,

Merangkai Pesisir Timur Sumatera Selatan Menjadi Desa Mandiri Energi dan Sentra Udang Windu

Setelah beberapa kali turun hujan, Senin (10/11/2014) siang kabut asap mulai menghilang di kota Tulung Selapan, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kecamatan Tulung Selapan yang luasnya mencapai 4.853 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 50 ribu jiwa, merupakan wilayah yang paling banyak ditemukan titik api di Sumatera Selatan selama musim kemarau ini.

Dari Palembang dibutuhkan waktu sekitar tiga jam menuju kota Tulung Selapan.Di kota kecil ini kehidupan masyarakat pesisir mulai terasa. Ikan asin, ikan segar, udang, kerang, kepiting, terasi, maupun kerupuk ikan dan udang, banyak dijajakan para pedagang. Semua produksi tersebut bukan berasal dari masyarakat Tulung Selapan, melainkan dari sejumlah desa yang masuk Kecamatan Tulung Selapan. Misalnya Desa Simpang Tiga Makmur, yang berada sekitar satu kilometer dari Selat Bangka atau berada di pesisir timur Sumatera.

Perjalanan menuju Desa Simpang Tiga Makmur, membutuhkan waktu sekitar dua jam. Perjalanan darat selama satu jam menuju Desa Simpang Tiga. Dari desa ini naik speedboad sekitar satu jam menuju Desa Simpang Tiga Makmur.

Sepanjang perjalanan, yang melewati anak sungai dan rawa gambut, terlihat hamparan tanaman bakung dan pohon nipa. Nyaris tidak ditemukan pohon besar khas  lahan gambut, seperti meranti, petanang, petaling, tembesu, merawan, atau perepat. Dulu, wilayah ini kaya dengan pohonan tersebut. Tetapi sejak aktivitas penebangan pohon oleh perusahaan HPH dan illegal logging, pohonan tersebut tinggal cerita.

Ditemukan pula sejumlah rumah panggung yang sudah rusak, yang dulunya digunakan tempat pengolahan kayu. Rumah-rumah warga pun tampak tak terurus. Dinding, lantai dan tiangnya sudah rusak dan menua, seakan mereka tidak memiliki kayu baru buat memperbaikinya. Sebagian besar ditemukan rumah-rumah walet.

“Sebagian besar rumah walet itu bukan milik warga di sini. Pemiliknya dari Tulung Selapan, Kayuagung atau Palembang. Mereka hanya bertugas menjaganya. Mereka mendapatkan upah,” kata Ida Royani, seorang guru honorer di SD Negeri Rantau Lurus di atas speedboad yang saya tumpangi.

Dikatakan Ida yang baru pulang kuliah bersama empat guru lainnya, kehidupan di wilayah pesisir timur sangat memprihatinkan. Mereka hidup hanya mengandalkan dari bertani padi.

Ida yang sudah 10 tahun menjadi honorer hanya menerima gaji Rp200 ribu per bulan. Sementara untuk kuliah tatap muka, Ida bersama tiga guru lainnya yang kuliah di Universitas Terbuka yakni Asmawati, Juaria, dan Nana Febrianti, harus mengeluarkan biaya sekitar Rp2,4 juta per bulan untuk transportasi.

“Naik speedboad ini pulang pergi Rp400 ribu. Ongkos ojek dari dermaga Desa Simpang Tiga ke ke Tulung Selapan Rp100 ribu. Itu belum biaya makan. Nah, sebulan kami harus empat kali ke Tulungselapan untuk tatap muka,” kata Ida, yang harus membuka usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliah selain dari bertani.

Setelah melewati kanal Rantau Lurus atau lokasi transmigran, speedboad memasuki Sungai Lebung Hitam, sebuah sungai yang menghubungkan Sungai Komering dengan Selat Bangka.

Di sepanjang tepian Sungai Lebung Hitam ini hanya terlihat hutan nipa, menjelang di muaranya ke Selat Bangka baru ditemukan hutan bakau. Nyaris tidak ditemukan jenis pohonan lainnya. Sesekali ditemukan pula rumah panggung bersama rumah walet di tepi sungai.

