,

Potret Pengelolaan Hutan di Era Desentralisasi

Satu dekade lebih Indonesia menerapkan sistem desentralisasi dengan berbagai produk kebijakan daerah yang mengatur pengelolaan hutan dan lingkungan hidup. Ada yang berkontribusi baik bagi penyelamatan lingkungan tetapi banyak berdampak sebaliknya.

Fitrian Ardiansyah, kandidat doctor dari The Australian National University meneliti mengenai ini. Dia meneliti 7.000 peraturan daerah dari 1990-2009 di kabupaten/kota di luar Jawa-Bali, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Perda-perda ini dibandingkan dengan laju deforestasi dan variabel lain termasuk fiskal, anggaran, ekonomi, demografi, kependudukan dan lain-lain.

Penelitian selama empat tahun dengan hasil tertuang dalam disertasi berjudul “Environmental Implications of Land-Related Policies in a Decentralised Indonesia.”

“Era desentralisasi perda keluar lima kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Ada korelasi signifikan antara perda berkaitan tata ruang, kehutanan dan lingkungan dalam mengurangi deforestasi. Sebaliknya, perda berkaitan perkebunan, pertambangan, energi dan infrastruktur malah memperparah deforestasi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (10/11/14).

Fitrian mengatakan, perlu dorongan baik insentif atau bantuan kepada pemerintah daerah untuk fokus memperbaiki peraturan dalam konteks tata ruang, lingkungan dan kehutanan. Hingga berkontribusi mengurangi deforestasi.

Sebenarnya,  pemerintah pusat bisa membantu pemerintah daerah lewat mekanisme fiskal, misal, memberikan target pengelolaan hutan yang baik dikaitkan dengan desentralisasi fiskal.

Mengenai desentralisasi berkontribusi terhadap deforestasi, katanya, tergantung dari daerah masing-masing. Namun, secara garis besar,  jika daerah bisa mengelola hutan, tata ruang dan lingkungan sebenarnya peluang bagus. Namun, harus ada pengawasan ketat dari provinsi dan pusat plus insentif.

“Seringkali daerah diberi kewenangan, tapi tidak jelas sejauh mana. Pemerintah pusat masih mempunyai kewenangan besar terhadap kehutanan. Insentif juga tak jelas.”

Dia juga menyoroti tumpang tindih izin pengelolaan kawasan hutan. Dalam salah satu bab penelitian, memperlihatkan, 1999-2010, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang memberikan sinyal beragam kepada daerah.

“Ada beberapa peraturan membolehkan pemerintah daerah mengelola sumber daya alam, ada peraturan memberikan sinyal kewenangan ditarik ke pusat.”

Ketidakjelasan ini,  menyebabkan banyak kebimbangan di daerah hingga menciptakan celah mengelola hutan sembarangan. Untuk itu, perlu reformasi kebijakan pusat, daerah dan perizinan.

“Memang harus ada sinergi dan harmonisasi peraturan di pusat dulu. Bahwa ini mau pusat, target seperti apa, insentif, pengawasan dan lain-lain bagaimana?”

Pemerintahan Joko Widodo, katanya, berpeluang meningkatkan ini. “Perangkat sudah ada. Tinggal mau apa gak? Punya peluang, tantangan pasti ada.”

Dia mengatakan, ada beberapa kabupaten/kota sudah mengeluarkan perda berkontribusi bagi pengelolaan lingkungan. Contoh, di Aceh Tamiang dan Bontang, ada kebijakan mengenai perlindungan hutan, dan lingkungan.

Namun, katanya, sebagian besar daerah masih ketinggalan dalam mengeluarkan kebijakan pro perlindungan hutan dan lahan. Masih banyak daerah mengeluarkan kebijakan tetapi bertendensi mengeruk SDA. Selain itu, kecenderungan fiskal, dana bagi hasil atau alokasi umum dari pusat belum tersalur ke pengelolaan hutan.

Meskipun begitu, kata Fitrian, desentralisasi tetap bisa menjadi peluang,  dan solusi di daerah. Pengelolaan lahan dan hutan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat dan investor di daerah. “Kalau semua ditarik ke pusat,  pemerintahan siapapun termasuk Jokowi akan sulit memberikan solusi bagi permasalahan di lapangan.”

Temuan lain, pelibatan masyarakat adat dalam mengelola hutan sejalan baik dalam menekan deforestasi.

“Mengikutsertakan masyarakat setempat menjadi prasyarat utama membuat kebijakan pro penyelamatan dan perlindungan hutan.”

Pemerintah pusat, katanya, perlu review rancangan pembangunan ekonomi nasional hingga memberikan sinyal ke daerah bahwa pertumbuhan baik adalah berkelanjutan alias tak merusak lingkungan.

Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bisa memberikan landasan pemerintah untuk memangkas perizinan yang terlalu banyak dan memonitor agar lebih transparan. Juga bisa memformulasikan kebijakan lebih tepat ke daerah termasuk soal pendanaan.

“Tetapi tergantung sejauhmana penggabungan ini bisa lebih efisien untuk birokrasi di daerah.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,