, , , ,

Pertumbuhan Ekonomi Bisa Beriringan dengan Penurunan Emisi Karbon. Bagaimana di Indonesia?

Dengan alasan pertumbuha ekonomi, hutan alam gambut di Riau inipun berubah menjadi lapangan yang siap-siap ditanami sawit. Ke depan, beeharap, hutan terlindungi, emisi karbon bisa ditekan, dengan ekonomi tetap berjalan. Foto: GreenpeaceDengan alasan pertumbuhan ekonomi, hutan alam gambut di Riau inipun berubah menjadi lapangan yang siap-siap ditanami sawit. Ke depan, berharap, hutan terlindungi, emisi karbon bisa ditekan, dengan ekonomi tetap melaju. Foto: Greenpeace

Pada pertengahan September 2014, komisi para pemimpin dunia merilis penelitian berjudul Better Growth, Better Climate: The New Climate Economy. Hasil penelitian itu mengungkapkan, pemerintah dan dunia usaha bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus menurunkan emisi karbon saat bersamaan. Kondisi ini memungkinkan, dengan teknologi dan peluang tercapai efesiensi ekonomi yang lebih besar. Plus, modal investasi tersedia berbarengan dengan peluang inovasi sangat luas. Bisakah ini berjalan di Indonesia?

Wahyuningsih Darajati, direktur Lingkungan Hidup, Bappenas mengatakan, pembangunan berkelanjutan memang harus dijalankan. “Penting keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan,” katanya saat peluncuran laporan di Jakarta, 7 November 2014.

Indonesia, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat komitmen penurunan emisi karbon, dengan target 26% pada 2020. Bappenas, katanya, telah melakukan rencana aksi daerah bagaimana reduksi emisi hingga tak memberikan dampak buruk bagi manusia.

Pemerintah, kata Wahyuningsih, juga mempersiapkan beberapa instrumen untuk itu. Antara lain, dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan, ada tiga ukuran penting. Pertama, pertumbuhan ekonomi dengan ukuran lewat gross domestic product (GDP). Kedua, pembangunan sosial yang tercermin lewat indeks pembagunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). Ketiga, aspek lingkungan, dengan memberikan ukuran jelas.

Mulai 2015, katanya, target lingkungan lebih jelas karena memiliki tolak ukur, tidak seperti sebelumnya tak ada ukuran jelas. “Ke depan, target jelas, ada indeks kualitas lingkungan yang akan dicapai. Kalau dulu, hanya kata-kata tak ada ukuran.”

Wahyuningsih menjelaskan, indeks kualitas lingkungan (IKL) ini ideal 100, dengan komposisi kualitas air, udara dan tutupan hutan. “Kami sudah buat proyeksi. Kondisi 2013, IKL 64,5, nah pada 2019, target jadi 68,5. Presiden maunya 70-80, tapi berat. Jadi, kami mau realistis angka segitu.”

Ke depan, katanya, pemerintah akan terus menyempurnakan IKL, dengan menambahkan parameter indeks, misal dari sampah, kerusakan pesisir dan lain-lain. “Saat ini yang baru ada data dengan tiga parameter itu. Kita akan terus tingkatkan,” katanya.

Agus P Sari, Deputi Perencanaan & Pendanaan Badan Pengelola REDD+ mengatakan, keselarasan pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi karbon bisa berjalan lewat kerjasama yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Atau Agus memakai istilah public, private, people partnership (4P). “Ini Indonesia paradigma baru.”

Kerjasama ini, salah satu bisa terwujud lewat REDD+.  REDD+, katanya,  memungkinkan kejelasan peraturan, investasi modal sumber daya manusia dan institusional, dan pengelolaan lebih baik dari lahan dan kekayaan alam. Sekaligus berdampak bagi komunitas. “Swasta memiliki peran membawa inovasi teknis dan investasi,” ujar dia.

Investasi pada REDD+, ucap Agus, sekaligus mendukung pemerintahan baik dan manajemen lingkungan berkesinambungan.

Anna van Paddenburg, country director for Indonesia, Global, Green Growth Institute mengatakan, tantangan besar di Indonesia antara lain, terjadi alih fungsi lahan cukup signifikan. Untuk itu, mewujudkan seperti hasil penelitian itu bukan pekerjaan mudah. “Perlu leadership kuat, komitmen kuat pemimpin dan dukungan kebijakan kuat.”

Pemerintah pusat dan daerah juga harus berkolaborasi. “Saya kira kolaborasi di daerah, komitmen lintas sektoral daerah dan level nasional. Kebijakan penting bisa jadi mesin pendorong ke arah sana,” ujar dia.

Apa kata para duta besar?

“Perubahan tanpa sakit, itu tak mudah…” Begitu ungkapan H.E Stig Traavik, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, kala itu. Namun, dia berharap, dengan kerjasama semua pihak, antara pemerintah, swasta dan masyarakat, pertumbuhan ekonomi Indonesia, bisa beriringan dengan menekan emisi karbon.

