.” Dalam pertemuan itu hadir para sekjen, dirjen dan deputi dari kementerian gabungan ini.

Dalam pertemuan dengan para NGO, Siti menekankan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ingin mempertegas tiga hal. Pertama, wibawa negara terkait birokrasi, dan menjaga hal-hal yang harus dijaga. “Kalo negara tak bisa lindungi warga namanya tak wibawa. Batas hutan tetap jadi masalah, legitimasi tak jelas, itu negara tak berwibawa.” Kemandiran ekonomi, katanya, harus mensejahterakan rakyat. Dalam konteks lingkungan dan kehutanan, yang dibahas dengan melihat sumber daya alam dan lingkungan sebagai dua sisi berdampingan.

“Ekonomi tinggi, tapi sengsarakan rakyat, itu boong. Angkat lingkungan sama kuat atau strata power sama dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalamnya, ada perspekstif kehormatan warga negara. Kalau rakyat dikejar-dikejar, maka negara kita tak ada kehormatan.” 

Kedua, pemerintahan demokratis. Konsep kepentingan publik, katanya,  tak hanya dokumen tetapi harus melihat bagaimana dinamika dan peluang-peluang interaksi (dengan masyarakat). Ketiga, dalam menangani isu lingkungan, tak hanya melihat secara teknis. “Isu lingkungan itu isu politik negara yang cukup tinggi. Endorse lingkungan itu paling utama kampanye informasi publik, pemberdayaan, regulasi, lalu intrumen pengawasan dan pengendalian.”

Dalam diskusi itu, hadir perwakilan antara lain dari AMAN, ICEL, Huma, Epistema Institute, Kiara, JKPP, KPA,Kemitraan, ICRAF, Greenpeace Indonesia dan Warsi.

Beragam masalah lingkungan dan kehutanan disampaikan. Dari kebakaran hutan, lahan gambut, konflik di dalam kawasan hutan, kriminalisasi warga, limbah B3, sampah, pencemaran sungai, laut, udara dari tambang dan lain-lain. Lalu kemiskinan warga yang hidup di sekitar hutan bahkan gizi buruk.

Dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan pelaksanaan putusan MK 35 mengenai hutan adat bukan hutan negara. Kala, dua kementerian bergabung, hendaknya, fungsi lingkungan hidup menjadi poin utama, bukan rezim perizinan.

Mina Susana Setra dari AMAN mengatakan, banyak masalah menimpa masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Ada komunitas dipenjara karena tinggal di kawasan hutan yang diklaim taman nasional. “Ada penembakan warga di Kalsel.  Ada banyak kasus masyarakat adat.  Ada persoalan tenurial. Ini poin penting harus jadi perhatian ke depan, untuk perjelas hak-hak tenurial,” katanya.

Tambang yang beroperasi di dalam hutan Papua, di tepian Sungai Degeuwo, Nabire. Masyarakat pemilik ulayat makin tersingkir. Hutan mereka hancur, lingkungan mereka rusak. Sungai tercemar, penyakit sosial seperti miras, narkoba sampai HIV/AIDs merebak dampak kehadiran tambang emas ini. Foto: Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni
Tambang yang beroperasi di dalam hutan Papua, di tepian Sungai Degeuwo, Nabire. Masyarakat pemilik ulayat makin tersingkir. Hutan mereka hancur, lingkungan mereka rusak. Sungai tercemar, penyakit sosial seperti miras, narkoba sampai HIV/AIDs merebak dampak kehadiran tambang emas ini. Dengan penggabungan dua kementerian menjadi Kementerian LHK harus mampu menyelamatkan kehidupan masyarakat adat dan lingkungan dari kerusakan lebih parah.  Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Yance Arizona dari Epistema Institute menyatakan, mendesak revisi UU Kehutanan. Selain itu, perlu unit yang mengurus hutan hak dan adat demi kemaslahatan masyarakat.

Selama ini, katanya, kriminalisasi masyarakat terus terjadi. “Masyarakat dituduh merambah hutan dan merusak lingkungan. Dengan penggabungan kementerian ini diharapkan tidak melakukan pendekatan hukum pidana bagi masyarakat yang mengelola hutan.”

Chalid Muhammad, ketua Board Perkumpulan Huma, sekaligus moderator diskusi mengatakan, pendekatan resolusi konflik dari Kementerian Kehutanan selama ini belum memadai. “Malah memandang seolah Kemenhut pemilik hutan dan masyarakat sebagai penumpang dan sering kalah.” Untuk itu, katanya, penting pembentukan unit resolusi konflik. Dia menyarankan, Kementerian LHK mulai ada diskusi guna menyusun semacam road map. “Duduk bersama untuk setup road map hingga ada usulan partisipatif.”

Dia juga menceritakan tentang kerusakan lingkungan dari operasi tambang.  Salah satu PT Freeport dengan tailing-nya. Di Kalimantan Timur, banyak anak-anak meninggal di lubang-lubang tambang batubara dan banyak lagi masalah lingkungan, sosial dan kesehatan dampak tambang. “Parahnya, gak ada sanksi pada perusahaan tambang ini.”

Sedangkan Longgena Ginting, kepala Greenpeace di Indonesia menyampaikan agar kementerian ini memperkuat perlindungan gambut.  “Kami memandang perpanjangan moratoriun hutan alam dan lahan gambut sangat tepat . Kami mendukung one policy system untuk perlindungan lingkungan agar mengurangi ego sektoral.”

Kiki Taufik, kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia, mengatakan, pentingnya One Map policy guna transparansi data hingga masyarakat sipil dapat monitor pemerintah. Publikpun, katanya, bisa mudah memperoleh data yang diperlukan.

Aksi protes warga di Medan, meminta pembebasan murni masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, yang hingga kini masih menjadi tersangka. Mereka berusaha mempertahankan hutan adat yang berisi tanaman kemenyan dari perusahaan HTI, yang akan mengubah kemanyan menjadi ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro
Aksi protes warga di Medan, meminta pembebasan murni masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, yang hingga kini masih menjadi tersangka. Mereka berusaha mempertahankan hutan adat yang berisi tanaman kemenyan dari perusahaan HTI, yang akan mengubah kemenyan menjadi ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,