,

Sejak Perusahaan Sawit Datang, Luas Suaka Margasatwa Bangkiriang Berkurang

Kondisi kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah makin memprihatinkan. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 398/Kpts-II/1998, luas kawasan konservasi ini mencapai 12.500 hektar. Namun, luasannya diperkirakan mengalami penyusutan akibat perambahan dan alih fungsi ke perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Selain perkebunan sawit, masyarakat yang tinggal di pinggir kawasan juga ikut-ikutan membuka lahan untuk berkebun. Namun, perambahan yang telah terjadi sejak tahun 2000 itu, tak satupun ada yang menjalani proses hukum.

“Data yang kami miliki, tak hanya perkebunan kelapa sawit yang merambah kawasan tersebut. Masyarakat juga turut andil merusak Suaka Margasatwa Bangkiriang dengan membuka lahan untuk ditanami jagung, singkong, pohon cokelat dan sebagainya,” ungkap Direktur Jatam Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw, kepada Mongabay Indonesia, Kamis (13/11/2014).

Ariestal menjelaskan, masyarakat ikut merambah kawasan konservasi itu karena pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap masuknya perkebunan kelapa sawit dalam kawasan Bangkiriang. Sehingga, katanya, jangan heran jika saat ini suaka margasatwa berubah wajah.

“Akan tetapi, bukan hanya perkebunan milik warga dan perusahaan yang ada di sana. Beberapa sarana dan prasarana lain seperti sekolah dasar, pemukiman, rumah ibadah dan sejumlah fasilitas publik lainnya juga ada di dalam kawasan Bangkiriang.”

Menurutnya, hasil investigasi Jatam Sulteng belum lama ini mengungkapkan bahwa pihak perusahaan memanfaatkan warga untuk membuka hutan Bangkiriang dan ditanami pohon sawit. Modusnya, masyarakat disuruh menebang pohon kemudian dibayar. Baru ditanami sawit oleh perusahaan. Sekitar tiga tahun pohon sawit sudah mulai dipanen. Untuk mengelabuinya, pihak perusahaan memasang papan nama yang tingginya sekitar satu meter yang tertulis plasma, sementara fakta sesungguhnya itu adalah inti.

Jatam sudah melakukan pemantauan di lapangan, namun tidak ada satupun masyarakat yang memiliki kebun sawit selain perkebunan kelapa sawit milik PT. KLS.

“Berdasarkan investigasi Jatam Sulteng, pembukaan lahan di kawasan ini sudah dilakukan sejak tahun 2000. Pada 2004, PT. KLS terus melakukan perluasan kebun sawitnya. Hingga kini, luasan kebun kelapa sawit milik PT. KLS sudah mencapai 562.08 hektar,” ungkap Ariestal.

Inilah tapal batas Suaka Margasatwa Bangkiriang. Di dalam SM Bangkiriang ini ada perkebunan sawit PT. KLS, gudang permanen, dan bangunan perusahaan. Foto: Ariestal Douw

Sementara, data terkini yang dimiliki Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mengungkapkan, kawasan teritorial kawasan Bangkiriang yang diokupasi atau di rambah mencapai 5.000 hektar dari luasan Suaka Margasatwa Bangkiriang yang mencapai 12.500 hektar.

Kepala Balai BKSDA Sulteng, Syihabuddin, menjelaskan bahwa sebenarnya masalah Bangkiriang ini sudah pernah dilaporkan ke Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) oleh kepala balai terdahulu. Namun, hingga beberapa kali pergantian kepala balai, belum juga ada jawaban dari Dirjen PHKA.

“Surat yang pernah dikirimkan pada 2010 lalu, sampai hari ini belum kami terima hasilnya. Makanya kita yang dibenturkan. Dan kami juga bingung. Untuk tingkat lapangan kita sudah maksimal, sudah beberapa kali dilakukan operasi di lapangan dan hasilnya sudah dilaporkan ke Jakarta. Soal kebijakan kita tidak bisa berbuat banyak,” kata Syihabuddin.

Menurutnya, hingga saat ini berita acara penataan definitif kawasan Bangkiriang belum ada. Dari 18 kawasan hutan yang ada, hanya delapan kawasan yang definitif, sisanya belum dilakukan, termasuk Bangkiriang.

Suaka Margasatwa Bangkiriang merupakan tempat hidupnya flora dan fauna. Di kawasan ini terdapat anoa, tarsius, musang, dan juga burung maleo. Sedangkan floranya ada palapi, kenari, merbau, dan kemiri.

Namun, kondisi flora dan fauna yang hidup di sana kini terancam, sejak perusahaan kelapa sawit milik PT. KLS melakukan perambahan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,