,

Satu Peta Rujukan, Solusi Tata Kelola Kawasan di Sulawesi Tengah

Pentingnya pemberlakuan kebijakan satu peta rujukan (one map policy) untuk tata kelola hutan dan lahan lebih baik di Sulawesi Tengah perlu dilakukan. Keinginan ini terlihat pada lokakarya “Multi Pihak Mendorong Satu Peta Rujukan, sebagai Solusi Tata Kelola Kawasan” yang digelar di Palu, 6 Maret 2014.

Azmi Sirajuddin, Koordinator Program Kehutanan Yayasan Merah Putih (YMP), mengatakan di Sulawesi Tengah seringkali terjadi tumpang tindih klaim legalitas kawasan ataupun ruang.

Contoh kasus, perbedaan persepsi terlihat antara Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah dalam menyikapi aktivitas pertambangan nikel PT. Gema Ripah Pratama di areal Cagar Alam Morowali. Sehingga, kasus yang telah dilaporkan masyarakat setempat kepada Polda Sulteng, tak menentu proses hukumnya.

“Problem lain yang seringkali muncul dari tidak padunya peta rujukan adalah konflik otoritas perizinan. Kewenangan otonomi daerah yang melekat pada bupati/walikota, memiliki ranah otoritas pula atas sebahagian kawasan hutan di daerahnya.”

Contohnya, kasus perizinan tambang nikel di Desa Podi yang dikeluarkan oleh bupati di Kabupaten Tojo Una-Una tahun 2012 kepada PT. Arthaindo Jaya Abadi. Dua pertiga dari areal konsesi seluas 5.000 hektar itu, masuk dalam kawasan hutan lindung.

Bupati dengan argumentasi otonomi daerahnya memandang hal tersebut bukan pelanggaran otoritas. Tetapi, Dinas Kehutanan Sulteng menyatakan jika hal tersebut di luar kewenangan bupati, karena masuk hutan lindung. Kejadian serupa juga terulang di wilayah Kabupaten Morowali.

Bupati setempat memberikan izin usaha pertambangan nikel kepada PT. Gema Ripah Pratama (GRP) seluas 145 hektar tahun 2011. Ternyata, areal konsesi yang diberikan masuk kawasan hutan konservasi Cagar Alam Morowali.

“Ketika Jatam Sulteng mempersoalkan aktivitas ini kepada Kementerian Kehutanan, terjadi dualisme pandangan. Direkrorat Jenderal Planologi menyatakan bahwa areal konsesi GRP masuk dalam kawasan konservasi. Sedangkan BKSDA Sulteng dengan peta yang berbeda menyatakan bahwa itu berada di luar kawasan,” ungkap Azmi.

“Belum lama ini Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan sosialisasi PP No. 8 tahun 2013 dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah di Palu, dan ditekankan urgensi penggunaan satu peta rujukan sebagai solusi perbedaan informasi geospasial.”

Satu peta rujukan

Nahardi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), mengatakan pihaknya mendorong kebijakan satu peta. Kesatuan standar dan satu skala memang menjadi tujuan mereka. Namun hal ini katanya, merupakan pekerjaan berat dan tidak gampang.

“Dulu ketika instansi membuat informasi dengan sumber berbeda dan berbeda kepentingan, maka yang dihasilkan sudah pasti berbeda. Nah, sekarang sudah ada kebijakan hanya ada satu sumber terkait peta yaitu BIG.”

Untuk Pemprov Sulteng, katanya, telah membentuk simpul jaringan daerah berupa pusat informasi spasial yang dikoordinasikan oleh Bappeda untuk mengusahakan satu peta. Namun, yang paling rawan menurutnya adalah peta yang ada dibagian perizinan. Karena berbeda sumber maka yang dihasilkan pun berbeda.

Nahardi mengungkapkan, komitmen satu peta rujukan diharapkan mampu mengatasi masalah tumpang-tindih lahan yang ada di Sulteng. Sebab setiap sektor memiliki peta yang berbeda-beda. Maka dampak dari persepsi yang berbeda-beda, terjadilah tumpang-tindih pemberian izin lahan.