“Sepuluh tahun lalu sungai ini sangat ramai. Sebab aktivitas penebangan kayu masih marak,” kata Junaidi dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI. “Kini sudah sepi sebab tidak ada lagi pohon yang dapat ditebang,” lanjutnya.

Saat musim HPH, hampir semua masyarakat di Kecamatan Tulung Selapan hidup makmur. Mereka mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Tapi peristiwa kebakaran pada 1997 dan 1998, membuat kehidupan mereka terpuruk. Hutan gundul. Mereka kemudian kembali pada profesi sebelumnya sebagai nelayan. Ikan dan udang yang ditangkap selain dijual segar, juga dibuat ikan asin, terasi, maupun dijadikan bahan kerupuk.

Terbiasa mendapatkan penghasilan yang besar, membuat sebagian warga meninggalkan desa. Mereka pun melakukan aktivitas penebangan pohon hingga ke Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Jambi dan Riau.Hanya sebagian yang bertahan di desa. Mereka yang bertahan ini salah satunya memiliki pertambakan udang windu.

Persoalan baru muncul. Warga yang melakukan pertambakan udang ini memanfaatkan lahan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji yang rusak akibat terbakar dan illegal logging. Ribuan hektar dijadikan masyarakat sebagai lokasi tambak udang dan ikan bandeng.

“Kini upaya kita untuk mencegah perluasan pertambakan, dan melakukan rehabilitasi lokasi hutan lindung yang rusak,” kata Junaidi.

Luas Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji mencapai 98.115 hektar. Selain rusak akibat pertambakan, juga akibat pembangunan rumah dan lahan pertanian.

Inilah guru honorer di SD Negeri Rantau Lurus. Mereka terus mengabdi meskipun diberi honor Rp200 ribu per bulan. Miris. Foto: Taufik Wijaya
Inilah guru honorer di SD Negeri Rantau Lurus. Mereka terus mengabdi meskipun diberi honor Rp200 ribu per bulan. Miris. Foto: Taufik Wijaya

Tambak udang tradisional

Tahun 1992, sekitar 10 keluarga di Desa Sungai Lumpur, tak jauh dari Desa Simpang Tiga Makmur, membuat pertambakan udang windu secara tradisional. Melihat hasil yang didapatkan dari pertambakan udang tersebut, Karnawi Bariddun bersama empat warga lainnya membuka tambak udang di Desa Simpang Tiga Makmur.

Menurut Karnawi yang kini menjadi Kepala Desa Simpang Tiga Makmur, hasil dari pertambakan udang tersebut cukup besar. Setiap kali panen, selama enam bulan, satu hektar tambak dapat menghasilkan sekitar 500 kilogram udang windu.

Tahun 1997 dan 1998 terjadi kebakaran besar di pesisir timur Sumatera Selatan tersebut. Hutan dan lahan gambut rusak. Masyarakat yang biasanya mencari kayu akhirnya kehilangan pendapatan. Mereka kemudian kembali berprofesi sebagai nelayan atau membuka pertambakan udang windu.

Saat itu di pesisir timur Sumatera, dari Riau hingga Lampung, booming pertambakan udang windu. Perusahaan PT. DCD (Dipasenan Citra Darmaja) dan PT. WM (Wachyuni Mandira) milik Syamsul Nursalim, yang melakukan pertambakan modern udang windu.

“Kami pun membuka tambak udang saat itu. Setiap keluarga di sini membuka tambak udang seluas dua hektar,” kata Karnawi Baridun, kepala Desa Simpang Tiga Makmur, saat berdialog dengan Najib Asmani, staf ahli lingkungan hidup Sumsel yang juga penggiat REDD+ Sumatera Selatan.

“Pada awalnya penghasilan kami cukup tinggi. Setiap hektar kami menghasilkan sekitar 500 kilogram sekali panen atau setiap enam bulan,” katanya.

Namun setelah peristiwa kebakaran lahan gambut pada 1997 dan 1998, penghasilan tambak udang kami terus menurun. “Saat ini hasil penambakan udang untuk dua hektar hanya 200-300 kilogram per panen,” ujarnya.

“Awalnya kami memang membuka lahan di hutan lindung yang rusak akibat terbakar, setelah dilarang pemerintah kami menjauhi hutan lindung,” ujarnya.

