,

Soal Sertifikat Legalitas Kayu, Inilah Hasil Pemantauan JPIK

Dari pemantauan JPIK kepada perusahaan-perusahaan ini memperlihatkan, beberapa kelemahan pelaksanaan SVLK. Beragam masalah terjadi, meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, proses perizinan bermasalah, pelanggaran fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, dan kewajiban lingkungan. Lalu, persoalan konflik terutama terkait tata batas dan tenurial, dan beberapa kelemahan terkait verifikasi legalitas kayu dari konversi hutan alam.

Hasil pemantauan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)  terhadap 34 pemegang izin dan aturan pemerintah pada periode 2011-2014 terkait pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK)  menemukan beberapa kelemahan yang harus menjadi perhatian dan perbaikan ke depan.

Zainuri Hasyim, koordinator nasional JPIK mengatakan, salah satu temuan JPIK, lembaga penilai dan verifikasi SVLK hanya melihat dokumen tanpa menelusuri proses izin keluar.

Dia mencontohkan, korupsi perizinan kehutanan di Riau melibatkan pemerintah,  dan pemegang SVLK terkesan tidak terkait kasus ini. ”Tidak ada upaya menyelidiki beberapa perusahaan yang bersertifikat SVLK terlibat kasus korupsi perizinan itu,” katanya dalam keterangan yang dikirim kepada media, di Jakarta, Senin (24/11/14).

SVLK, katanya, seharusnya bisa mencegah sertifikat bagi pemegang izin bermasalah dengan cara memasukkan prosedur izin sebagai bagian dari standar legalitas dalam sertifikat ini.

Dalam laporan JPIK itu menyebutkan, kinerja dan kepatuhan pemegang izin serta proses penilaian (verifikasi), LP&VI hanya melihat dokumen izin tanpa menelusuri proses izin. Alhasil, beberapa izin bermasalah tetap memperoleh sertifikat.

Begitu pula, dokumen lingkungan seperti Amdal, hanya melihat keberadaan tanpa mencocokkan dengan pelaksanaan. JPIK juga menemukan persoalan tata batas dan pemenuhan kewajiban sosial pemegang izin pengusahaan hutan terhadap masyarakat terkena dampak, masalah pemenuhan kewajiban lingkungan dan asal-usul bahan baku.

Beberapa Lembaga Penilai & Verifikasi Independen (LP&VI),  tidak merujuk standar yang sesuai waktu penilaian atau verifikasi. LP&VI, juga  tidak segera audit khusus dan membekukan sertifikat atas bukti penerimaan kayu ilegal.

Mengenai penerbitan dokumen V-Legal, JPIK merekomendasikan, lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK) harus bisa memastikan industri bersertifikat LK tidak menerima titipan produk dari industri lain yang belum bersertifikat. Sebab, auditor LVLK tidak setiap hari di lokasi industri dan tidak selalu mengecek fisik produk.

Selain itu, kewajiban industri hanya menerima kayu bersertifikat legal juga belum ada. Hingga berisiko produk kayu tidak jelas asal-usul termasuk dari hutan alam bercampur dengan produk kayu legal.  Kondisi ini, bisa menimbulkan keraguan pada kredibilitas sistem.

Temuan lain, beberapa permasalahan terkait konsultasi publik yang disyaratkan dalam SVLK, seperti tidak ada pemberitahuan konsultasi publik, belum terpenuhi keterwakilan masyarakat yang terkena dampak. Lalu, berita acara pelaksanaan juga tidak diberikan pada undangan konsultasi publik.

“Kami mendukung rencana pemerintah melaksanakan penuh SVLK pada 1 Januari 2015. Namun, perbaikan aturan dan pelaksanaan SVLK sangat perlu untuk memastikan kredibilitas sistem ini,“  kata Zainuri.

Penegakan aturan dan penerapan sanksi lemah bagi pemegang izin yang tidak menjalankan SVLK maupun terbukti melanggar, juga menjadi sorotan JPIK. “Kasus illegal logging melibatkan PT Rotua beberapa waktu lalu mengindikasikan beberapa industri kayu bersertifikat SVLK menerima kayu ilegal dari Rotua. Hingga kini tidak juga diselidiki,” kata  Mardi Minangsari, Dinamisator Nasional JPIK.

Dia  mengatakan, SVLK itu sistem jaminan legalitas kayu.  Seharusnya, setiap indikasi keterlibatan pemegang izin dengan illegal logging dan perdagangan kayu ilegal ditindaklanjuti dan diproses hukum.

Perbaikan permenhut dan perdirjen soal SVLK

Selain mengawasi 34 perusahaan, laporan JPIK juga mengkaji aturan sistem verifikasi legalitas kayu mencakup dasar hukum SVLK, permenhut, dan peraturan dirjen (perdirjen).

Terhadap permenhut terkait SVLK, JPIK mengidentifikasi tiga hal penting yakni konsistensi penulisan norma, perbaikan norma, dan kedudukan alas hukum.

JPIK memandang perlu perbaikan aspek transparansi data dan informasi pelaksanaan SVLK. Untuk itu, pada aturan mendatang perlu perbaikan atas inkonsistensi dan pasal-pasal agar disusun kembali dalam peraturan baru. Lalu, norma yang mengatur kewajiban SVLK dan tenggat waktu pelaksanaan, dan penerapan sanksi atas pelanggaran mesti diperbaiki.

Menurut JPIK, ada beberapa hal perlu diperbaiki dalam standar penilaian dan verifikasi meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, dan proses perizinan bermasalah. Perdirjen, sebagai aturan teknis pelaksanaan permenhut terkait SVLK ini berisi standar penilaian, standar verifikasi dan pedoman pelaksanaan. Ia telah direvisi tiga kali sejak 2010.

Kemudian, persoalan pelanggaran fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, terkait kewajiban lingkungan, konflik terutama terkait tata batas, dan beberapa kelemahan terkait verifikasi legalitas kayu dari izin pemanfaatan kayu (IPK).

JPIK juga mendesak, perbaikan aspek transparansi data dan informasi kehutanan dalam pelaksanaan SVLK.  Termasuk perbaikan proses pengajuan dan penyelesaian keluhan berbagai pihak. Hingga kini, katanya,  kelompok masyarakat sipil masih sulit mengakses informasi publik yang diperlukan dalam pemantauan.

“Pemerintah,  harus mampu menunjukkan itikad baik memperbaiki tata kelola hutan agar tidak hanya di atas kertas,” kata Mardi.

Pemantauan independen SVLK oleh masyarakat sipil adalah bagian perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui kesepakatan kemitraan sukarela dalam penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola sektor kehutanan (FLEGT-VPA).

JPIK melakukan pemantauan SVLK pada kurun waktu itu fokus perusahaan-perusahaan yang mengajukan sertifikat legalitas kayu (SLK) dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (SPHPL). Dari 34 perusahaan, 31 bersertifikasi dan tiga belum mengajukan.

Analisis JPIK hingga Juni 2014 ini, meliputi pemantauan kinerja pemegang izin bersertifikasi mandatori, proses penilaian oleh LP&VI, dan akreditasi KAN.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,