, , , ,

Kala Daerah Cuek, Warga Rembang Ngadu ke Jakarta

Hewan-hewan kabeh pada tumpes…Urep-urepan kabeh podo tumpes…Sawangen koe wit-witen podo cantes…Sawangen koe wetu-wetu podo cures…Kulo mung petani ….

Itulah lagu ciptaan para ibu dari Rembang,  soal kekhawatiran eksploitasi tambang karst yang mengancam lingkungan dan kehidupan mereka. Mereka bernyanyi bersahut-sahutan. Ke Jakarta, warga mendatangi Komnas HAM, Komnas Perempuan, Mahkamah Agung, KPK, Mabes Polri sampai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

***

Siang itu, jam menunjukkan pukul 14.00. Suasana depan gedung KPK, Kamis (20/11/19),  riuh oleh wartawan yang menanti tersangka kasus alihfungsi hutan, Gubernur Riau,  Annas Maamun, yang sedang diperiksa. Sisi lain,  ibu-ibu dari Rembang,  penolak pabrik semen duduk bersila di depan pintu masuk. Mereka menggunakan kebaya dan kain panjang (sampir). Kepala bercaping hijau. Rambut digulung, dan berkonde berwarna merah putih.

Suasana begitu kontras.  Kala KPK tengah memeriksa tersangka alihfungsi lahan, bagian lain, ibu-ibu gigih aksi mempertahankan kelestarian lingkungan.

Gunarti, perempuan yang aksi sesekali berorasi. “Lagu ini kami ciptakan sendiri berisi keresahan. Hewan-hewan, tumbuhan, batu semua akan ludes jika pabrik itu tetap didirikan. Belajar dari kejadian, kalau ada pabrik pasti kerusakan terjadi. Kita tak ingin aksi kasar. Dengan ini mudah-mudahan bisa didengar,” katanya.

Selama di Jakarta, mereka tidur di kantor YLBHI. Beralaskan tikar, berhimpit-himpitan. Namun, mereka tak mengeluh.

“Tak apa-apa tidur di lantai. Justru merasa  matur nuwun ada yang nampung di Jakarta. Ada saudara dari Walhi, Kontras, YLBHI, Desantara, dan lain-lain. Tanpa mereka mungkin kami tak tahu jalan ke KPK, KLH dan lain-lain.”

Menurut dia, tak ada tanggapan pemerintah daerah hingga ke Jakarta. “Kalau nanti pemprov, pemkab, Semen Indonesia,  tak ada respon juga, mungkin warga bertindak lebih tegas. Di sana lingkungan mereka, jadi harus dijaga.” Kini, warga menggugat Gubernur Jateng ke PTPN.

“Kami berharap Pak Jokowi sebagai presiden dipilih rakyat punya kebijakan pro rakyat. Pengen alat berat, aparat,  semua ditarik dari lokasi. Bentuk intimidasi banyak. Ada yang didatangi ke rumah ditodong senjata laras panjang. Seminggu lalu di tenda juga begitu. Warga hanya ingin membela bumi pertiwi.”

Menurut mereka, penolakan di Rembang ini simbol sikap serupa untuk di Pati, Gerobokan, Blora dan keseluruhan Jateng. “Jangan sampai ada pabrik semen. Jateng itu lumbung pangan nusantara. Pangan itu soko negoro. Potensi Jateng semua mau diambil. Padahal kita sudah tinggal melestarikan. Jangan dirusak.”

Kala sebagian aksi di KPK, yang lain mendatangi Mabes Polri. Mereka meminta Polri bertindak netral sekaligus menindak anggota yang diskriminatif dan mengintimidasi warga.

Beberapa dari mereka juga mendatangi Badan Pengawas Mahkamah Agung. Mereka meminta, hakim PTUN yang menyidangkan perkara diganti. Seharusnya,  hakim memiliki sertifikasi lingkungan hidup yang menjadi ketua majelis. Harapannya, badan pengawasan bisa memberikan teguran agar ada penggantian.

“Masyarakat dan ibu-ibu menolak pabrik semen karena merusak alam. Kami sangat cinta alam, sama ibu pertiwi. Jangan sampai rusak. Kami perempuan, kalau ada pabrik semen, air akan habis. Perempuan kalau kehabisan air gak bisa mikir. Gak bisa beli air seperti di kota,” kata Sutinah.

