,

32 Komunitas Adat di Toraja Petakan Wilayah Bersamaan

Sore itu, cuaca di Desa Madandan, Kecamatan Rantetayo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, agak mendung. Di tengah pepohonan pinus, di sebuah bungalow, tampak sejumlah pemuda dari beberapa komunitas adat di Toraja. Mereka sedang mendiskusikan dan mencocokkan kembali data-data titik koordinat yang baru dikumpulkan dari lapangan.

Tak berapa lama, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Toraja, Romba Sambolinggi menghampiri mereka. Kertas plano penuh coretan dan simbol-simbol tertentu terbentang di depan mereka. Meski udara makin dingin, seakan mereka tak terganggu sama sekali.

Romba bercerita, saat ini berlangsung pemetaan partisipatif skala luas, 32 komunitas adat sekaligus di Toraja, secara administratif masuk Kabupaten Tanatoraja dan Toraja Utara.

“Dimulai pemetaan 12 komunitas, tersisa 20 dikebut hingga pertengahan 2015,” katanya medio Oktober 214.

Tahap pertama, pengambilan data seperti kartografi, peta, titik-tiik batas wilayah adat, batas luar wilayah adat dan titik-titik penting lain.

“Kalau dikaitkan Toraja satu wilayah adat jelas ada stuktur adat, struktur pemerintahan, dimana letak tongkonan, misal, ada rantai, hutan. Semua harus masuk titik isi.”

Informasi lain diperoleh di lapangan selama pemetaan adalah fasilitas umum dan segala macam data ekonomi dan sosial.

Menurut Romba, pemetaan ini seperti membuka ingatan masyarakat Toraja tentang wilayah dan kebudayaan mereka.

“Sebenarnya bukan hanya peta fisik juga profil wilayah adat. Data-data seperti itu berdasarkan sejarah, bukan mengarang.”

Di profil ini, katanya, digambarkan segala hal, baik sejarah asal komunitas, stuktur pemerintahan adat, budaya, seperti acara rambu solo atau upacara kematian. Begitu pun penamaan rumah adat Toraja yang disebut tongkonan. Tongkonan tiap komunitas memiliki ciri khas dan nama tersendiri, merujuk pada lokasi ia berada.

“Kita tekankan pengambilan data yang orisinil, mengenai adat Toraja, bukan yang mengalami pergeseran nilai.”

Mengenai batas kawasan adat, katanya, memiliki landasan tersendiri berupa kesepakatan umum antarkomunitas, misal, berdasarkan arah aliran air sungai, atau lembah puncak gunung.

Bentuk kesepakatan ini biasa dengan pemberian penanda, seperti penanaman pohon-pohon tertentu atau tanaman awo (bambu kuning), bisa juga tanda lain ciri khas komunitas.

Romba mencontohkan, perbatasan antara Toraja dengan Seko Rongkong di Luwu Utara, memiliki penanda dinamakan basse atau perjanjian Indo Lammuru.

“Dulu ada perempuan bernama Indo Lamuru dikorbankan untuk ditanam di perbatasan sebagai bukti perjanjian tapal batas antara Desa Rongkong dengan Toraja.”

Toraja memiliki kondisi topografi berupa pegunungan dan lembah, yang menjadi tantangan tersendiri dalam pemetaan partisipatif  warga.  Gunung, lembah dan sungai ini malah sekaligus sebagai penanda batas wilayah. Foto: Wahyu Chandra
Toraja memiliki kondisi topografi berupa pegunungan dan lembah, yang menjadi tantangan tersendiri dalam pemetaan partisipatif warga. Gunung, lembah dan sungai ini malah sekaligus sebagai penanda batas wilayah. Foto: Wahyu Chandra

Masyarakat Toraja, takut tulah jika memindahkan batas perjanjian itu. Dalam membuat perjanjian biasa melalui ritual yang disebut ditallurarai, atau menumpahkan darah tiga jenis hewan yaitu anjing, babi dan ayam.

Jikapun terjadi konflik, masyarakat adat Toraja telah memiliki mekanisme penyelesaian disebut kombongan, dimana setiap wilayah memiliki hakim pendamai disebut Ada. Di Toraja, setiap tingkatan penyelesaian konflik biasa dimulai dalam keluarga kecil.  Jika mengalami jalan buntu dilanjutkan ke keluarga besar  (kombongan rapu), lalu ke kampung (kombongan kampong), kombongan desa (kombongan lembang) hingga ke paling tinggi.

“Jika konflik mereka datang ke institusi adat. Bahkan kala beproses di kepolisianpun akan dikembalikan ke masyarakat adat.”

Romba mengatakan, terkait pengelolaan hutan, dalam adat memiliki mekanisme tersendiri, misal, aturan penebangan pohon. Namun, tereduksi karena ada pengambilalihan kawasan oleh pemerintah.

“Sejak 80-an atau 34 tahun mekanisme itu dihancurkan, diambilalih pemerintah. Ini menyebabkan ingatan luntur tentang meknisme itu. Dulu, mekanisme sangat jelas, misal mau ambil kayu harus melapor ke siapa dulu, aturan masuk hutanpun ada ritual, ada yang bisa diambil dan ada yang tidak.”

Meskipun pemerintah membuat mekanisme tersendiri, seperti hutan lindung. Namun, banyak penetapan sepihak pemerintah hutan adat menjadi hutan lindung.

“Hutan diubah menjadi hutan pinus. Jadi 79-80an awal ada program reboisasi. Awal tanam-tanam pinus dulu, lalu klaim sepihak sebagai hutan lindung seluas 300-an ribu hektar.”

Romba berharap, pemetaan partisipasif ini menjadi bahan advokasi kebijakan, antara lain terkait Permendagri 52 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Di Tana Toraja, sebenarnya memiliki SK Bupati No 222 tahun 2005 tentang Pengakuan 32 Komunitas Adat Toraja. “Berharap segera ada perda terkait.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,