Hilang Selamanya, dan Serangga Ini pun Punah Sudah

Dunia telah kehilangan raksasa: minggu ini IUCN Red List resmi menyatakan bahwa Earwig Raksasa St. Helena (Labidura herculeana) punah. Di beberapa tempat di Indonesia, serangga ini sering disebut cocopet, meski tak sebesar Earwig St Helena ini.  Panjangnya 8 cm, sangat besar untuk ukuran seekor earwig, dan cukup mengesankan untuk ukuran seekor serangga.

“Spesies besar, karismatik dan statusnya yang sangat ikonik di pulau St Helena, dan kemungkinannya tipis satwa ini hidup dan mampu bertahan di beberapa lokasi terpencil di tempat lain. Bukti-bukti ini mengarah pada kesimpulan bahwa satwa luar biasa ini adalah spesies yang sudah punah,” demikian seperti dilaporkan oleh pihak IUCN.

Earwig raksasa ini hanya ditemukan di pulau St Helena di kawasan Atlantik selatan terpencil. Para ahli meyakini bahwa earwig raksasa St Helena didorong meuju kepunahan dikarenakan hilangnya batu-batu pelindungnya di habitat kecilnya untuk dipakai untuk konstruksi bangunan. Selain itu, earwig juga harus bersaing dengan invasi tikus predator, tikus, laba-laba, dan lipan di pulau kecil tersebut.

Earwig raksasa St. Helena pertama kali dideskripsikan lebih dari dua ratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1798, oleh seorang ilmuwan Denmark, Johan Christian Fabricius. Namun, kebingungan taksonomi earwig membuatnya terabaikan bahkan oleh para ahli entomologi. Earwig raksasa itu terakhir terlihat pada tahun 1967. Untungnya, beberapa bagian tubuhnya berhasil dikumpulkan beberapa waktu lalu, meskipun kemungkinan individu yang tersebut sudah mati puluhan tahun yang lalu.

Sebagai salah satu pulau yang paling terpencil di muka bumi, St Helena pertama kali ditemukan pada abad ke-16 awal dan pada waktu itu benar-benar tidak didiami manusia. Kini, St Helena masuk dalam wilayah British Overseas Teritorry. Pulau mungil ini kini masih menjadi rumah bagi ratusan spesies endemik, yang tak ditemukan di lain tempat di dunia. Namun pulau ini lebih terkenal sebagai tempat pengasingan Napoleon di masa lalu.

Spesies earwig biasa saat berada di sarang dengan larva dan telur-telurnya. Foto: Tom Oates, 2010.

Penelitian menunjukkan bahwa tidak seperti kebanyakan serangga lain yang “non-sosial”, earwigs adalah individu-individu yang penuh kasih saying. Diantaranya adalah kebiasaan membersihkan telurnya yang sudah ditetaskan, juga membantu anak-anaknya menetas. Setelah menetas, sang induk menyuapi anak-anaknya, dan menempatkan anak-anaknya tidur dibawahnya.

Nama “earwig” memang terdengar tidak biasa. Nama ini diberikan berdasar dari mitos masyarakat di masa lalu yang meyakini bahwa serangga ini akan bersembunyi ke telinga manusia dan bertelur di otak. Mitos yang tentu saja tidak benar.

Dengan kepunahan earwig raksasa St Helena, kini earwig besar yang masih hidup adalah earwig Australia raksasa (Titanolabis Colossea), yang mempunyai panjang tubuh sekitar 5 cm, jauh lebih kecil dibandingkan dengan ukuran earwig St Helena.

Sayangnya, kepunahan earwig St Helena ini tidak mendapat perhatian banyak media. Pada siaran pers IUCN Red List terbaru, kepunahan earwig baru muncul di bagian terakhir. Bahkan kepunahan ini hanya ditulis di dalam sebuah blog di BBC.

Serangga, -bahkan yang berukuran raksasa sekalipun, sangat jarang mendapatkan perhatian banyak orang, dibandingkan dengan perhatian satwa-satwa yang karismatik, atau yang sering kita dengar. Tak hanya perhatian media yang kurang: bahkan kelompok-kelompok konservasi pun jarang  membicarakan atau memfokuskan mereka pada serangga, meski diketahui bersama bahwa serangga memainkan peran besar dalam ekosistem.

Bahkan IUCN Red List hanya melakukan sedikit ‘pekerjaan’ pada kelompok hewan terbesar di dunia ini,  setidaknya dibandingkan perhatian besar mereka kepada kelompok satwa ‘karismatik’. IUCN Red List ini telah mengevaluasi 100 persen burung dan mamalia yang ada di dunia, namun hanya 0,5 persen dari serangga yang dikenal di dunia yang telah dievaluasi oleh organisasi ini. Diterjemahkan oleh: Akhyari Hananto

Spesimen earwig raksasa St. Helena berada di museum Jamestown Museum. Foto: Roger S. Key
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,