,

Ruwetnya Persoalan di Pesisir Timur OKI Sumatera Selatan

Pesisir Timur Sumatera Selatan yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) merupakan daerah yang sudah dikenal sejak dulu. Di masa Kerajaan Sriwijaya, diperkirakan wilayah ini merupakan lokasi perdagangan yang ramai.

Di era Orde Baru, wilayah yang luasnya sekitar 750 ribu hektar yang sebagian besar berupa lahan rawa gambut ini, merupakan daerah HPH dan perambahan hutan.

Banyak orang kaya dari daerah ini disebut “boss kayu”. Artinya pengusaha penggergajian kayu. Identitas ini mengalahkan orang kaya sebagai pengusaha terasi atau ikan, yang juga banyak lahir dari masyarakat pesisir timur OKI.

Bersamaan dengan itu, program transmigrasi tahun 1982 dijalankan. Tepatnya di wilayah Air Sugihan. Lantaran lahan gambut sulit dijadikan lahan pertanian, untuk ditanam padi dan sayuran, maka sebagian transmigran ikut dalam plasma perkebunan sawit. Para transmigran ini memanfaatkan lahan gambut yang kayunya sudah habis. Baru, setelah pengolahan lahan yang terus dilakukan, sebagian wilayah Air Sugihan menjadi sentra padi dan sayuran.

Pada 1997 dan 1998, saat terjadi badai El Nino, terjadi kebakaran hebat di wilayah ini. Kabut asap yang ditimbulkan menyelimuti seluruh wilayah Sumatera Selatan, termasuk ke Singapura dan Malaysia.

Pasca-kebakaran lahan dan HPH, bukan program rehabilitasi yang dijalankan pemerintah. Justru perusahaan perkebunan sawit kian berkembang, termasuk pula perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Khusus perusahaan HTI, pemerintah maupun sejumlah akademisi di Sumatera Selatan menilainya bukan sebagai ancaman tapi sebagai penyelamat lahan gambut yang sudah rusak. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan sejumlah pegiat lingkungan hidup yang menyatakan perusahaan HTI juga merupakan ancaman lahan gambut. Buktinya, setiap kali musim kemarau, ditemukan juga titik api di konsesi HTI.

Sementara, perkebunan sawit yang terus melakukan ekspansi, selain menyebabkan kerusakan lahan gambut, juga menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat.

Di tengah persoalan tersebut, masyarakat yang tidak mengalami konflik dengan perusahaan dan tidak bertani, mengembangkan pertambakan tradisional udang windu dan ikan bandeng.

Aktivitas yang merusak lahan gambut ini ternyata dilakukan warga di Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji. Akibatnya, puluhan ribu dari 98.115 hektar hutan lindung tersebut mengalami kerusakan.

“Pertambakan tradisional mengandalkan pakan alami. Jadi, jika tambak dinilai tidak lagi banyak menyediakan pakan alami, para petambak membuka pertambakan yang baru. Pertambakan yang lama ditinggalkan begitu saja,” kata Junaidi dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, beberapa waktu lalu.

Dapat dikatakan, setiap desa yang berada tak jauh dari pantai, selain menjadi nelayan tangkap juga menjadi petambak. Contohnya di Desa Simpang Tiga Makmur, saat ini sekitar 500 kepala keluarga bergantung hidup dari pertambakan tradisional.

Setiap kepala keluarga memiliki luas tambak dua hektar. Beberapa desa yang sebagian besar warganya merupakan petambak tradisional di Kecamatan Tulung Selapan selain Simpang Tiga Makmur adalah Simpang Tiga Jaya, Simpang Tiga Sakti, dan Tulung Seluang. Kemudian sejumlah desa yang masuk Kecamatan Cengal, Mesuji dan Mesuji Makmur.

“Ribuan keluarga yang membuka pertambakan tradisional. Sebagian besar di wilayah hutan lindung,” kata Junaidi.

“Perkembangan baiknya, setelah dilakukan pemantaun, warga sudah berkurang membuka pertambakan di hutan lindung. Kita tengah membinanya agar hasilnya membaik, sehingga tidak merambah hutan lindung, serta kita akan melakukan rehabilitasi hutan lindung,” jelas Junaidi.

Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji yang dijadikan pertambakan tradisional oleh masyarakat. Foto Junaidi
Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji yang dijadikan pertambakan tradisional oleh masyarakat. Foto Junaidi

Ancaman perubahan sosial

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS) menjelaskan persoalan lingkungan di Kabupaten OKI, khususnya di wilayah pesisir timur memang sangat kompleks. Bukan hanya persoalan kebakaran lahan, tapi juga konflik lahan hingga ancaman perubahan sosial.