Guna meningkatkan pendapatan, masyarakat mengembangkan tambak ikan bandeng. Artinya udang windu dan ikan bandeng disatukan dalam satu tempat. Hanya saat penebaran bibit, udang dilakukan lebih dulu. Setelah tiga bulan, baru ditaburkan bibit ikan bandeng.

Jika hasil dari tambak udang per tahun sekitar 4-6 ratus kilogram atau dua kali panen, maka ikan bandeng sekitar 2 ton per tahun atau dua kali panen. Hasil itu didapat dari dua hektar lahan tambak. Uang yang dihasilkan berkisar Rp60-70 juta dengan modal sekitar Rp30 juta.

Mengapa pendapatan mereka begitu kecil, meskipun pasar udang windu dan ikan bandeng begitu terbuka?

Wiwik Ekpani, sekretaris Desa Simpang Tiga Makmur, menyebutkan ada beberapa permasalahan yang dihadapi para petambak.

Pertama, persoalan bibit, khususnya bibit udang. Bibit yang mereka beli dari Lampung seringkali kualitasnya rendah, sehingga mudah mati. Kedua, udang yang ditambak sangat mengandalkan makanan alami atau tidak diberi pakan.

Ketiga, sistem pertambakan yang masih tradisional. Tanpa menggunakan kincir angin atau hanya mengandalkan udara untuk mendapatkan oksigen.

Keempat, tidak ada pendamping atau penyuluh perikanan yang mendampingi mereka. “Seringkali kami kebingungan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Misalnya, saat banyak hama yang tidak mati meskipun sudah diberikan racun sebelum lahan diberi air,” katanya.

David, seorang petambak, mengatakan mereka saat ini bukan membutuhkan modal seperti yang diberikan pemerintah atau pihak lainnya selama ini. “Kami membutuhkan ilmu dan pendampingan, sehingga produksi tambak kami kian membaik. Kalau modal, ya, akan habis bae kalau kondisinya tidak berubah,” ujarnya.

Nelayan tangkap di Desa Simpang Tiga Makmur, Kabupaten Tulung Selapan, OKI. Foto: Taufik Wijaya
Nelayan tangkap di Desa Simpang Tiga Makmur, Kabupaten Tulung Selapan, OKI. Foto: Taufik Wijaya

Desa sentra ikan dan udang

Hasanuddin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten OKI, menilai potensi pengembangan tambak udang dan ikan bandeng di wilayah pesisir timur, khususnya di Kecamatan Tulung Selapan, sangat besar. Ini sesuai dengan program pemerintah OKI dan Sumsel yang memprioritaskan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, serta program pemerintah pusat untuk mengoptimalkan produksi perikanan dan kemandirian pangan.

“Saya sepakat para petambak yang ada ditingkatkan penghasilannya. Termasuk pula kemungkinan mengembangkan pertambakan yang lain, seperti ikan kakap, kepiting, dan lainnya,” katanya.

Mengenai pengetahuan para petambak, pemerintah OKI akan mengirimkan sejumlah petambak secara berkala untuk magang di perusahaan tambak udang yang sukses dan maju.

“Tapi syaratnya, setelah mendapatkan ilmunya para petambak itu dilarang pindah dari desa ini, kemudian membagikan ilmunya kepada petambak lain. Tepatnya selain menjadi petambak juga menjadi penyuluh perikanan mandiri,” ujarnya.

Terkait mengenai bibit udang windu dan ikan bandeng, kata Hasanuddin, saat ini pemerintah kabupaten OKI dengan pemerintah Sumsel tengah menyusun program pembuatan pusat pembibitan udang windu dan ikan bandeng di Pulau Maspari, satu-satunya pulau di Sumatera Selatan yang berada di Selat Bangka.

Dulu, saat Rosihan Arsyad menjadi Gubernur Sumsel, pulau tersebut sudah diupayakan pembibitan udang windu dan ikan bandeng. Tapi proyek tersebut terhenti karena terkendala listrik.

“Benar, untuk memastikan potensi tersebut, Gubernur Sumsel Alex Noerdin akan melakukan kunjungan ke pulau tersebut, guna memastikan kemungkinan proyek tersebut dilanjutkan,” timpal Najib Asmani.

