,

Kini, Arwana di Sungai Ketungau Sulit Dicari. Apa Penyebabnya?

Pikiran Harman Bujang Kama menerawang pada kejadian 34 tahun silam. Saat itu, ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pria yang juga Tumenggung Kecamatan Ketungau Hilir ini ingat betul, sekitar tahun 1980-an Sungai Ketungau menjadi sentra ekosistem arwana (sceleropages formosus) yang  melimpah. Khususnya arwana jenis super red.

Awalnya, keberadaan ikan ini tidak begitu dipedulikan masyarakat. Selain susah diolah untuk dijadikan bahan makananan, ikan ini juga tidak enak untuk dikonsumsi. Namun, semua berubah ketika pemodal besar datang dan bersedia membeli arwana dengan harga yang tinggi saat itu, Rp 5.000 per ekor. Ukurannya sekitar dua jari orang dewasa.

Melihat peluang besar tersebut, perburuan ikan arwana dimulai. Ribuan ikan ditangkap untuk dijual. Pencarian tak hanya terfokus pada Sungai Ketungau, tetapi juga sampai ke anak sungainya seperti Sungai Sayeh di Kecamatan Ketungau Hulu.

Usaha jual beli ikan arwana makin mudah dan menjanjikan dengan keberadaan penampung-penampung lokal. “Tahun 1980-an adalah masa keemasan. Semua orang berlomba mencarinya. Ikan yang dulunya hanya dijadikan ikan asin, kemudian diburu,” kata pria 48 tahun ini.

Perburuan arwana besar-besaran membuat keberadaan ikan ini berkurang. “Bayangkan saja, satu orang bisa mendapat 20-30 ekor arwana dalam satu malam. Tak heran, arwana alam di Sungai Ketungau benar-benar sulit dicari saat ini. Tumbuh kembang arwana pun makin terancam ketika pertambangan emas tanpa izin (PETI) semakin marak di Sungai Ketungau,” katanya.

Kini, masa keemasan arwana super red tinggalkan cerita pahit. Karena, untuk sekadar mendapatkan bibit arwana budi daya saja, masyarakat harus membeli ke Suhaid, Semitau, dan sejumlah Kecamatan lainnya di Kapuas Hulu. “Sekarang semuanya terbalik, dulu penyuplai arwana sekarang jadi pembeli. Itupun dengan harga jutaan rupiah,” ucap Harman.

Usman Sema, warga Desa Nanga Ketungau menambahkan, untuk mendapatkan arwana saat itu sangatlah mudah. “Saking banyaknya, penampungan ikan tidak hanya menggunakan aquarium, tetapi juga dengan tongkang,” katanya.

Mudahnya mendapatkan arwana, membuat pemburuan besar-besaran mengabaikan motede tangkap. Salah satunya penggunaan pukat ukuran kecil sekitar 4-5 inci. “Mungkin, kalau pukat ukuran kecil dilarang, ikan silok merah di Sungai Ketungau ini masih mudah dilihat,” katanya.

Kepala Desa Nanga Ketungau, Petrus David menuturkan, ketika perburuan ikan marak di Sungai Ketungau, kondisi kampung sangat ramai. “Malam hari layaknya siang karena sorot lampu para pencari ikan yang turun ke sungai. Saat itu sebagian besar warga menggantungkan ekonominya pada sektor ini mengingat harganyanya yang mahal.”

Bisnis menjanjikan

Meski investasi arwana tergolong mahal, sejumlah masyarakat berlomba menekuni bidang ini. Salah satunya H Sudirman, warga Desa Lebang, Kecamatan Kelam Permai, Sintang yang membuat penangkaran di Kapuas Hulu.

Modal awal untuk budi daya sekitar Rp 500 hingga Rp 600 juta. “Saya mulai tertarik membudidayakan ikan arwana melihat rekan-rekan lainnya cukup berhasil,” kata Sudirman.

Awal usaha, ia harus membeli tanah yang luasnya seperempat hektar. Total dana yang harus dikeluarkan sekitar Rp 600 juta. Kini, hasil jerih payahnya kini sudah dapat dinikmati. “Biasanya, dari satu ekor induk menghasilkan 38 telur anak ikan silok merah. Jika dijual ke para penampung, harga paling murah Rp 1,2 juta. Jika ingin lebih mahal lagi, dipelihara tiga bulan, maka harga arwana merah ini mencapai Rp 2,3-Rp 2,5 juta perekor,” imbuhnya.

Hal senada dituturkan Ridwan, penangkar arwana. “Umur empat sampai lima tahun, arwana sudah menghasilkan. Satu ekor induk biasanya mengeluarkan telur yang sudah hampir menjadi anak antara 20 hingga 50 ekor.Satu ekor itu, dapat mengeluarkan telur yang hampir menjadi anak antara tiga sampai empat bulan,” tambah pria yang biasa disapa Rido.

Penangkapan arwana alami dilarang

Kepala Seksi Wilayah II, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Kalimantan Barat, Hadiatul Sidik menegaskan, pemburuan arwana yang berasal dari alam dilarang oleh undang-undang. “Yang boleh diperjualbelikan hanya dari penangkaran dengan izin resmi. Di Kabupaten Sintang ini, hanya satu penangkar resmi yakni di Kecamatan Sepauk,” bebernya.

Ia menjelaskan, berdasarkan penilian SSC (Species Survival Commision) of IUCN (International For Conservation of Nature and Natural Resources) ikan arwana termasuk jenis yang terancam punah dan dimasukan dalam Red Data Book sejak 2004. “Perlindungan terhadap arwana diperkuat dengan dimasukannnya jenis ikan ini dalam daftar Appendix I CITES (Conservation Of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Pemanfaatannya harus diawasi ketat yaitu hanya untuk keperluan konservasi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Bukan untuk keperluan komersial kecuali berasal dari penangkaran,” jelasnya.

Ia menambahkan, di Indonesia sendiri, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um.10/1980, jenis ini dimasukan dalam satwa liar yang dilindungi Undang-undang dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Penyelamatan

Rudi Zapariza, Project Leader WWF-Indonesia Program Sintang mengatakan, kondisi ikan jenis arwana sudah berkurng hampir di semua danau di Kalimantan Barat. Wilayah-wilayah danau yang masih memiliki ikan arwana alami biasanya masih menerapkan aturan-aturan pengelolaan danau baik aturan adat maupun kesepakatan masyarakat. Itupun jumlah populasinya tidak begitu banyak lagi. “Semakin banyaknya aktivitas di danau yang memiliki arwana, semakin terancam pula perkembangbiakan alaminya,” jelasnya, Senin (17/11/2014).

Mengenai kondisi Arwana di Sungai Ketungau, Rudi Zapariza mengaku belum punya data yang pasti. “Bila dalam kurun waktu 10 tahun tidak pernah ditemukan lagi oleh masyarakat dan tidak adanya upaya restoking terhadap spesies ini, maka indikasi kepunahannya cukup besar,” katanya.

Menurutnya, penyebab kepunahan arwana yang paling besar adalah banyaknya perburuan yang tidak diimbangi dengan keberlanjutan menahan populasi. Misalnya, penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan pukat, warin, dan jermal.

Selain peran masyarakat, pelestarian arwana memerlukan dukungan pemerintah. Salah satunya, berjalan berdampingan dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melindungi areal danau dari kegiatan yang mengancam seperti kegiatan PETI, pencemaran, dan perburuan arwana.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,