Not for Sale, Seni Pengingat agar Sawah Bali Tak Musnah

Tulisan Not for Sale, terpampang di tengah persawahan hijau di Bali.  Instalasi dari bambu ini dipasang seniman Gede Suanda, lebih akrab dipanggil Gede Sayur. Bersama dua teman dan pemilik sawah, Sayur memasang batang-batang bambu membentuk tulisan itu  pada Sabtu pertengahan Oktober 2014.

Ia dipasang di persawahan Banjar Kebon, Desa Kedisan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Sawah ‘berlogo’ ini pun menjadi daya tarik tersendiri. Dari Desa Ceking, tulisan Not for Sale terlihat jelas di antara hijau dan anggunnya terasering sawah.

Esok pagi, pengelola kawasan wisata Desa Ceking bersama polisi dan pengurus desa mendatangi pemilik sawah, I Wayan Mendri. Mereka meminta pemilik sawah membongkar seni instalasi ini. Hari itu pula, Mendri yang dibayar Rp500.000 bersedia membongkar bambu-bambu itu.

Sekitar pukul 12.00, sebagian tulisan itu sudah hilang, tersisa for Sale. Mendri sedang membongkar. Sekitar 30 menit, semua tulisan instalasi itu hilang. Tak bersisa.

Gede Sayur, tidak akan berhenti. Dia akan membuat instalasi serupa di tempat lain meskipun mendapat tentangan. Menurut dia, tujuan pemasangan di Ceking sudah tercapai. Petani pemilik sawah mendapatkan hak lebih tinggi, dibayar Rp2 juta tiap bulan dari hanya Rp500.000.

Alih fungsi sawah

Pemilik sawah di Ceking memang semata obyek. Keindahan sawah mereka dipromosikan lewat berbagai media untuk meminat turis. Hasil kerja keras dinikmati turis dan pelaku wisata lain. Namun, petani berada di urutan paling bawah dalam piramida penikmat kue pariwisata.

Petani Bali berlomba-lomba menjual sawah mereka. Apa boleh buat. Hasil jual sawah jauh lebih meyakinkan daripada hasil kerja keras mengolah sawah. Maraknya penjualan sawah terutama terjadi di pusat-pusat pariwisata termasuk Ubud, di mana Gede Sayur lahir, besar, dan tinggal sekarang.

Seni Not for Sale yang dipasang Gede sayur cukup menarik minat wisatawan. Mereka berpose di depan instalasi yang dipasang sebagai wujud protes alih fungsi sawah. Foto: Anton Muhajir
Seni Not for Sale yang dipasang Gede sayur cukup menarik minat wisatawan. Mereka berpose di depan instalasi yang dipasang sebagai wujud protes alih fungsi sawah. Foto: Anton Muhajir

Saat ini saya tinggal di Desa Junjungan, Kecamatan Ubud. Dari pusat keriuhan Ubud seperti puri dan pasar, desa ini berjarak sekitar 10 km. Vila dan art shop berjejer sepanjang jalan dari Ubud ke Junjungan. Begitu pula di sekitar galeri kecil milik Gede Sayur.

Menurut Sayur, sampai sekitar 1999, tak ada satu pun vila di sana. Kini vila-vila bertebaran di kanan kiri jalan. Mereka menggantikan sawah-sawah yang semula menjadi tumpuan warga sebagai sumber penghidupan. Pada 1997 dulu, harga tanah Rp 7 juta per are. Sekarang bisa Rp700 juta per are atau 100 meter persegi.

Umumnya, pemilik vila adalah warga luar desa bahkan luar Bali dan Indonesia. Mereka membangun vila, sesekali datang. Selebihnya, mereka sewakan untuk tamu yang ingin menikmati sawah –ironisnya justru kian berkurang akibat vila marak.

Desa Junjungan, bisa menjadi gambaran betapa cepat alih fungsi lahan di Bali. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, saat ini hanya ada 1.612 subak dengan areal 82.095 hektar. Padahal, 1997,  subak masih 3.000 unit dengan sawah 87.850 hektar.

Cepatnya alih fungsi lahan terjadi juga karena harga tanah mahal dibandingkan lima tahun lalu. Contoh di Denpasar, lima tahun lalu harga tanah masih Rp150 juta per are atau 100 meter persegi di daerah pinggiran. Saat ini minimal Rp 300 juta per are. Di pusat pariwisata seperti Kuta dan Seminyak, harga tanah per are bisa sampai Rp2,5 miliar.

Mudahnya warga lokal menjual sawah, kata Sayur, karena terjadi perubahan pola pikir orang Bali. “Kita dulu orang produktif, sekarang menjadi konsumtif. Kita terlena di arus global yang tidak bisa disetir. Justru yang disetir globalisasi termasuk pariwisata.”

Melihat fenomena ini, Gede Sayurpun menjadikan seni media mengingatkan petani di Bali tidak menjual tanah. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sekaligus mengkritik perhatian pemerintah yang seakan tak peduli alih fungsi ini.

Not for sale

Pemasangan seni instalasi di Desa Ceking merupakan aksi kedua bagi Sayur. Sebelum itu, pada 2010, aksi serupa di sawah sendiri. Bersama dua teman, Pande Putu Setiawan dan I Wayan Sudarna Putra, ketika itu Sayur hanya ingin membuat seni instalasi semata. “Awalnya kami tak sampai berpikir seperti ini (jadi bahan diskusi). Niat kami hanya sebagai cermin untuk diri sendiri.”

Instalasi itu dipasang di sawah belakang galeri. Instalasi itu memang menarik minat pengunjung baik warga lokal maupun turis asing. Mereka datang melihat, berfoto, namun ada pula yang sinis.

Not for Sale makin dikenal tak hanya sebagai seni instalasi juga gerakan menolak komersialisasi sawah di Bali ketika sejumlah musisi dan aktivis turut mendukung. Pada Juli 2013, musisi Bali termasuk Superman is Dead, The Bullhead, Geeksmile, Dadang S Pranoto (Navicula dan Dialog Dini Hari), dan lain-lain membuat konser di tengah sawah, di mana seni instalasi ini berada.

“Kami ingin mengingatkan eksploitasi sawah di Bali dan ubah fungsi hanya aset ekonomi semata,” kata Sayur. Padahal, alih fungsi lahan pasti berdampak ke lingkungan.

Konser ini sempat mendapat tantangan pihak desa dan kepolisian. Namun, tetap berjalan dengan ratusan penonton.

Not for sale kemudian menjadi trade mark Sayur. Tak hanya melalui seni instalasi juga beberapa kali pameran diikuti. Ia makin identik sebagai karya Sayur dalam mengkritik jual beli sawah di Bali.

Karya-karya Sayur lain, misal, lukisan berjudul Habitat Baru, membawa suara lirih penolakan di antara deru maraknya penjualan sawah di Bali. Dalam lukisan itu Sayur menggambarkan kodok berjemur layaknya turis. Di depannya ada Tom dan Jerry sedang berenang. Di latar belakang terlihat terasering sawah berganti jadi kolam renang.

“Orang Bali lama-lama seperti kodok. Mereka pemilik sawah tapi hanya bisa menonton sawah di tanah sendiri seperti Tom and Jerry.”

Sawah-sawah di Bali yang teramcam alih fungsi. Foto: Anton Muhajir
Sawah-sawah di Bali yang teramcam alih fungsi. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,