Mengenai kebakaran lahan, bukan hanya perusahaan perkebunan sawit dan HTI yang harus didorong. Tetapi juga, pemberian sanksi hukum terhadap para pelaku dan pemiliknya. “Persoalan ini mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan pendidikan dan teknologi pertanian yang lebih arif dengan lingkungan,” kata Sadat.

Artinya, persoalan kebakaran hutan dapat diselesaikan jika pemerintah, swasta dan masyarakat benar-benar fokus menyelesaikan persoalan kebakaran lahan.

Penataan tambak tradisional, kata Sadat, juga sama dalam mengatasi kebakaran lahan. “Jika diberikan ilmu dan teknologi, maka tambak milik masyarakat akan menghasilkan produksi yang baik, sehingga mereka akan menghentikan perambahan lahan, dan bukan tidak mungkin turut menjaga lahan,” ujarnya.

Sadat juga mengkhawatirkan ancaman sosial di wilayah pesisir timur dengan hadirnya perusahaan. Sadat mengingatkan apa yang terjadi pada sejumlah kelompok masyarakat di Muara Enim, Lahat, Musirawas , Banyuasin dan Musi Banyuasin. Setelah perusahaan hadir, masyarakat kehilangan lahan. Masyarakat pun akhirnya terlibat pada profesi yang negatif, seperti penyedia tempat hiburan, terlibat peredaran narkoba, atau menjadi pelaku kriminalitas. “Hidup baik-baik hanya menjadi buruh, namun miskin,” katanya.

“Perubahaan ini sulit dibendung. Kalau wilayah ini berkembang pesat, dipastikan para pelaku ekonomi dari perkotaan akan banyak datang,” katanya.

Para pendatang ini bukan tidak mungkin akan membeli lahan pertanian untuk dijadikan rumah toko, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan lainnya.

Oleh karena itu, kata Sadat, seperti yang diinginkan pemerintahan Jokowi-JK, sudah seharusnya sejak dini masyarakat di pesisir timur Sumatera Selatan ini diperkuat basis ekonominya.

Yang tidak kalah pentingnya, tata ruang ditata sedemikian rupa. Sejak awal sudah ditetapkan mana wilayah pemukiman, pertanian, perkantoran, dan pasar. “Jangan dibiarkan bebas, sebab rakyat pasti dikalahkan para pelaku ekonomi yang hanya berorientasi keuntungan, tanpa mempertimbangkan persoalan lingkungan hidup dan sosial,” ujarnya.

Permukiman warga petambak tradisional di Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji. Foto Junaidi
Permukiman warga petambak tradisional di Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji. Foto Junaidi

Harus ada komitmen

Terhadap berbagai upaya mengatasi berbagai persoalan lingkungan dan sosial di wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, kata Sadat, harus ada komitmen bersama antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat.

Sadat mengutip apa yang dikatakan Menteri LH dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta pada Rabu (05/11/2014) lalu. Kementerian tersebut akan fokus pada persoalan sampah, rehabilitasi hutan, dan resolusi konflik sosial.

Kenapa komitmen ini harus melibatkan para pelaku usaha? “Sebab kehadiran mereka yang menyebabkan berbagai persoalan yang merugikan masyarakat dan lingkungan hidup. Oleh karena itu pelaku usaha harus terlibat aktif dalam merehabilitasi hutan dan menyelesaikan berbagai konflik sosial. Keterlibatan ini harus dalam bentuk satu komitmen.”

Terhadap pandangan ini, Najib Asmani, staf ahli Gubernur Sumsel bidang lingkungan hidup, mengatakan sudah menjadi agenda Pemerintah Sumsel melanjutkan apa yang disepakati antara pemerintah Sumsel dengan BP REDD+.

“Komitmen ini akan melibatkan Pemerintah Sumsel, pemerintah kabupaten dan kota, semua pelaku usaha, masyarakat, dan NGO. Semuanya akan bekerja sama. Menghadapi berbagai persoalan lingkungan hidup yang kompleks ini tidak hanya dapat dilakukan oleh satu pihak. Semua harus menyatu dan saling mendukung,” katanya.

Bagaimana jika ada pemerintah daerah dan pelaku usaha menolak komitmen ini? “Mereka pasti akan mendapatkan sanksi sesuai regulasi yang ada. Sebab persoalan lingkungan hidup di Indonesia sudah menjadi persoalan global, dan menyebabkan bangsa ini terus menderita,” kata penggiat REDD+ Sumsel ini.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,