,

Kementerian ESDM Optimis Target EBT Dari Bioenergi Pada 2025 Bisa Tercapai

Pemerintah melalui Perpres No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah menetapkan Rencana Pengelolaan Energi Nasional untuk mengembangkan energi mix primer pada tahun 2025, dimana sebanyak 23 persen energi nasional berasal dari energi baru terbarukan (EBT) dan 8,3 persen berasal dari bioenergi.

Dari data Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyebutkan, pada tahun 2013, potensi biomassa di Indonesia tercatat sebesar 32.654 MW dan sebesar 1.716,5 MW telah dikembangkan. Pengembangan pembangkit listrik berbasis bioenergi (on grid) sampai dengan tahun 2013 mencapai sekitar 90,5 MW, sedangkan pengembangan pembangkit listrik berbasis bioenergi (off-grid) sekitar 1.626 MW, dimana pembangkit listrik tersebut berbasis  biomassa, biogas, dan sampah kota.

Pembangkit listrik berbasis bioenergi ini juga memiliki potensi di daerah-daerah terpencil yang berasal dari limbah kehutanan, limbah pertanian, industri kelapa sawit, industri kertas, industri tapioka, dan industri lainnya.

Kasubdit Penyiapan Program Bio Energi Ditjen Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Agus Saptono merasa optimis target energi nasional sebesar 23 persen dari energi baru terbarukan (EBT) dan 8,3 persen berasal dari bioenergi dapat tercapai.

“Kami optimis target itu bisa dipenuhi, “ kata Agus Saptono dalam acara Diskusi Pakar tentang Pemanfaatan Bioenergi yang digelar Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) di Jakarta pada Selasa (25/22/2014).

Kementerian ESDM merasa optimis setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Permen 27/2014 merupakan revisi dari Permen No. 4 Tahun 2012 sebagai bentuk insentif untuk mendorong minat investor dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis biomassa dan biogas. Dengan Permen 27/2014, maka investor semakin tertarik karena nilai keekonomian tarif pembangkitan listrik yang memadai.

“Untuk memanfaatkan biomassa butuh investor yang akan tertarik disana. Dengan Permen 27/2014 itu harga sudah mencapai keekonomian tarif, sehingga sudah banyak investor yang tertarik dan mendaftarkan di PLTBm ini. Ini yang menjadikan bioenergi penopang EBT ke depannya.  Sudah 50 persen. Target 8,9 persen untuk bioenergi bakal tercapai,” kata Agus.

Sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 4 Tahun 2012 pada bulan Februari 2012, investasi swasta untuk penyediaan listrik berbasis biomassa dan biogas on grid masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah terdepresiasinya nilai rupiah terhadap dolar dan meningkatnya harga biomassa.

Dengan hal tersebut, Agus merasa optimis pengembangan bioenergi akan semakin banyak dan luas. Hal tersebut juga mendukung program desa mandiri energi yang digagas oleh Kementerian ESDM. “Kami senang sekali bekerjasama dengan pihak Kehati karena mempunyai visi yang sama tentang pengembangan energi mandiri di pedesaan,” katanya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, MS Sembiring mengatakan kenaikan harga BBM menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih serius mengembangkan energi baru terbarukan, karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif.

Pemerintah telah membuat program pengembangan energi terbarukan seperti pendirian pabrik bioetanol dengan bahan baku singkong di Jawa, Sumatera dan Sulawesi , serta adanya insentif harga BBM dari biomassa. Akan tetapi produksi secara masif, terintegrasi dan terencana untuk jangka panjang perlu dilakukan secara sungguh-sungguh.

MS Sembiring melihat pengembangan bioenergi dalam bentuk padat, cair maupun gas di Indonesia masih belum jelas. Pada skala industri, masih ada ketidakpastian pengembangan bioenergi , seperti ketersediaan luas lahan untuk produksi bahan baku, persaingan dengan produk pangan seperti singkong, jagung dan kelapa sawit, ketersediaan bahan baku BBN, dan kesulitan pemrosesan.

“Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan fokus pemerintah untuk benar-benar menggarap bidang ini,” katanya.

Penggunaan EBT dari bioenergi, tidak harus dimulai dengan BBM untuk sektor transportasi. Penggunaan bioenergi bisa dilakukan pada tingkat pedesaan untuk memenuhi Indonesia mandiri energi. Sehingga beban PLN dalam memenuhi kebutuhan energi dasar masyarakat di desa-desa terpencil dan terisolir bisa terkurangi, serta efisiensi energi bisa tercapai.

“Namun saat ini, permasalahannya tidak hanya pada suplai energi, tetapi juga jangkauan ke masyarakat pedesaan,” lanjut Sembiring.

Pengembangan desa mandiri energi bisa dimulai dengan teknologi biogas atau mikrohidro yang potensinya nyata ada di pedesaan.  Pemerintah juga bisa memulai mengembangkan industri bahan bakar nabati (BBN) generasi kedua untuk mengalihkan dari persaingan dengan produksi sumber pangan.

Pada BBN generasi pertama, biasanya dibaut dari turunan gual yang menjadi alkohol dan minyak nabati yang menjadi biodiesel hasil ekstraksi teknologi konvensional. Pada generasi kedua, BBN berasal dari biomassa lingo-selulosa atau tumbuhan berkayu, residu dan atau limbah pertanian.

Sedangkan Pengurus Yayasan Kehati, Setijati Sastrapradja menyebutkan pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan dari sumber daya dalam negeri menjadi kunci bagi pemerintah mengatasi permasalahan energi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,