,

Dua Gajah Liar Mati Dibunuh di Tebo Jambi

Pada hari Senin (17/11/2014), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi mendapat laporan dari warga Desa Tanjung,  Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi mengenai temuan bangkai 2 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kebun sawit plasma PT. Sumbar Andalas Kencana (SAK), perkebunan sawit milik grup Incasi Raya, perusahaan perkebunan sawit dan produsen CPO yang berkantor pusat di Sumatera Barat.

Setelah menerima laporan itu pada hari Selasa (18/11) BKSDA bersama dengan Polres Kabupaten Tebo segera menuju lokasi bangkai gajah tersebut. Setibanya disana tim menemukan dua bangkai gajah sumatera itu dengan kondisi kepala terpenggal dan tengkoraknya terpisah tidak jauh dari badannya. Satu gajah yang lebih dewasa ditemukan tergeletak di dasar parit dan gajah lainnya berusia lebih muda berada di rerumputan terpisah sekitar 25 meter. Dua gajah berjenis kelamin jantan ini diperkirakan telah mati satu minggu yang lalu dan kuat dugaan kedua gajah ini dibunuh untuk diambil gadingnya.

Tim penyidik BKSDA Jambi dan Polres Tebo langsung melakukan olah tempat kejadian perkara. Dari hasil penyisiran tim berhasil menemukan 4 selongsong peluru berukuran 7.62 mm dan sejumlah tulang gajah yang telah terbakar. Di sekitar lokasi juga ditemukan pondok – pondok yang digunakan warga sebagai tempat berkumpul untuk menghalau gajah.

Sugi, seorang pemuda yang ditemui penyidik di salah satu pondok menyatakan bahwa kelompok gajah masuk ke kebun warga telah berlangsung selama dua minggu terakhir. Hampir setiap malam warga berjaga-jaga di sekitar kebun dengan mendirikan tenda dan membuat api untuk mengusir gajah. “Gajahnya ada sekitar 30 ekor. Saya tidak melihat matinya bagaimana. Saya hanya mendengar dari orang-orang kalau ada sekelompok orang yang menggunakan senjata api untuk menembak gajah,” ujar Sugi.

Krismanko Padang, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan hilangnya habitat akibat alih fungsi kawasan hutan menjadikan gajah – gajah ini memasuki kawasan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan pakannya. “Kondisi inilah yang membuat konflik antar gajah dengan manusia menjadi semakin sering terjadi dan para pemburu gading gajah memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan keuntungan,” katanya. Ia berharap agar kasus kematian dua ekor gajah ini segera diusut hingga tuntas.
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya.  Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan
VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga
kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Foto: Andreas Sarwono/FKGI

Saat ini Kabupaten Tebo adalah kabupaten yang memiliki populasi gajah terbesar di wilayah Provinsi Jambi. Alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan, pemukiman dan pertambangan mengakibatkan hutan menjadi terfragmentasi dan membuat kelompok gajah di kawasan VII Koto terisolir dari kelompok gajah dikawasan lain.

“Populasi gajah liar di Kabupaten Tebo saat ini diperkirakan sebanyak 110 individu dan terkonsentrasi dalam tiga kelompok besar yakni, di daerah VII Koto 35 individu, Sumay 60 individu, dan Serai Serumpun 15 individu” ujar Alber Tetanus, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah Frankfurt Zoological Society (FZS).

Ia juga mengatakan bahwa habitat alami gajah di kawasan VII Koto sangat sedikit sehingga gajah – gajah tersebut banyak yang berada dalam konsesi PT. Tebo Multi Agro, perkebunan akasia milik Grup Sinar Mas. Namun kawasan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan sehingga gajah – gajah tersebut seringkali menyeberangi Sungai Sisip menuju kawasan perkebunan milik masyarakat dan akibatnya konflik dengan masyarakat tidak terhindarkan.

Pada Tahun 2013 konflik gajah dengan masyarakat di kawasan ini menyebabkan dua ekor gajah dan seorang warga tewas. Matinya dua ekor gajah ini, menegaskan konflik manusia dengan satwa liar, terutama gajah yang kerap kali terjadi.

Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11/2014).  Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan
VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11/2014). Foto: Andreas Sarwono/FKGI

Gajah sumatera merupakan subspesies dari gajah asia yang hidup di Pulau Sumatera. Sebagai mamalia terbesar di Indonesia, ini memiliki beat mencapai 6 ton dan tinggi badan 3,5 meter.

Berdasarkan survey tahun 2000, diperkirakan populasi gajah sumatera di alam liar tersisa hanya 2700 ekor. Sebanyak 65% populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia, dan 30% kemungkinan dibunuh dengan cara diracuni oleh manusia. Sekitar 83% habitat gajah sumatera telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.

Populasi gajah makin menurun karena aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja, sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi.

Kondisi tersebut membuat gajah sumaera, dan seluruh gajah Asia serta sub-spesiesnya, dikategorikan sebagai satwa terancam punah (critically endangered) oleh oleh lembaga konservasi dunia –IUCN.

Gajah ini juga dikategorikan dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah yiatu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya.

Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,