Para ibu-ibu dari Rembang, tidur di kantor YLBHI Jakarta. Dua hari mereka mendatangi kementerian dan lembaga negara di Jakarta, guna menyampaikan kekhawatiran lingkungan mereka. Foto: Indra Nugraha
Para ibu-ibu dari Rembang, tidur di kantor YLBHI Jakarta. Dua hari mereka mendatangi kementerian dan lembaga negara di Jakarta, guna menyampaikan kekhawatiran lingkungan mereka. Foto: Indra Nugraha

Dia mengatakan, warga punya ternak, kebun dan sawah yang memerlukan banyak air. Seandainya, ada pabrik semen sumber air bisa hilang.

Joko Priyanto, petani Rembang mengatakan, menolak pabrik semen karena dia petani. Jika ada pertambangan, otomatis debit air berkurang.

“Saya juga memelihara beberapa kambing. Tetangga pelihara sapi. Kalau pegunungan ditambang, bagaimana nasib kami? Ternak kami? Sekarang terjadi konflik sosial. Kami yang dulu punya kebiasaan gotong royong, sudah tidak. Baru mau dibangun pabrik, sudah ada konflik.”

Menurut dia, penolakan warga bukan tanpa alasan. Pabrik dan lokasi tambang berada di cekungan air Watuputih. Kawasan ini berfungsi sebagai cadangan air. Ini sesuai penelitian Dinas Pertambangan Jateng, Maret 1998.

Kepala Divisi Operasional LBH Semarang, Zainal Arifin mendesak pembatalan izin-izin lingkungan pada perusahaan tambang ini. “Ini penting karena izin lingkungan kartu as bagi izin perusahaan itu. Di Jateng, izin lingkungan seperti tanpa ada proses jelas.”

Dia mencontohkan, dokumen Amdal seharusnya melibatkan warga pro dan kontra. “Warga yang dimintai pendapat hanya yang pro.”

Menurut dia, proses ini jelas cacat prosedural. “Ini sedang gugat di PTUN Semarang,” kata Zainal.

Sobirin, aktivis Desantara menambahkan, selama ini tidak ada transparansi. Kala sosialisasi,  warga tidak terlibat. Hanya pemerintahan desa hingga informasi tidak sampai ke warga.

“Warga pemetaan, mereka menyocokkan dengan dokumen Amdal. Banyak mata air tidak masuk. Kami menyebut ini sebagai penggelapan data. Penting dikritisi. Dalam tahap persiapan sudah tidak transparan, apalagi kalau beroperasi?”

Dia juga menyoroti intimidasi warga. SI bersamaTNI membuat portal mengisolir tenda yang dibuat para ibu. Seharusnya, TNI/Polri netral.

Sesaat setelah keluar dari gedung KPK, Muhnur Satyahaprabu dari Walhi Nasional menyampaikan hasil pertemuan. “Kami bertemu bagian pengawasan KPK. Mereka berjanji mengawasi. Mereka koordinator evaluasi izin yang tidak sesuai perundang-undangan dan merugikan negara.”

KPK, kata Munhur, akan evaluasi dan merekomendasikan kepada kepala daerah untuk mencabut izin, termasuk tambang Rembang.

Munhur khawatir, karena pembangunan pabrik semen berlanjut padahal izin lingkungan sedang bersengketa. Pembangunan ini,  menimbulkan ancaman kepada warga dengan pelibatan aparat keamanan, TNI/Polri bersenjata lengkap. “Negara toledor, tidak berhati-hati dalam menerbitkan izin tambang. Kami meminta dihentikan.”

Pada Rabu (19/11/14), aksi serupa di Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Di Komnas Perempuan, mereka mengadukan represif aparat kepada ibu-ibu yang tinggal di delapan tenda perlawanan. Hingga kini,  mereka bertahan di tenda sejak Juni lalu. Secara bergantian, 150 perempuan bertahan di sana.

Komnas Perempuan meminta warga mengirimkan data Amdal dan dokumen lain hingga bisa memberikan rekomendasi. Komnas akan menyurati bupati dan gubernur terkait hak perempuan atas lingkungan  yang baik.

Di Komnas HAM, komisioner Muhammad Nurkhoiron berjanji menindaklanjuti aduan warga. Komnas HAM telah mengirim rekomendasi kepada Gubernur Jateng dan Bupati Rembang untuk menghentikan pembangunan pabrik. Komnas HAM akan memanggil gubernur, bupati dan Semen Indonesia.

“Ada rekomendasi Komnas HAM, tetapi pembangunan pabrik semen tetap jalan,” kata Gunarti. (Bagian 1)

Ibu-ibu dari Rembang, kala ngadu ke Komnas HAM, Rabu (19/11/14). Foto: Walhi
Ibu-ibu dari Rembang, kala ngadu ke Komnas HAM, Rabu (19/11/14). Foto: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,