Terkait dengan pakan udang windu yang relatif mahal, sehingga para petambak masih mengandalkan makanan alami, Hasanuddin menjelaskan soal kemungkinan didirikannya pabrik pakan ikan windu maupun ikan bandeng.

“Yang jelas, pemerintah kabupaten OKI akan memprioritaskan pengembangan tambak udang di sini, umumnya di wilayah Tulung Selapan maupun wilayah pesisir timur lainnya,” kata Hasanuddin.

Dia pun berharap para petambak, dan masyarakat lainnya untuk menjaga lingkungan. Jangan membakar maupun merusak hutan gambut.

“Kalau usaha mau berhasil jangan merusak lingkungan. Bakau jangan dirusak, tambak kehilangan makanan alami. Suhu berpengaruh dan banyak hal lainnya akibat rusak lingkungan,” kata Hasanuddin.

Para petambak udang windu dan ikan bandeng di Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulungselapan, OKI, berkumpul untuk berbagi pengalaman. Foto: Taufik Wijaya
Para petambak udang windu dan ikan bandeng di Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulungselapan, OKI, berkumpul untuk berbagi pengalaman. Foto: Taufik Wijaya

Desa mandiri energi

Selain ingin menjadikan wilayah pesisir timur sebagai sentra ikan dan udang, kabupaten OKI juga ingin mewujudkan semua desa di wilayah tersebut menjadi desa mandiri energi.

Junaidi, dari Dinas Kehutanan OKI menjelaskan upaya tersebut dengan melakukan penanaman pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum ) di lokasi hutan lindung yang rusak. Artinya, penanaman pohon ini selain merehabilitasi hutan lindung yang rusak juga menghasilkan biodiesel berupa solar.

“Sehingga ke depan masyarakat tidak lagi tergantung dengan energi fosil, seperti yang menjadi target pemerintah mewujudkan lahirnya berbagai energi alternatif,” katanya.

Setiap satu hektar tanaman nyamplung dapat menghasilkan 1.200-1.250 liter per tahun  biodiesel atau solar. “Pemasarannya dapat dilakukan di sekitar desa, maupun keluar. Minimal memenuhi kebutuhan kapal-kapal nelayan. Harganya tentu saja lebih murah,” kata Junaidi.

“Mencari penghasilan sambil menjaga dan merehabilitas hutan lindung,” ujar Junaidi.

Sebagai informasi, pohon nyamplung memiliki batang berwarna coklat, bulat, berkayu. Daunnya tunggal, bulat memanjang atau seperti telur. Bunganya majemuk bebentuk tandan, sedangkan buahnya berbentuk peluru. Berwarna hijau, dan menjadi coklat kalau kering. Kemudian bijinya bulat, keras, warna coklat.

Pohon ini memiliki akar tunggang, dan dapat tumbuh di daerah pesisir hingga di ketinggian 200 meter.

Manfaatnya, kayu pohon ini dapat digunakan untuk papan, perkapalan, balok dan tiang. Sementara getah dari pohon nyamplung dapat dimanfaatkan sebagai minyak yang dikenal dengan minyak tamanu. Sebab bijinya mengandung hampir 74 persen minyak yang bisa dimanfaatkan untuk sumber energi nabati yang lebih banyak dari biji jarak.

Terhadap dua upaya tersebut Najib Asmani menyakini jika berjalan, maka persoalan kebakaran lahan gambut di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan dapat teratasi.

“Menghentikan aktivitas pembakaran yang disebabkan oleh masyarakat harus memberikan sumber ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat. Kalau mereka terus hidup miskin, rasanya sulit mencegah mereka membakar lahan maupun merambah hutan. Mereka butuh makan,” ujar Najib.

Pernyataan senada dikatakan Karnawi Baridun. “Saya yakin jika masyarakat di sini hidup lebih sejahtera, mereka tidak akan merusak hutan dan lahan gambut, justru turut menjaganya.”

Rumah walet yang lebih mewah dari rumah warga. Rumah walet ini milik penguasa walet sementara warga hanya menjadi penjaganya. Foto: Taufik Wijaya
Rumah walet yang lebih mewah dari rumah warga. Rumah walet ini milik penguasa walet sementara warga hanya menjadi penjaganya. Foto: Taufik Wijaya

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,