,

Polda Sulawesi Tengah Didesak Periksa Bupati Donggala Terkait Illegal Mining

Ratusan massa yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah Bersatu (AMSB) berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah. Mereka mendesak agar Bupati Donggala, Kasma Lassa, segera diperiksa terkait kasus pertambangan ilegal atau illegal mining.

Aksi ini dilakukan Kamis (13/11/2014). Massa melakukan long march dengan mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi dan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dan berakhir di kantor Polda. Tuntutan mereka agar tambang galian C di Desa Batusuya, Donggala, yang dianggap ilegal segera diselesaikan dengan memeriksa sang bupati.

“Para penegak hukum harus mengusut tuntas dugaan korupsi tambang galian C di Desa Batusuya, Donggala, yang melibatkan bupati,” teriak para pengunjuk rasa di depan kantor Polda Sulteng.

Pengunjuk rasa mendesak polisi segera memeriksa dan menangkap Bupati Donggala, karena diduga kuat terlibat dalam kasus pertambangan ilegal di Desa Batusuya Goo, Kecamatan Sindue, Tombusabora, Kabupaten Donggala milik Abbas Adnan, PT. Mutiara Alam Perkasa (MAP).

Dalam unjuk rasa itu, massa juga menyerahkan dokumen berisikan bukti-bukti pelanggaran pidana korupsi yang dilakukan oknum-oknum pejabat di Sulteng, termasuk Bupati Donggala.

Pelaksana harian Humas Polda Sulteng, AKBP Oetoro Saputro, yang menerima pengunjuk rasa langsung menanggapi tuntutan mereka. Menurutnya, dua hari sebelumnya pihak Polda Sulteng sudah melayangkan surat panggilan terhadap Bupati Donggala, Kasman Lassa, terkait kasus pertambangan ilegal di Batusuya.

“Sebelum kawan-kawan ke sini, Polda sudah lama melakukan penyidikan terkait kasus galian C di Batusuya dan sudah memeriksa beberapa saksi. Rencananya Selasa, 18 November 2014, kami akan memeriksa Bupati Donggala, dengan status sebagai saksi dalam kasus ini,” kata Oetoro Saputra.

Oetoro mengaku mendukung gerakan yang diusung oleh para pendemo. Menurutnya, hal ini sangat membantu melancarkan penyidikan.

Sebelumnya, aktivitas tambang galian C di Kabupaten Donggala yang dilakukan oleh PT. MAP menuai banyak protes dari berbagai pihak, diantaranya Jatam Sulteng. Aksi protes dilakukan karena PT. MAP dianggap telah mengakibatkan kerusakan pada perkebunan masyarakat disepanjang jalur sungai.

“Ribuan tanaman cokelat, dan kelapa hanyut diterjang banjir gara-gara adanya aktivitas pertambangan galian C ini,” kata Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw.

Menurutnya, selain mengalami kerusakan lahan, penolakan terhadap PT. MAP dilakukan karena masa berlaku Izin Usaha Pertambangan sudah habis. Namun, katanya, pada tanggal 24 Januari 2014 Pemda Donggala justru mengeluarkan surat pemberitahuan baru dengan nomor surat 540/21/DESDM, yang berisi bahwa PT. MAP diberi waktu selama 6 bulan sampai dengan 20 Juli 2014, untuk penataan alur sungai dan dapat melakukan kegiatan produksi pemuatan tongkang sebagai pengganti biaya kegiatan reklamasi.

“Izin usaha galian C PT. MAP berakhir tanggal 15 Januari 2014, namun perusahaan itu masih melakukan eksploitasi diatas tanggal 15 Januari 2014. Menurut kami, ini sudah jelas ilegal karena tenggat waktu yang telah ditetapkan sesuai izin telah berakhir,” ungkapnya.

Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah Bersatu (AMSB) berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah. Tuntutan mereka adalah agar Bupati Donggala segera diperiksa terkait illegal mining. Foto: Syarifah Latowa
Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah Bersatu (AMSB) berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah. Tuntutan mereka adalah agar Bupati Donggala segera diperiksa terkait illegal mining. Foto: Syarifah Latowa

Tidak hanya itu, kata Ariestal, PT. MAP juga telah melakukan aktivitas eksploitasi hingga penjualan material yang diantar-pulaukan pada tanggal 4 Maret 2014. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.

“Sikap pemda yang memberi waktu terhadap PT. MAP untuk dapat melakukan kegiatan produksi pemuatan tongkang sebagai pengganti biaya kegiatan reklamasi inilah yang kami sesalkan,” tandasnya.

Ariestal menegaskan, Dinas ESDM yang harus memberhentikan aktivitas perusahaan melakukan pengerukan, justru memberikan peluang untuk melakukan penambangan dengan alibi sebagai pengganti biaya kegiatan reklamasi. “Kami mendukung Polda Sulteng untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke persidangan.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,