, ,

Pendekatan Kewilayahan Sebagai Cara Pelaksanaan Pembangunan Hijau. Seperti Apakah?

Pembangunan ramah lingkungan tidak bisa lagi dihindari negara-negara di dunia, sebagai jawaban terhadap tantangan berat dalam melakukan pembangunan demi mensejahterakan penduduknya yang diseimbangkan dengan lingkungan. Pembangunan hijau akan menjawab pengelolaan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat seperti makanan dan energi yang dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pendekatan jurisdiksi atau kewilayahan menjadi cara efektif untuk melaksanakan pembangunan hijau tersebut, dimana kepentingan berbagai pihak diakomodir dalam pelaksanaan pembangunan.  Pendekatan jurisdiksi melibatkan empat elemen pembangunan yaitu penduduk setempat, pemerintah, sektor swasta dan LSM lokal.

Hal tersebut menjadi dasar diadakannya konferensi internasional tentang pendekatan jurisdiksi untuk pembangunan hijau bertema “Jurisdictional Apprroaches to Green Development: A Learning Exchange”, yang diselenggarakan oleh The Nature Conservancy (TNC) bersama Badan Pengelola REDD+ di Jakarta pada  Selasa dan Rabu (11-12/11/2014) di Jakarta.

Country Director TNC Program Indonesia , Rizal Algamar mengatakan pendekatan jurisdiksi akan membantu pemerintah meningkatkan kualitas kebijakan dan pengawasan pembangunan, sekaligus mengikutsertakan pemangku kepentingan dalam prosesnya.

“Pendekatan jurisdiksi juga mengikutsertakan swasta dan LSM lokal sebagai pemangku kepentingan yang tidak dapat dipisahkan. Disini akan terlihat sinergi yang harmonis antar pihak, sangatlah penting untuk bersama-sama mencapai tujuan pembangunan hijau,” katanya.

Sedangkan Kepala Badan Pengelola REDD+, Heru Prasetyo mengatakan pendekatan kewilayahan akan menjadikan pembangunan menjadi cara rendah emisi sehingga salah satunya dapat mengurangi laju deforestasi.

“Pendekatan jurisdiksi bagi REDD+ adalah sebuah pendekatan dimana REDD+ diatur secara nasional dan diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia secara lintas fungsi,” katanya.

Hal tersebut memungkinkan pemerintah daerah terlibat langsung dalam perencanaan, penyelenggaraaan manajemen hutan dan lahan yang berkelanjutan, bekerjasama erat dengan berbagai keepntingan dalam konteks pengurangan emisi.

“Pendekatan ini kami bangun bersama dengan mitra-mitra yang telah melaksanakan program berbasis yurisdiksi secara riil di tingkat tapak,” katanya.

Deputi Perencanaan dan Pendanan BP REDD+, Agus P Sari mengatakan pihaknya melakukan pendekatan kewilayan dalam pelaksanaan skema REDD, karena penurunan emisi karbon, tidak hanya tentang fungsi ekologi, tetapi juga bicara tentang keanekaragaman hayati, pengelolaan air dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Dengan pendekatan kewilayahan, program REDD akan menjadi bagian dari perencanaan pembangunan di suatu daerah.

“REDD harusnya bisa masuk dalam tiap rencana pembangunan disemua level. BP REDD coba intervensi. Dan kami usahakan mereka, pemerintah darah melakukan tanda tangan kerjasama. Ada hal-hal yang dijanjikan untuk kerja sama dan yang ingin dicapai,” katanya. Dia menambahkan BP REDD+t elah melakukan tanda tangan kerjasama dengan tujun dari 11 propinsi yang direncanakan. Kerja sama tersebut juga masuk dalam kabupaten-kabupaten dalam propinsiyang dituju, bahkan sampai pada tingkat desa.

“Semua proses perencanaan dilakukan  bottom up. Kita tidak rencanakan untuk mereka, tapi mereka rencanakan untuk mereka sendiri. Perencanaannya juga disesuaikan di wilayah. Biasanya ada komite yang dipimpin buapti, unsur masyarakat adat, swasta. Masyarakat dilibatkan,” tambah Agus.

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut
Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Pada kesempatan yang sama, Direktur Program Terestrial TNC Indonesia, Herlina Hartanto mengatakan dari program di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, TNC membantu pemerintah dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan hijau, termasuk kerjasama dengan perusahaan pemilik konsesi lahan.

“Prinsip pembalakan rendah emisi sudah dikeluarkan oleh pemerintah. TNC menambahkan dengan cara pengukurannya. Yang akan dimulai adalah bagaimana mereka mengelola kelapa sawit dengan baik,” katanya.

Global Managing Director of Lands TNC International, Justin Adam mengatakan pemerintah Indonesia sudah banyak melakukan kebijakan pengurangan emisi dengan pendekatan kewilayahan. “Kalimantan menjadi contoh baik dan dapat menjadi contoh yang baik bagi dunia,” katanya.

Dengan pendekatan kewilayahan,  pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan pengelolaan sumber daya alam yang baik, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Pendekatan kewilayahan akan mengarahkan pembangunan sesuai dengan potensi daerah termasuk potensi masyarakat.  “Semua kegaitan ekonomi, entah dari bisnis sawit, kayu dan bisnis lainnya, semua mengarah ke pembangunan hijau yang bertanggung jawab secara sosial,” tandasnya.

Konferensi internasional ini diikuti sekitar 200 peserta dari berbagai negara dan dari berbagai elemen seperti pemerintah, swasta dan LSM yang terlibat dalam pengembangan pendekatan kewilayahan di lebih dari 20 negara, seperti dari Indonesia, Brazil, Meksiko, Bolivia, China dan Papua Nugini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,