Menurut dia, laporan ini memberi kontribusi terhadap perdebatan dunia akan hubungan pertumbuhan ekonomi dan perubahan iklim. Laporan ini membingkai ulang perdebatan itu dengan argumen bahwa terdapat irisan sangat besar atas apa yang baik bagi ekonomi dan yang baik bagi perubahan iklim.

Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia berharap, Indonesia bisa mencari jalan mencapai pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan mengatasi perubahan iklim. Dia mendorong pemerintahan baru Indonesia bisa mengadopsi rekomendasi-rekomendasi laporan ini.

Duta Besar Colombia, Maria Merdedes Munoz juga memberikan tanggapan. Menurut dia, salah satu inisiatif bisa dilakukan untuk mencapai pembangunan ekonomi dengan menghindari dampak perubahan iklim, katanya, perlu peran serta politisi, pemerintah, dan swasta.

“Tantangan besar bagaimana itu bisa berjalan. Jadi, semua harus aksi bersama.”

Laporan ini dibuat Komisi Global Ekonomi dan Iklim (Global Commision on the Economy and Climate) terdiri dari 24 pemimpin pemerintahan, bisnis, keuangan dan ekonomi dari 19 negara. Ia disusun satu tahun dan dilakukan berbagai institut riset terkemuka dari China, India, Amerika Serikat, Brazil, Korea, Eropa dan Afrika. Laporan launching di hadapan para pemimpin pemerintahan, dunia usaha dan sektor keuangan di Sekretariat PBB New York.

Mantan Presiden Mexico Felipe Calderón, juga Ketua Komisi Global Ekonomi dan Iklim (Global Commision on the Economy and Climate) kala launching menyatakan, laporan ini mengetengahkan bukti-bukti sangat meyakinkan tentang bagaimana perubahan teknologi membuka kesempatan-kesempatan baru meningkatkan pertumbuhan. Lalu, menciptakan lapangan kerja, mendorong keuntungan perusahaan dan memicu pertumbuhan ekonomi.

“Laporan ini menyampaikan pesan begitu jelas kepada para pemimpin pemerintahan dan sektor swasta, bahwa kita dapat memajukan ekonomi saat bersamaan menangani masalah perubahan iklim.”

10 rekomendasi kunci dalam rencana aksi global. Para pengambil keputusan diminta untuk:

1.Mempercepat transpormasi rendah karbon dengan mengintegrasikan iklim ke dalam proses pengambilan kebijakan ekonomi. Ini perlu di semua level pemerintah dan badan usaha melalui perubahan sistematis terhadap perangkat penilaian proyek kebijakan, indikator kinerja, model risiko dan persyaratan pelaporan.

2.Membuat perjanjian iklim internasional yang kuat, tahan lama dan adil. Untuk meningkatkan kepercayaan diri, perlu reformasi kebijakan dalam negeri, memberi dukungan yang diperlukan negara berkembang dan memberikan sinyal pasar kuat bagi para investor.

3.Mengurangi subsidi bahan fosil dan input pertanian, serta kurangi insentif bagi perluasan kota yang tak tertata. Untuk mendorong penggunaan sumber daya lebih efesien dan menggunakan dana publik buat keperluan lain, termasuk program bagi warga berpenghasilan rendah.

4.Memperkenalkan harga karbon yang stabil dan dapat diprediksi sebagai bagian reformasi fiskal dan praktik usaha yang baik. Dengan mengirimkan sinyal kuat ke seluruh negeri.

5.Secara subtansi mengurangi biaya modal untuk investasi infrastruktur rendah karbon. Dengan memperluas akses ke modal kelembagaan dan menurunkan biaya untuk aset rendah karbon.

6.Meningkatkan inovasi dalam teknologi utama rendah karbon dan tahan iklim. Meningkatkan investasi publik tiga kali lipat dalam litbang energi bersih dan menghilangkan hambatan kewirausahaan dan kreativitas.

7.Meningkatkan model pembangunan compact city (satu pendekataan perencanaan kota didasarkan pada pengembangan intensif dalam kawasan perkotaan atau pada kota dengan kepadatan relatif tinggi) yang saling terhubung sebagai model pembangunan kota. Dengan mendorong pembangunan kota model ini dan prioritas investasi pada sistem transportasi massal yang efesien dan aman.

8.Menghentikan deforestasi hutan alam pada 2030 dengan memperkuat insentif pada investasi jangka panjang dan perlindungan hutan. Serta meningkatkan pendataan internasional hingga sekitar US$5 miliar per tahun, sesuai dengan kinerja.

9.Memulihkan setidaknya 500 juta hektar hutan dan lahan pertanian yang hilang atau rusak pada 2030. Hingga mampu memperkuat pertahanan desa dan ketahanan pangan.

10.Mempercepat peralihan dari pembangkit listrik tenaga batubara penyebab polusi. Secepatkan menghapuskan pendirian pabrik batubara baru, yang terus dilakukan di negara maju dan negara berpenghasilan menengah pada 2025.

Sumber: laporan Better Growth Better Climate

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,