,

Perambah TN Bukit Tigapuluh Manfaatkan Musim Kebakaran Hutan

Sedikitnya 70 hektar hutan alam di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di perbatasan Riau-Jambi dirambah dengan modus kebakaran hutan musim kering. Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menduga ada petugas balai taman nasional yang ikut bermain.

Kurang dari satu bulan sejak musim kebakaran awal Oktober melanda sejumlah daerah di Riau setidaknya sudah 70 hektar hutan alam di TNBT yang terbakar. Menurut sejumlah warga yang berkunjung ke taman nasional itu pada 25 Oktober lalu, areal yang terbakar terlihat rapi dengan mengatur luasan kebakaran. Terdapat patok-patok batas yang sepertinya dipasang setelah kebakaran terjadi sebagai penanda wilayah.

Rahmi, warga Pekanbaru yang berlibur ke wisata alam tersebut mengaku kaget dengan melihat hutan bertumbangan menjadi arang. “Kita kira itu daunnya warna coklat, dari jauh (pemandangan) itu cantik. Pas sampai di sana rupanya terbakar,” ujar Rahmi kepada Mongabay beberapa waktu lalu.

Di hampir setiap areal bekas hutan terbakar terdapat gubuk yang dindingnya dari triplek atau kayu. Bangunan ini baru saja didirikan karena terlihat dari warna triplek, seng dan kayunya yang masih baru.

“Seluas itu dan tidak ada (aparat) yang tahu (kebakaran). Ada pondok-pondok kosong. Kayaknya masih baru, soalnya sengnya baru. Ada padi darat yang baru ditanam. Ini belum lagi bicara di luar kawasan inti atau buffer zone. Banyak lagi kebakaran hutan dan pembukaan lahan untuk perkebunan,” kata Patar Gurning yang juga berlibur ke kawasan itu akhir bulan lalu.

Rahmi, Patar dan dua temannya yang lain ketika itu sedang berlibur ke sana. Tujuannya adalah Air Terjun Kembar Denalo yang memang berada di dalam taman nasional. Meski air terjun itu sangat indah, namun Rahmi menyaksikan hutan-hutan di sekitar lokasi wisata alam bebas itu sudah terbakar.

“Kebakaran hutan itu tepatnya terjadi di Desa Alim, Kecamatan Batang Cinaku di sekitar Sungai Denalo. Tak menyangka kok bisa kawasan lindung yang dikelola secara baik, juga ada petugas operasional lapangan tapi tidak terpantau adanya pembukaan hutan dengan cara dibakar,” katanya. Rahmi juga menyaksikan lahan yang sudah ditanami.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Balai TNBT, Amon Zamora mengakui pada 7 Oktober 2014 lalu memang terpantau ada titik panas di bagian wilayah Riau, tetapi lebih banyak terpantau titk api di Jambi.

Pihaknya lalu mengirimkan tim untuk melihat kondisi di lapangan api dan setelah dicek ternyata api sudah padam. Zamora akan segera menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat peringatan kepada para perambah. Bahkan kalau diperlukan akan dilakukan sosialisasi tentang taman nasional kepada masyarakat setempat.

“Kalau sampai peringatan ketiga masih buka hutan dengan cara bakar kita naikkan kasusnya. Biasanya (dibakar) untuk ladang. Perambah kita sudah hubungi, mereka beralasan tidak thau batas. Tapi begitu patroli (dilakukan) masyarakat tahu batas,” ujar Amon saat dihubungi Mongabay.

Bekas kebakaran hutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di bagian wilayah Riau pada 25 Oktober 2014. Foto: Patar
Bekas kebakaran hutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh di bagian wilayah Riau pada 25 Oktober 2014. Foto: Patar

WARSI, lembaga non pemerintah yang berkantor di Jambi mengatakan perambahan hutan di TNBT bukanlah hal baru. Namun perambahan dengan cara membakar hutan untuk membuat perladangan kini mulai menjadi tren. Cara ini dipercaya lebih murah dan praktis dilakukan di musim kering. Cara yang sama banyak dipraktikan para perambah di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

“Trennya bisa mengikuti pola perambahan di Tesso Nilo. Migrasi perambah ini harus dikendalikan. Mereka menggunakan organisasi petani. Kalah jumlah dengan penduduk lokal,” kata Direktur Eksekutif WARSI, Diki Kurniawan yang dihubungi Mongabay.

Tesso Nilo merupakan taman nasional dengan luas kawasan kompleksnya 167.618 hektar namun akibat perambahan secara masif tanpa adanya penindakkan tegas telah mengubah 86.238,39 hektar atau 51,45 persen tutupan hutannya menjadi kebun kelapa sawit ilegal.

Menurut Diki, Pemda saling lempar tanggung jawab dengan alasan pemda tidak ada operasional dan dananya kecil. Sementara pemerintah pusat yang memberi izin konsesi ke perusahaan.

Selain para perambah ini sangat teroganisir rapi dan ada mafia atau aktor di balik kedatangan mereka, akses masuk ke taman nasional kini sudah semakin terbuka bagi orang luar. Akses ini melalui jalan koridor milik perusahaan-perusahaan yang punya konsesi baik perkebunan, kehutanan maupun pertambangan. Koridor yang dibuat tidak dijaga ketat. Padahal perusahaan bertanggung jawab atas itu.

Besarnya jumlah migran, organisasi yang rapi dan permintaan atas lahan yang tinggi di satu sisi sementara penegakkan hukum lemah dan aparatur pemerintah yang kurang personil di sisi lain telah menciptakan peluang kongkalikong jual beli lahan konservasi.

“Dan ini bisa jadi. Dugaan saya ada oknum TNBT yang merambah atau membeli lahan dari masyarakat. Dulu khan ada. Masalah lain juga karena dulu aparat TNBT ini juga joint pengamanan koridor dengan perusahaan. Padahal itu bukan kewenangannya. Pengamanan di konsesi itu tanggungjawab perusahaan. Kewenangan di luar taman itu milik BKSDA,” ujar Diki.

WARSI menilai mulai masuknya para perambah ke hutan-hutan konservasi dikarenakan semakin berkurangnya ketersediaan lahan untuk kebun sawit di areal penggunaan lain (APL). “Saat ini wilayah Riau sudah jenuh karena hampir semuanya kebun sawit. Jadi mereka bergerak ke kawasan konservasi. Saya dengar Hutan Lindung Bukit Limau di daerah Tebo, Jambi  itu sudah dibuka. Diincar juga,” kata Diki.

TNBT merupakan hutan alam seluas 144.233 hektar di kawasan perbukitan di hamparan dataran rendah timur Sumatra dengan potensi keanekaragaman hayati sangat bernilai tinggi. Di laman Kementerian Kehutanan dijelaskan bahwa di taman nasional ini sangat tinggi nilai keanekaragamannya dengan jenis flora seperti  Jelutung (Dyera costulata), getah merah (Palaguium spp), Pulai (Alstonia scholaris), Kempas (Koompassia excelsa) dan Rumbai (Shorea spp). Sementara itu juga terdapat cendawan muka rimau atau biasa disebut Raflesia Hasseltii yang masuk kategori genting dalam daftar merah organisasi konservasi internasional. Lalu ada Jernang atau palem darah naga (Daemonorops draco).

TNBT juga merupakan habitat penting satwa harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae),  yang status konservasinya hampir punah, juga ada tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), dan sebagainya. Di sini juga rumah bagi 59 jenis mamalia, 6 jenis primata, 151 jenis burung, 18 jenis kelelawar, dan berbagai jenis kupu-kupu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,