“Di wilayah timur Sulteng, ketika para pejabat diberi kewenangan memberi izin, maka yang terjadi di daerah tersebut terdapat perkebunan sawit. Tapi diwaktu yang sama juga ada tambang yang dijual oleh pejabat yang sama. Kami berharap komitmen kebijakan satu peta dapat mencegah terjadinya tumpang-tindih transmigrasi, perkebunan, dan tambang,” harapnya.

Sebelumnya, Kamaluddin, dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu,  mengatakan bahwa peta tidak hanya memotret permasalahan, akan tetapi dengan kebijakan satu peta ini bisa menghasilkan sebuah rekomendasi yang dapat memberikan solusi.

Sementara untuk mendapatkan batas kesepakatan, menyangkut revisi tata ruang harus ada tim terpadu yang akan menggunakan pertimbangan, yang kemudian bisa menghasilkan sebuah ketetapan dan kesepakatan. Apakah menjadi kawasan lindung, konservasi atau peruntukkan lainnya.

Sora Lokita dari BIG mengatakan bahwa pihaknya terus-menerus membuat standarisasi terkait informasi geospasial. Harapan besarnya, informasi dari pemerintah daerah bisa terdistribusi dengan standar yang baik diseluruh kementerian, termasuk BIG.

“Kami berharap pemerintah daerah dapat segera berpartisipasi dalam simpul jaringan daerah. Agar hanya ada satu informasi di BIG yang bisa diakses oleh semua orang dengan cepat dan tepat,” katanya.

Lubang-lubang galian PT Gema Ripah Pratama di Cagar Alam Morowali, yang ditinggalkan begitu saja. Foto: Jatam Sulteng

Mengapa diperlukan satu peta?

Andika, peneliti hutan dan lingkungan di Sulteng, menambahkan, jauh sebelum lahirnya undang-undang Informasi Geospasial, sudah ada Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah lebih dahulu mengatur soal perlunya ketelitian peta sebagai rujukan bersama tata ruang.

Ia menjelaskan, sebagaimana telah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, tentunya perbedaan peta-peta tematik antara satu kementerian dan lembaga negara, dapat menyebabkan inskonsistensi data spasial, sehingga memicu ketidakakuratan dalam pengambilan keputusan terkait hutan dan lahan secara khusus, maupun terkait penataan ruang secara umum.

“Apa yang akan terjadi jika perbedaan peta rujukan terus berlangsung? Tentunya, kesimpang-siuran informasi geospasial, ketidak-akuratan data, hingga ketidak-pastian hukum atas satu subjek ruang kelola. Seperti menggantungnya status hukum pertambangan pihak PT. GRP di Cagar Alam Morowali akibat adanya dua versi peta,” ungkapnya.

Ketidak-pastian hukum tidak hanya merugikan masyarakat pelapor maupun negara, namun juga dapat mengakibatkan kerugian materil bernilai miliaran rupiah dari hilangnya hutan alam yang ditebang oleh industri pertambangan.

“Untuk mengantisipasinya, tidak ada cara lain kecuali menggunakan satu peta rujukan yang sama. Seluruh komponen mesti menyadari jika buruknya tata kelola hutan di negeri kita, salah satu sebabnya karena peta rujukan masing-masing instansi sektoral berbeda antara satu dengan lainnya.”

Ramli warga Desa Pebounang, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong mengatakan, pada dasarnya masyarakat dan pemerintah Pebounang secara umum, sangat mendukung dan merespon positif adanya one map policy.

“Kami sangat mendukung perwujudan one map policy, dan sekarang ini kami sedang giat-giatnya melakukan pemetaan partisipatif yang dibantu oleh Yayasan Merah Putih,” katanya.

Masyarakat di sana, ujarnya, tidak henti-hentinya membicarakan bagaimana mewujudkan satu peta. Karena masyarakat di sana memiliki hutan adat, namun hingga saat ini belum mendapat pengakuan secara mutlak yang tertuang dalam undang-undang itu sendiri.

“Padahal sudah berpuluh-puluh tahun kami menempati wilayah adat kami.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,