,

Komitmen Turunkan Emisi 7 Persen, Aceh dan BP REDD+ Tanda Tangan Nota Kesepahaman

Pemerintah Aceh berkomitmen menurunkan emisi karbon sebanyak 7 persen tahun 2020. Menindaklanjuti hal itu, Pemerintah Aceh dan Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut), menandatangani nota kesepahaman bersama di Pendopo Gubernur Banda Aceh, Senin (17/11/2014).

Aceh merupakan propinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman bersama BP REDD+ menyusul beberapa provinsi sebelumnya yaitu Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo.

Secara khusus, untuk pertama kalinya Pemerintah Norwegia hadir yang diwakili oleh Wakil Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Per Cristiansen. Seperti diketahui pada Mei 2010, Pemerintah Norwegia memberikan dana hibah sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat kepada Pemerintah Indonesia sebagai bentuk dukungan politik bagi pencapaian target Indonesia menurunkan emisi sebesar 41 persen yang 83 persennya dicapai melalui REDD+.

Gubernur Aceh  Zaini Abdullah menyatakan Pemerintah Aceh sangat mendukung komitmen yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui BPREDD+ untuk mencapai target penurunan emisi di negeri ini. Bahkan, jauh dari sebelum komitmen ini, Aceh telah terlebih dahulu memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagai upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut.

“Bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam mendukung REDD+ ditunjukkan dengan terbentuknya tim satuan tugas (task force) REDD+ di Aceh, yang pasca- penandatanganan ini bisa segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah implementasi dengan melibatkan berbagai komponen yang ada. Seperti lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat, akademisi, dan para pihak lainnya di Aceh,” kata Zaini Abdullah.

Dalam rangka mempercepat langkah-langkah persiapan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi program REDD+ di Aceh, Pemerintah Aceh akan melakukan beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut adalah pengembangan dan penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, pembentukan dan penguatan kelembagaan di Aceh untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan program REDD+, pengarusutamaan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dalam pembangunan, pengembangan, dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat daerah yang dibutuhkan dalam rangka memberikan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD+ di Aceh, dan pengembangan berbagai program, proyek, dan kegiatan strategis untuk implementasi REDD+ secara penuh dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Dalam dokumen SRAP REDD+ Aceh yang disusun akhir Desember 2012-2013, Aceh memiliki target akan menurunkan emisinya sebanyak 7 persen mulai 2015 hingga 2020. Emisi karbon di Aceh berasal dari emisi deforestasi kawasan hutan, areal penggunaan lain, dan kebakaran lahan. Aceh merupakan provinsi urutan ke-12 penyumbang emisi karbon terbanyak di Indonesia.

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengungkapkan, pelaksanaan REDD+ di  Aceh secara langsung mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. “Kami berharap nota kesepahaman yang ditandatangani hari ini dapat menjadi pembelajaran bagi provinsi-provinsi lain.”

Heru menjelaskan, pelaksanaan REDD+ di lapangan terpusat kepada tiga sumbu, yakni penurunan emisi yang juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat, pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan serta mempertahankan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.

Sebelum penandatangan MoU, di tempat terpisah BP REDD+ secara khusus mengundang organisasi sipil Aceh dan masyarakat adat untuk mensosialisasikan REDD+ di Aceh menyusul ditandatanganinya nota kesepahaman dalam rangka penurunan emisi dari tatakelola hutan dan lahan gambut.

Hutan Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar, yang terancam deforestasi. Foto: Chik Rini
Hutan Cagar Alam Jantho, Kabupaten Aceh Besar, yang terancam deforestasi. Foto: Chik Rini

Deputi Operasional BP REDD+ William Syahbandar mengingatkan bahwa konsep REDD+ bukan bagi-bagi uang kompensasi menjaga hutan seperti yang selama ini menjadi isu di masyarakat Aceh. “REDD selama ini banyak dikaitkan dengan uang karbon. Padahal REDD+ harus dilihat sebagai instrumen pendukung pembangunan berkelanjutan,” tegas William.

Organisasi masyarakat sipil Aceh mengkritik ditandatanganinya nota kesepahaman REDD+ mengingat masalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh belum selesai sampai sekarang. “Bagaimana bisa mendorong pembangunan berkelanjutan jika RTRW Aceh cacat hukum?” tanya Badrul Irfan dari Yayasan HAKA.

Kritikan senada disampaikan Asnawi Ali dari Duek Pakat Mukim Aceh Besar. “Kami berharap dalam pelaksanaan REDD+ di Aceh, pemerintah melibatkan masyarakat. Namun, sampai saat ini pemerintah belum mengakomodir hak-hak kawasan kelola mukim sebagai satu-satunya masyarakat adat yang diakui dalam qanun.”

Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen mengatakan Aceh sangat penting bagi negara itu sehingga untuk pertama kalinya mereka hadir langsung dalam penandatanganan nota kesepahaman ini. “Aceh spesial. Kami menerima 30 ribu email soal tata ruang. Kami telah memfasilitasi beberapa kali pertemuan untuk membahas ini.”

BP REDD+ mengajak masyarakat Aceh untuk segera mendaftarkan pemetaan lahan partisipatif yang pernah dibuat. “Target kita melalui penyusunan data dan peta kadastral dari UNDP, one map Provinsi Aceh bisa segera diselesaikan sebagai awal penyelesaian masalah tata kelola hutan dan lahan,” ucap William.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,